Site icon SumutPos

Bukan Cuma Kode Etik, Perusakan Barbuk Pidananya Jelas

MARAH: Irjen Ferdy Sambo mengaku marah dan emosi setelah mendapat pengakuan dari istrinya terkait perlakuan Brigadir J yang melecehkan harkat dan martabat keluarga di Magelang.

JAKARTA, SUMTUPOS.CO – PROSES terhadap 31 personel yang diduga terlibat perusakan barang bukti tidak boleh berhenti hanya di pelanggaran kode etik. Pasalnya, upaya perusakan barang bukti atau obstruction of justice itu secara terang benerang merupakan pidana. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo diharapkan menggunakan momentum ini untuk reformasi internal kepolisian.

Salah satu perusakan barang bukti itu terjadi pada bukti closed circuit television (CCTV). Komnas HAM bahkan sempat terkecoh dengan 20 video CCTV yang didapatkan tersebut.

Bila sebelumnya Ketua Komnas HAM Ahmad Taufik menyebut bahwa n

CCTV menunjukkan Sambo datang dari Magelang. Ternyata, video itu dipastikan bukan Sambo dari Magelang, melainkan datang dari kantornya. “Yang beredar itu kepulangan Sambo dari kantor. Bukan dari luar kota,” ungkapnya.

Sambo sudah tiba di Jakarta Kamis (7/7), dengan menggunakan pesawat terbang dari Bandara Jogjakarta menuju ke Jakarta. “Sambo memakai pesawat pukul 07.00 Kamisnya, Ibu Putri memakai mobil Jumatnya (8/7),” terangnya.

Sumber Jawa Pos menyebut bahwa kompilasi dari 20 CCTV itu merupakan asupan dari Polda Metro Jaya. Yang pada intinya ingin membuat Sambo tidak berada di tempat kejadian perkara. Karena video kompilasi itu pula, yang membuat sejumlah pejabat Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya turut diperiksa Inspektorat Khusus (Irsus).

Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, perusakan TKP dalam kasus penembakan Brigadir Yosua ini dalam konteks profesi polisi memang pelanggaran kode etik. Namun, dalam konteks hukum, sudah sangat jelas merupakan pidana atau pelanggaran hukum. “Jelas masuk pidana, karena ada kepentingan umum yang dilanggar. salah satunya, keluarga Brigadir Yosua,” jelasnya.

Perusakan barang bukti diatur dalam Pasal 233 KUHP. Dengan ancaman hukuman maksimal empat tahun penjara. “Yang merusak barang bukti pidana menghalang-halangi penyidikan dalam kasus pembunuhan,” tegasnya.

Dia mengatakan, untuk mencegah perusakan barang bukti atau menghalang-halangi penyidikan dilakukan oleh oknum kepolisian kembali, jelas hukum harus ditegakkan. Bahkan, harus diperberat karena pelaku perusakan barbuk itu justru dilakukan polisi, yang seharusnya membuat terang sebuah kasus pidana. Serta, polisinya polisi, yang seharusnya menindak oknum polisi yang melanggar. “Hukum harus ditegakkan untuk mencegah kejadian serupa,” paparnya.

Persoalan ini, lanjutnya, juga terkait mentalitas dari anggota kepolisian. Dia mengatakan, seharusnya seorang perwira tinggi tidak melakukan kejahatan. Namun, setinggi-tingginya pangkat seseorang itu tetaplah memiliki ketakutan. “Semua perusakan barbuk ini sebenarnya upaya membela diri,” terangnya.

Dalam persidangan nanti, perusakan barbuk ini akan menjadi salah satu pertimbangan hakim. Untuk memberikan pemberatan hukuman atau tidak. “Upaya menyembunyikan kejahatan,” tegasnya. (idr/tyo/jpg)

Exit mobile version