KUALANAMU-Kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi. Kali ini wartawan Sumut Pos, Teddy Akbari, yang bertugas di Bandara Internasional Kualanamu mendapat perlakuan tak sepantasnya dari oknum TNI AD bernama Junaedi A.
Kejadian yang berlangsung kemarin itu bermula ketika Teddy mendapat tugas mewancarai penumpang kereta api bandara. Saat mewancarai penumpang yang akan naik kereta api woojin jurusan Kualanamu-Medan, Teddy sama sekali tidak menduga kalau Junaedi menendangnya.
Wawancara yang dilakukan Teddy dimulai dari pintu keluar kedatangan Bandara Kualanamu hingga ke pintu masuk stasiun. Sesampainya di pintu masuk stasiun KA tersebut, Teddy diingatkan Satpam ARS agar tak masuk ke dalam. Teddy meminta izin dan mengeluarkan surat tugasnya. Namun, sang satpam tetap tak member izin. Alasannya, Teddy dianggapnya sebagai calo taksi gelap. Teddy kembali menjelaskan kalau dia adalah wartawan dari Sumut Pos. Tidak hanya penjelasan, surat tugas pun ditunjukkannya.
Saat itulah seorang oknum personel Kodim 0204/Deliserdang, Junaedi A mendatangi Teddy. Tanpa basa-basi, Junaedi A langsung menendang bagian belakang Teddy. Tentu saja hal itu membuat Teddy terkejut. Teddy pun menunjukkan sikap keberatan. Pasalnya, sebagi wartawan, dia bertugas dilindungi undang-undang. Sementara, sang oknum TNI malah langsung menendang tanpa bertanya terlebih dulu soal keberadaan Teddy di stasiun itu. “Kami ditugaskan di stasiun ini untuk oknum yang tidak berkepentingan dilarang masuk. Kalau sampean memang wartawan, harusnya bilang dari awal,” ucap Junaedi A berkilah.
Teddy menyatakan, keberatan atas penendangan itu, pasalnya apa yang dilakukannya sudah sesuai prosedural dengan menunjukkan surat tugas. “Memang Pak Junaedi sudah minta maaf, tapi ini kan bagian dari tugas saya. Janganlah memperlakukan orang dengan arogan,” ucapnya.
Adanya tindakan arogansi ini, Sumut Pos langsung menghubungi Komandan Rayon Militer (Koramil) Beringin, Kapten Jhoni Girsang membenarkan ada anggotanya bertugas untuk mengawas di Bandara KNIA khususnya mengawas di statusiun KA bandara.
“Saya tidak menyangka adanya insiden penendangan itu. Saya akan berkordinasi terlebih dahulu dengan yang bersangkutan untuk menanyakan insiden ini lebih rinci. Kalau memang itu terjadi, saya minta maaf. Memang kami ada tugaskan untuk mengamankan penumpang yang ingin menggunakan kereta api. Jika terjadi di stasiun, itu memang wewenang dia untuk bertanya terlebih dahulu,” bebernya.
Terpisah Komadan Dandim 0204/Deliserdang Letkol Arh Syaepul Mukti Ginanjar SIP saat dikonfirmasi mengakui belum mengetahui pertistiwa kekerasan yang dilakukan anggotanya terhadap seorang wartawan Sumut Pos yang bertugas di Bandara Kualanamu. “Bang saya cek dulu, kebetulan saya masih tugas ke Jakarta. Baru malam ini kembali,” jawab Letkol Arh Syaepul via SMS.
Manajer Pelayanan Raillink Kualanamu, Zulham Syahputra yang dikonfirmasi mengakui pihaknya memang melakukan kerja sama dengan Kodim 0204/Deliserdang dalam hal kenyamanan. Selain itu, kerja sama ini dilakukan dalam hal mengamankan stasiun dari oknum taksi gelap.
“Makanya, kami letakan tentara itu di depan agar calon penumpang tidak terhambat mau ke stasiun. Itukan nampak, banyak oknum taksi gelap yang menghalangi penumpang kami menuju stasiun,” tukasnya.
Pengamat Hukum, Muslim Muis menyatakan, insiden itu sudah jelas suatu pelanggaran HAM dan juga pelanggaran Kode Etik Jurnalistik. Sebab, saat itu jurnalis tersebut sedang dalam tugas peliputan.
“Jadi, instansi (Denpom) terkait harus bertindak cepat agar tidak ada korban lainnya,” ujar Ketua Umum Pusat Study Hukum Pembaharuan dan Peradilan (PUSHPA) Sumut ini saat dihubungi melalui ponselnya, Minggu (20/4) malam.
Menurut pandangan Muis, seharusnya anggota TNI itu ditugaskan di bandara militer bukan sipil. Karena, bandara sipil sudah ada aparat hukumnya yaitu polisi. “Dengan begini terbukti sudah adanya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum TNI. Karena itu, diminta pihak terkait (Denpom) untuk melakukan evaluasi dengan segera,” tandasnya.
Sementara itu, dari Markas Komando (Mako) Denpom Militer I/1 Sub Detasemen Polisi Militer I/1-3, Jalan Imam Bonjol No 15, Lubukpakam, Deliserdang, Teddy menuturkan insiden ini sudah dilaporkan ke pihak Denpom. Penyidik Denpom akan menindaklanjutinya.”Laporannya sudah diterima oleh salah seorang penyidik Denpom, Sersan Eko. Mereka berjanji akan berkoordinasi dengan Danramil Beringin. Jadi, besok (hari ini, Red) akan dimintai keterangan lagi,” ujarnya.
Di sisi lain, begitu mengetahui kerja jurnalis kembali dihadapkan kearoganan oknum TNI, Agoez Perdana, Koordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan pun langsung mengutuk. Agoez menegaskan dalam melakukan tugasnya, wartawan dilindungi oleh UU Pers No 40/1999. Sehingga apa yg dilakukan oleh oknum TNI tersebut sudah memenuhi unsur pelanggaran pasal 18 ayat 1 UU Pers dengan ancaman hukuman penjara 2 tahun atau denda 500 juta.
“AJI Kota Medan mengutuk tindakan yang dilakukan oknum TNI kepada wartawan Sumut Pos, Teddy,” ujarnya Agus.
Dirinya menambahkan bahwa penendangan itu telah termasuk dalam aksi kekerasan terhadap wartawan, dan AJI Medan sangat menyesalkan terjadinya insiden yg menambah panjang daftar kekerasan yg dilakukan pihak militer terhadap wartawan. AJI Medan meminta semua pihak, terutama TNI utk menghormati kerja wartawan dengan tidak menghalangi ketika wartawan sedang melakukan tugas jurnalistiknya apalagi sampai melakukan tindak kekerasan baik secara fisik maupun verbal karena tindakan-tindakan sepertt itu dapat dikategorikan pelanggaran.
“Penendangan sudah jelas masuk ke dalam tindak kekerasan. Apalagi insiden ini menambah panjang daftar kekerasan yang dilakukan pihak militer kepada wartawan. Untuk itu AJI Medan meminta polisi militer atau pihak yang berwenang menindaklanjuti kasus ini dan diadili,” katanya.
Koordinator Kontras Sumut, Herdensi Ajenin pun mengutuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum TNI tersebut. Seharusnya pihak TNI mengedepankan jalur dialog didalam menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi. Tindakan tersebut adalah tindakan tersebut sangat keterlaluan dan membuat malu korps.
“Saya mengutuk tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh Oknum TNI yang melakukan tindakan kekerasan kepada awak media yang sedang melakukan tugasnya dalam peliputan. Jalur dialog kan seharusnya lebih diutamakan,” katanya.
Hardensi juga menyebutkan bahwa TNI saat ini sering melakukan kerja-kerja melampui kewenangan yang dimilikinya. Seharusnya TNI mengedepan tugas yang diamanatkan oleh undang-undang. TNI yang selama ini memiliki tugas terhadap keamanan negara dari ancaman luar. Sementara untuk menjaga ketertiban di dalam negara adalah pihak kepolisian. Meskipun dalam kondisi-kondisi tertentu pihak TNI juga ditugaskan dalam pengamanan objek vital.
“Seharusnya TNI jangan melampui wewenang yang diberikan kepada dirinya. Undang-undang sudah sangat jelas mengatur tugas dan fungsi TNI,” katanya.
Namun Hardensi menyayangkan bahwa dibanyak tempat tidak hanya bandara, TNI sering ditugaskan baik atas nama kesatuan ataupun tidak atas nama kesatuan. Hal tersebut tentu menyalahi aturan. TNI harus segera dikembalikan ke barak. Apalagi kejadian tindakan sembrono melakukan kekerasan kerap terjadi selama ini.
“Tindakan kekerasan yang dilakukan oknum TNI tersebut dapat menjadi ancaman bagi masyarakat sipil itu sendiri. Kembalikan saja tentara ke barak agar sesuai dengan tugas dan fungsinya. Pasalnya bukan sekali atau dua kali saja TNI melakukan tindakan sembrono seperti ini,” jelasnya.
Sebagai informasi, berdasarkan catatan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), jumlah kasus kekerasan yang dialami jurnalis pada 2013 sebanyak 50 kasus. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut meliputi ancaman atau teror, pengusiran dan larangan peliputan, serangan fisik, sensor, tuntutan/gugatan hukum, pembredelan atau larangan terbit, regulasi, demonstrasi dan pengerahan masa, perusakan kantor serta perusakan alat. (btr/mag-5/mag-8/rbb)