Site icon SumutPos

Penegakan Hukum Kasus Korupsi Dinilai Tebang Pilih

Korupsi-Ilustrasi.

MEDAN, SUMUTPOS.CO -Pengungkapan dan penanganan kasus korupsi di Sumatera Utara yang ditangani Kejaksaan Tinggi Sumut (Kejatisu) dinilai belum menunjukkan rasa keadilan dan penegakan hukum dalam upaya pemberantasan korupsi.

Sebab, masih banyak kasus-kasus korupsi yang ditangani penyidik Pidana Khusus (Pidsus) juga masih terkesan tebang pilih. Itu terlihat dari beberapa orang sudah ditetapkan sebagai tersangka, penyidik tidak melakukan penahanan, alias masih menghirup udara bebas.

Salah satunya kasus dugaan korupsi dana sosialisasi peningkatan aparatur Pemerintah Desa di Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas) Sumut Tahun Anggaran (TA) 2015,  Edita Siburian.  Selain itu, dugaan keterlibatan mantan Kepala Bapemas Sumut, Amran Uthe selaku pengguna anggaran (PA).

“Ada diskiriminasi terkait tidak ditahannya penyelenggara negara, padahal sudah ditetapkan sebagai tersangka. Kita semua tahu rekanan yang merupakan event organizer (EO) nya ketika diperiksa langsung ditahan.  Patut diduga ada upaya untuk mempengaruhi penyidik agar tak ditahan,”ungkap pengamat hukum,  Nuriono dari Pusat Studi Hukum dan Pembaharuan Peradilan (Pushpa), Senin (19/2) sore.

Wakil Ketua Pusat Studi Hukum dan Pembaharuan Peradilan (Pushpa) ini menilai, ada bentuk ketidakprofesionalan Kejatisu dari segala ucapan dan tindakan. Saat Kasipenkum Kejatisu Sumanggar Siagian yang pernah mengatakan Amran Uthe sudah ditetapkan sebagai tersangka, namun ucapan tersebut ditarik kembali.

Kemudian, pemeriksaaan Wali Kota Sibolga, Syarfi Hutauruk dalam kasus dugaan korupsi rigid beton yang diduga mendapat keistimewaan. Seharusnya, Kejatisu harus mendengar suara masyarakat dan media massa.

“Ketika warga biasa bermasalah, terkadang cepat dilakukan pemanggilan. Tetapi, saat Wali Kota yang dipanggil karena terlibat kasus, mendapat perlakuan istimewa karena kedudukannya. Hal-hal seperti inilah sebagai prilaku yang tidak profesional. Apalagi  seorang penegak hukum suka menarik ucapan, jelas mereka tidak profesional,”tutur Nuriono.

Menurut Nuriono, dugaan adanya mengulur-ulur waktu penyidikan dan menjadikan tersangka tidak ditahan seperti ini sulit dihilangkan para penyidik dan sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, bila ada permainan di dalam penanganan perkara. Seperti pada penanganan perkara korupsi Revitalisasi Terminal Amplas, Medan.

Meski ketiga terdakwa sudah dijatuhkan hukuman dan berstatus terpidana, sejak proses penyidikan di Kejati Sumut hingga dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Tipikor Medan, ketiganya masih menghirup udara bebas dan tak merasakan hukum. Walaupun, sudah dinyatakan bersalah melakukan korupsi.

Ketiga terdakwa kasus korupsi Revitalisasi Terminal Amplas itu adalah Khairudi Hazfin Siregar dijatuhkan hukuman selama setahun dan tiga bulan penjara serta denda Rp50 juta subsider 2 bulan kurungan, Direktur PT Welly Karya Nusantara, Tiurma Pangaribuan selaku rekanan juga divonis 1,3 tahun penjara dan Rp 50 juta subsider 2 bulan. Tiurma juga diwajibkan membayar Uang Pengganti Rp 300 juta lebih atau subsider 1 tahun kurungan.

Sedangkan Bukhari Abdullah selaku tim leader konsultan pengawas kegiatan dijatuhi hukuman 1,2 tahun penjara dan denda Rp 50 juta subsider 2 bulan kurungan.

“Kita berharap jajaran di Kejatisu harus profesional dan terbuka untuk diawasi.  Jangan tertutup menyampaikan informasi untuk masyarakat. Karena harus tahu pada tingkat mana informasi harus disebarluaskan,” jelasnya.

Menyikapi hal itu, Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas, Sumanggar Siagian mengatakan sudah melakukan proses hukum sesuai dengan prosedur hukum yang ada.”Sudah sesuai melakukan semua itu,” tandasnya.(gus/han)

Exit mobile version