25 C
Medan
Wednesday, July 3, 2024

Dugaan Korupsi Pengadaan Alat Peraga Pileg dan Pilpres 2019, Jadi Saksi, 46 Kasek Bungkam

TEDDY AKBARI/SUMUT POS
WAWANCARA: Ketua KPU Binjai, Zulfan Effendi meladeni wawancara wartawan terkait dugaan korupsi yang menyeret lembaga pimpinannya.

BINJAI, SUMUTPOS.CO – Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Binjai mengendus adanya dugaan korupsi di Sekretariat Komisi Pemilihan Umum. Bahkan, hasil penyelidikan penyidik sudah naik tingkat menjadi penyidikan khusus.

Artinya, penyidik bakal menetapkan tersangka dalam perkara tersebut. Kasus dugaan korupsi yang ditangani penyidik persisnya pengadaan alat peraga diduga fiktif.

Kajari Binjai, Victor Antonius Saragih Sidabutar menyatakan, dugaan fiktif pada pengadaan alat peraga ini dengan pagu anggaran mencapai Rp15 miliar. Menurut Kajari, sejumlah saksi yang diperiksa dari Sekretariat KPU Binjai tidak kooperatif dan irit bicara.

Seperti Kuasa Pengguna Anggaran dan Bendahara. Menurut Kajari, mereka sudah diundang tiga kali untuk memberikan keterangan.

“Mereka hadir, tapi tidak terbuka. Alasan mereka, belum ada izin dari KPU Pusat dan lainnya,” ujar Victor, Rabu (17/7).

Penyidik, sambung Victor, juga sudah memanggil 46 kepala sekolah (Kasek) yang dijadikan sebagai Tempat Pemungutan Suara (TPS). Mereka dipanggil karena dugaan fiktif berupa pengadaan alat peraga, meja dan lainnya.

“Mereka nggak mau bicara. Kalau memang tidak ada masalah maunya bicara saja. Nanti kita nilai, apakah sesuai dengan kegiatan atau tidak. Sampai sekarang mereka masih tutup mulut,” kata mantan Kasubdit Tipikor Jampidsus Kejagung ini.

Sementara, Ketua KPU Binjai, Zulfan Effendi menyatakan, tidak ada dipanggil penyidik. Dia pun ogah mencampuri urusan anggaran. Sebab, kata Zulfan, ini diatur dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

“Nilai yang Rp15 miliar itu, seluruhnya anggaran. Termasuk gaji pegawai, gaji komisioner. Kalau yang alat kelengkapan TPS, tanya langsung Sekretaris KPU,” ujar Zulfan.

Mantan Komisioner Divisi Hukum KPU Binjai menjelaskan, komisioner tidak ada urusannya dengan anggaran. Menurutnya, urusan anggaran langsung ke Sekretariat KPU Binjai.

“Komisioner hanya kebijakan dan tahapan penyelenggaraan Pemilu. Bagaimana pengadaan perlengkapan TPS (paku, busa, buku, benang) itu urusan Sekretaris dan Bendahara. Berapa anggaran dan di mana dibeli, bukan urusan kami,” ujar Zulfan.

Ketika sedang mewawancarai Zulfan, Sekretaris KPU Binjai, Syariful Azmi Nasution menghampiri wartawan. Azmi mengakui ada memberi keterangan kepada penyidik.

Selain Azmi, penyidik juga sudah mengambil keterangan kepada 46 Kasek, PPK, bendahara hingga penerima hasil barang. Menurut dia, bagian penganggaran KPU diperiksa atas adanya laporan fiktif perlengkapan TPS.

Dia menepis jika disebut penyidik fiktif. “Kalau fiktif, pemilu enggak terjadi. Anggaran per TPS Rp1,6 juta diturunkan ke kecamatan, kelurahan. Kami tinggal terima LPJ,” kata Azmi.

Azmi membantah disebut tidak kooperatif. Dia mengaku sudah menjeaskan secara terbuka.

“Mereka minta bukti SPJ bukti di TPS dan kami nggak bisa bantu. Karena kalau ada laporan masyarakat APH ada koordinasi ke inspektorat kami di KPU RI. Jadi karena itulah kami dianggap tutup mulut,” tandasnya. (ted/ala)

TEDDY AKBARI/SUMUT POS
WAWANCARA: Ketua KPU Binjai, Zulfan Effendi meladeni wawancara wartawan terkait dugaan korupsi yang menyeret lembaga pimpinannya.

BINJAI, SUMUTPOS.CO – Penyidik Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Binjai mengendus adanya dugaan korupsi di Sekretariat Komisi Pemilihan Umum. Bahkan, hasil penyelidikan penyidik sudah naik tingkat menjadi penyidikan khusus.

Artinya, penyidik bakal menetapkan tersangka dalam perkara tersebut. Kasus dugaan korupsi yang ditangani penyidik persisnya pengadaan alat peraga diduga fiktif.

Kajari Binjai, Victor Antonius Saragih Sidabutar menyatakan, dugaan fiktif pada pengadaan alat peraga ini dengan pagu anggaran mencapai Rp15 miliar. Menurut Kajari, sejumlah saksi yang diperiksa dari Sekretariat KPU Binjai tidak kooperatif dan irit bicara.

Seperti Kuasa Pengguna Anggaran dan Bendahara. Menurut Kajari, mereka sudah diundang tiga kali untuk memberikan keterangan.

“Mereka hadir, tapi tidak terbuka. Alasan mereka, belum ada izin dari KPU Pusat dan lainnya,” ujar Victor, Rabu (17/7).

Penyidik, sambung Victor, juga sudah memanggil 46 kepala sekolah (Kasek) yang dijadikan sebagai Tempat Pemungutan Suara (TPS). Mereka dipanggil karena dugaan fiktif berupa pengadaan alat peraga, meja dan lainnya.

“Mereka nggak mau bicara. Kalau memang tidak ada masalah maunya bicara saja. Nanti kita nilai, apakah sesuai dengan kegiatan atau tidak. Sampai sekarang mereka masih tutup mulut,” kata mantan Kasubdit Tipikor Jampidsus Kejagung ini.

Sementara, Ketua KPU Binjai, Zulfan Effendi menyatakan, tidak ada dipanggil penyidik. Dia pun ogah mencampuri urusan anggaran. Sebab, kata Zulfan, ini diatur dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

“Nilai yang Rp15 miliar itu, seluruhnya anggaran. Termasuk gaji pegawai, gaji komisioner. Kalau yang alat kelengkapan TPS, tanya langsung Sekretaris KPU,” ujar Zulfan.

Mantan Komisioner Divisi Hukum KPU Binjai menjelaskan, komisioner tidak ada urusannya dengan anggaran. Menurutnya, urusan anggaran langsung ke Sekretariat KPU Binjai.

“Komisioner hanya kebijakan dan tahapan penyelenggaraan Pemilu. Bagaimana pengadaan perlengkapan TPS (paku, busa, buku, benang) itu urusan Sekretaris dan Bendahara. Berapa anggaran dan di mana dibeli, bukan urusan kami,” ujar Zulfan.

Ketika sedang mewawancarai Zulfan, Sekretaris KPU Binjai, Syariful Azmi Nasution menghampiri wartawan. Azmi mengakui ada memberi keterangan kepada penyidik.

Selain Azmi, penyidik juga sudah mengambil keterangan kepada 46 Kasek, PPK, bendahara hingga penerima hasil barang. Menurut dia, bagian penganggaran KPU diperiksa atas adanya laporan fiktif perlengkapan TPS.

Dia menepis jika disebut penyidik fiktif. “Kalau fiktif, pemilu enggak terjadi. Anggaran per TPS Rp1,6 juta diturunkan ke kecamatan, kelurahan. Kami tinggal terima LPJ,” kata Azmi.

Azmi membantah disebut tidak kooperatif. Dia mengaku sudah menjeaskan secara terbuka.

“Mereka minta bukti SPJ bukti di TPS dan kami nggak bisa bantu. Karena kalau ada laporan masyarakat APH ada koordinasi ke inspektorat kami di KPU RI. Jadi karena itulah kami dianggap tutup mulut,” tandasnya. (ted/ala)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/