MEDAN, SUMUTPOS.CO – Dampak pandemi virus corona membuat daya beli masyarakat mengalami penurunan. Hal ini, juga menyebabkan penjual hewan kurban jelang Hari Raya Idul Adha 1441 Hijriah, 2020, juga mengalami penurunan 28 persen hingga 33 persen dibanding 2019 lalu.
Hal ini diungkapkan Pengamat Ekonomi Sumut, Gunawan Benjamin, di Medan, Minggu (26/7). Menurutnya, Idul Adha tahun ini menyisahkan masalah besar. Virus corona secara langsung telah mengubah tatanan sosial ekonomi masyarakat.
“Dari beberapa agen penjual hewan kurban, mendekati Idul Adha ini, mereka menyatakan, orderan untuk hewan kurban masih baru sekitar 60 persen dibanding realisasi tahun sebelumnya,” ungkap Gunawan.
Sebagai gambaran, Gunawan menjelaskan, Idul Adha jatuh pada 31 Juli 2020. Berdasarkan pengakuan seorang agen hewan kurban yang tahun lalu bisa menjual 170 ekor sapi, pada tahun ini dia baru menerima order penjualan sapinya di bawah 100 ekor.
“Padahal menurut hitungan yang kami lakukan, seharusnya jika kondisi normal saja, pesanan sapinya seharusnya sudah mencapai 140 ekor di saat-saat seperti ini (sekitar satu hingga dua pekan sebelum hari H),” jelasnya.
Dia mengungkapkan, penjualan sapi dari satu responden yang pihaknya teliti, diperkirakan akan menjual 120 ekor saat Idul Adha nanti. Jadi ada penurunan sekitar 30 persen, jika membandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya.
“Dan kabar yang tidak kalah buruk, penjualan sapi di sejumlah rumah pemotongan hewan belakangan ini juga mengalami penurunan,” beber Gunawan.
Memasuki Juli, Gunawan mengatakan, rata-rata permintaan daging sapi menyusut 14 persen secara harian. Tren konsumsi daging sapi mengalami penurunan belakangan ini. Menurutnya, hal ini jelas indikasi yang kurang begitu baik. Karena konsumen terbesar daging sapi itu adalah pedagang bakso sekitar 70 persen, sisanya rumah makan, cafe, restoran, dan rumah tangga.
“Penurunan konsumsi daging ini sangat erat kaitannya dengan masalah daya beli. Dan menurut hitungan saya, penurunan 14 persen konsumsi daging sapi secara harian itu, akan mengurangi satu orang pekerja di RPH. Dan dampak luasnya juga akan sangat terasa pada penurunan omzet hingga PHK di level pedagang bakso, rumah makan, cafe, hingga restoran,” papar Gunawan.
Gunawan menilai, hal ini adalah gejala adanya masalah di daya beli masyarakat.
“Daging merupakan komoditas yang kerap saya jadikan tolok ukur daya beli masyarakat. Karena semakin baik daya beli masyarakat. Akan semakin banyak konsumsi daging sapi atau makanan berkualitas lainnya,” imbuhnya.
“Untuk meminimalisir dampak ekonomi secara lebih luas. Saya menyarankan agar masyarakat mengkonsumsi daging sapi segar dibandingkan dengan daging beku. Karena daging sapi segar lebih banyak memberikan manfaat, seperti penyerapan tenaga kerja maupun perputaran uang yang lebih menguntungkan bagi ekonomi domestik,” pungkas Gunawan. (gus/saz)