Site icon SumutPos

Mantan Bupati Cabuli Anak Kandung

JAKARTA- Kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak masih saja terjadi. Terbaru, seorang ibu sampai mengadukan mantan suaminya seorang mantan bupati sebuah kabupaten di Sumatera Barat, TM, ke Polres Jakarta Selatan karena diduga mencabuli anak kandungnya, PT (8).

KORBAN: Seorang anak dari bocah-bocah korban pencabulan tersangka AN.//AMINOER RASYID/SUMUT POS/jpnn

Pelapor YH (44), ibu kandung korban yang juga mantan istri TM meminta agar terlapor yang diketahui pensiunan TNI AD itu dihukum seumur hidup. Dugaan pencabulan itu  diduga dilakukan PT di kediamannya di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten.

Pernikahan YH dengan TM dikaruniai tiga anak, BT (11), PT (8) dan ST (7). Namun, karena tak cocok mereka memutuskan bercerai. Menurut Penasehat Hukum YH, Hermansyah Dulaimi, YH dan TM pun membuat kesepakatan dalam hal mengurus anak-anak mereka setelah bercerai.

Mereka sepakat anak-anak empat hari di rumah ibunya, dan tiga hari di kediaman sang ayah. “Ketika korban di rumah sang ayah peristiwa itu pun (diduga) terjadi,” kata Hermansyah mendampingi YH melapor ke Polres Jakarta Selatan, Selasa (20/5).

Ihwal terungkapnya kasus ini berawal ketika YH melihat perubahan sikap dan tingkah laku anaknya. YH heran sebab setiap kali sang ayah datang ke rumah, anaknya ketakutan dan selalu menangis.

Menurut YH, anaknya juga bercerita soal dugaan perbuatan sang ayah. Sebelumnya sang anak sempat tak mau bercerita kepada ibunya tersebut. Kata YH, sang anak sering dipanggil masuk kamar ketika di rumah ayahnya itu.

Dia menyebut, peristiwa itu diduga sudah terjadi empat kali. YH mengungkapkan, mantan bupati itu diduga tiga kali perbuatannya saat sang anak sedang tidur. Sebab, kata dia, ketika bangun sang anak sudah dalam keadaan tanpa busana.

Kemudian, lanjut dia, pelaku juga diduga sekali melakukan perbuatannya ketika korban dalam keadaan sadar. Ia mengatakan, dalam kondisi terlentang korban diminta menutup mata. Lalu, kata dia, korban diminta untuk membuka celana dalam. “Kemaluannya ditusuk jari telunjuk  (pelaku),” kata YH.

Menurut YH, akibat perlakuan itu sang anak sempat tak mau pergi ke sekolah. YH juga mengaku sempat membawa anaknya ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Kemudian, hari ini ia memilih mempolisikan mantan suaminya tersebut. YH berharap mantan suaminya itu bertanggungjawab atas dugaan perbuatan yang dilakukan kepada sang anak.

“Karena yang (diduga) dilecehkan itu anak kandungnya sendiri, saya mau dia dihukum seumur hidup,” pungkasnya.

Penasaran karena Facebook

Sedangkan perkembangan kasus penanganan kasus pelajar kelas I SMP yang menyodomi 6 bocah berusia di bawah 10 tahun, penyidik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Satuan Reskrim Polresta Medan masih bungkam. Kanit PPA, AKP Uli Lubis yang hendak dikonfirmasi Sumut Pos tak kunjung keluar dari ruang kerjanya, Rabu (21/5) siang. Ketika dihubungi berkali-kali via seluler Rabu sore, wanita berpangkat tiga balok emas ini tidak mengangkat selularnya. Bahkan, pesan singkat yang dilayangkan tak kunjung dibalas.

Seorang Komisioner KPAID Sumut, Elvi Hadriany yang ditemui di kantornya mengungkapkan, sejauh ini perkembangan kasus tersebut masih sebatas pemeriksaan. Hal itu dikatakan berdasarkan pemantauannya menyoroti kasus ini dan koordinasi dari AKP Uli Lubis.

“Pelaku (AN) masih tertutup. Dia terlihat masih syok. Jadi, belum bisa digali keterangannya,” kata Elvi.

Ia menjelaskan, menurut pengakuan AN, awal mulanya pelaku melakukan perbuatan asusila itu dari mengakses jejaring sosial facebook di warnet dekat rumahnya pada akhir Januari lalu. Saat itu, AN melihat gambar kemaluan laki-laki. “Lalu, pelaku meng-klik gambar tersebut dan kemudian tampil situs porno sehingga akhirnya ditontonlah situs tersebut,” jelas Elvi.

Setelah menonton itu, rasa ingin tahu dan mencoba dari pelaku begitu kuat, sehingga ia mempraktikan apa yang ditontonnya itu kepada para korbannya. “Pelaku Penasaran seperti apa rasannya. Lalu dia mempraktikan kepada anak-anak yang tak tetangganya sendiri. Rata-rata pelaku melakukan perbuatannya itu di siang hari selepas pulang sekolah. Setelah membersihkan rumah dan kebetulan kedua orang tuanya tidak berada di rumah, pelaku mengajak para korban untuk berenang di kolam ikan gurame (bukan ikan lele). Kode pelaku ketika hendak berbuat yaitu ‘heeh yok’,” bebernya.

Elvi melanjutkan, korban yang pertama adalah AL dan DM. Eksekusi dilakukan pada awal Februari lalu. Selanjutnya, beberapa hari kemudian para korban lainnya, yaitu BI dan SH. Terakhir dilakukannya kepada RA dan TI pada awal Maret lalu.

Dari pengakuan pelaku, korban tidak hanya 6 anak tetapi 8 anak. Hanya saja dua orang lagi enggan melaporkan. “Akan tetapi, kita belum bisa berbicara banyak karena pelaku masih tertutup dan kondisinya juga syok. Kita juga tidak bisa memaksakan, karena pelaku masih berusia di bawah umur,” sebutnya.

Menurut Elvi, sebenarnya pelaku adalah korban dari kelalaian pengawasan orangtua yang tidak memantau tingkah laku anaknya sendiri. “Bapak pelaku seorang  supir, sedangkan ibunya bekerja sebagai ibu rumah tangga di rumah warga. Jadi, sibuknya orang sehingga lupa mengawasi tingkah laku anak memungkinan terjadi penyimpangan prilaku anak,” katanya.

Ia menyebut, pelaku merupakan anak paling besar dari 3 bersaudara. Dua adiknya masih kecil, yang pertama berstatus sekolah dasar dan kedua berusia 4 tahun.

Dengan demikian, masih kata Elvi, AN tidak bisa juga disalahkan semata-mata. Karena, lemahnya pengawasan dari orang tua memungkinkan terjadinya itu. “Jadi, pengawasan kedua orangtua harus ekstra ketat. Misalnya, ketika menonton televisi harus diawasi juga. Ketika hendak ke warnet perlu juga dipantau. Satu hal lagi, orangtua harus peka terhadap emosi atau tingkah laku anaknya yang tak seperti biasanya,” tuturnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, di sekolah, anak-anak sekarang seharusnya bisa diperkenalkan mengenai anggota tubuhnya. Tetapi, tidak langsung ke bagian sensitif. Bisa dimulai dari organ tubuh yang mudah diingat kemudian berlanjut memperkenalkan bagian-bagian sensitif. “Bagian-bagian tubuh sensitif itu harus diterapkan dalam pemikiran anak, bahwasanya tidak boleh disentuh. Hanya dirinya sendiri yang boleh menyentuh,” jelasnya.

Karena itu, Elvi menambahkan, pihaknya berupaya akan mendampingi psikologis terhadap para korban untuk mencegah supaya jangan sampai korban menjadi pelaku. Karena, kebanyakan yang terjadi para pelaku pencabulan pernah menjadi korban.

“Selain itu, kita akan menjalin kerja sama dengan psikolog dari beberapa universitas untuk melakukan pembekalan terhadap calon-calon guru guna mencegah terjadinya seksual terhadap anak,” imbuhnya.

Sementara itu, Ketua Komnas Anak, Arist Merdeka Sirait mengatakan, sudah jelas bahwasanya apa yang pernah diutarakannya beberapa waktu lalu Sumut darurat kejahatan seksual anak terbukti. Karena itu, polisi harus sensitif dalam menangani kasusnya. Apalagi pelakunya anak-anak. (boy/jpnn/mag8/tom)

Exit mobile version