26.7 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sidang Dugaan Pemalsuan Akta, Terdakwa Akui Berada di Singapura Bertepatan Penanggalan Akta

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Terdakwa dugaan pemalauan akta David Putra Negoro alias Lim Kwek mengaku berada di singapura bertepatan penanggalan dalam penerbitan Akta Nomor 8 dan Nomor 9 tentang perjanjian kesepakatan. Hal itu terungkap dalam sidang beragendakan keterangan tersakwa, di Ruang Cakra 6 Pengadilan Negeri (PN) Medan, Selasa (23/11).

David Putra Negoro alias Lim Kwek, terdakwa kasus dugaan pemalsuan akta memberikan keterangan di persidangan, Selasa (23/11).

Hal tersebut tak mampu disangkal oleh terdakwa, saat dicecar JPU Chandra Naibaho dengan sejumlah pertanyaan berkaitan keberadaan para ahli waris di bulan juli 2008 bertepatan penanggalan akta yang diterbitkan notaris Fujianto Ngariawan yang kini berstatus DPO di Polrestabes Medan

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Chandra Naibaho, diluar persidangan mengungkapkan bahwa persoalkan masalah laporan dari pada si terlapor Jong Nam Liong yang mengatakan di akta 21 Juli 2008, mereka tidak ada datang ke Notaris untuk membuat kesehatan bersama maupun menandatangani akta tersebut.

“Karena saat itu, termasuk orang tua mereka sedang berada di Singapura menjalani perobatan sampai 05 September sudah keadaan meninggal dunia. Disitulah akta palsunya, karena pada 21 Juli 2008 mereka di Singapura, dan terdakwa membenarkan hal itu,” ungkapnya.

Selain itu, pembuktian tersebut dilihat dari Paspor Almarhum bahwasannya pada tanggal 30 Juni 2008 sudah berangkat ke Singapura berdasarkan Paspor.

“Nah, dari keadaan itu saja sudah tidak benar, karena almarhum ada di Singapura, bagaimana dia mengonsep surat tersebut. Arti dari petunjuk itu lahirnya dari penyesuaian antara keterangan satu dengan keterangan lainnya maupun keterangan terdakwa itu sendiri,” ujarnnya.

Lebih lanjut, kata dia, seperti yang dia tanyakan tadi di persidangan tentang keterangan saksi dari Rismawati yang mengatakan saat itu dirinya ikut bersama notaris membuat akta itu dan dibacakan di depan para ahli waris.

“Yang saya tanyakan kepada Rismawati kapan penomoran dan pembuatan hari, tanggal serta tahun itu dilakukan. Karena saat itu ahli waris Samsudin tidak ada di rumah itu dan itu masih di bulan Juli 2008,” urainya.

Sementara itu, Longser Sihombing selalu kuasa hukum korban usai persidangan mengatakan, adanya kejanggalan soal penerbitan dan penanggalan akta nomor 8 tersebut terlihat jelas dari kronologis kasus dan keterangan para saksi maupun keterangan terdakwa dalam persidangan.

“Ada kejanggalan dari kronologis kasus, dimana tidak secara sistematis ruang dan waktu antara proses persiapan, perencanaan, pembuatan, hingga penandatanganan minuta akta tanggal 21 Juli 2008. Karena central masalahnya adalah bagaimana proses dan mekanisme pembuatan akta itu oleh notaris Fujianto Ngariawan, yang kita tahu sendiri bahwa yang bersangkutan kini berstatus DPO di Polrestabes Medan,” tegasnya.

Longser mengatakan, kejanggalan prosedur pembuatan akta tersebut juga jelas terkuak sebagaimana berdasarkan keterangan saksi korban bahwa para saksi korban yang merupakan ahli waris berada di Singapura untuk merawat orang tuanya Tjong Tjin Boen di rawat di rumah sakit.

“Jadi keberadaan mereka di 21 Juli 2008 benar-benar di Singapore, dalam rangka membesuk orang tua mereka Jong Tjin Boen yang sejak 12 Juli 2008 berada di rumah sakit Mount Elizabeth Singapore hingga meninggal dunia dan dibawa kembali ke Medan pada bulan september,” sebutnya.

Karena itu, Longser kembali menegaskan, keterangan terdakwa dan beberapa saksi sebelumnya yang merupakan pegawai kantor notaris sangat bertentangan dengan prosedur pembuatan akta sesuai pendapat saksi ahli kenotariatan yang telah memberi kesaksian pada sidang sebelumnya.

“Sebelumnya saksi ahli kenotariatan Dr Hendri Sinaga menyatakan bahwa pembuatan akta tersebut pada umumnya tidak sesuai prosedur. Karena dalam prosedur pembuatan akta para pihak harus datang ke kantor notaris,” tandasnya. (man)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Terdakwa dugaan pemalauan akta David Putra Negoro alias Lim Kwek mengaku berada di singapura bertepatan penanggalan dalam penerbitan Akta Nomor 8 dan Nomor 9 tentang perjanjian kesepakatan. Hal itu terungkap dalam sidang beragendakan keterangan tersakwa, di Ruang Cakra 6 Pengadilan Negeri (PN) Medan, Selasa (23/11).

David Putra Negoro alias Lim Kwek, terdakwa kasus dugaan pemalsuan akta memberikan keterangan di persidangan, Selasa (23/11).

Hal tersebut tak mampu disangkal oleh terdakwa, saat dicecar JPU Chandra Naibaho dengan sejumlah pertanyaan berkaitan keberadaan para ahli waris di bulan juli 2008 bertepatan penanggalan akta yang diterbitkan notaris Fujianto Ngariawan yang kini berstatus DPO di Polrestabes Medan

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Chandra Naibaho, diluar persidangan mengungkapkan bahwa persoalkan masalah laporan dari pada si terlapor Jong Nam Liong yang mengatakan di akta 21 Juli 2008, mereka tidak ada datang ke Notaris untuk membuat kesehatan bersama maupun menandatangani akta tersebut.

“Karena saat itu, termasuk orang tua mereka sedang berada di Singapura menjalani perobatan sampai 05 September sudah keadaan meninggal dunia. Disitulah akta palsunya, karena pada 21 Juli 2008 mereka di Singapura, dan terdakwa membenarkan hal itu,” ungkapnya.

Selain itu, pembuktian tersebut dilihat dari Paspor Almarhum bahwasannya pada tanggal 30 Juni 2008 sudah berangkat ke Singapura berdasarkan Paspor.

“Nah, dari keadaan itu saja sudah tidak benar, karena almarhum ada di Singapura, bagaimana dia mengonsep surat tersebut. Arti dari petunjuk itu lahirnya dari penyesuaian antara keterangan satu dengan keterangan lainnya maupun keterangan terdakwa itu sendiri,” ujarnnya.

Lebih lanjut, kata dia, seperti yang dia tanyakan tadi di persidangan tentang keterangan saksi dari Rismawati yang mengatakan saat itu dirinya ikut bersama notaris membuat akta itu dan dibacakan di depan para ahli waris.

“Yang saya tanyakan kepada Rismawati kapan penomoran dan pembuatan hari, tanggal serta tahun itu dilakukan. Karena saat itu ahli waris Samsudin tidak ada di rumah itu dan itu masih di bulan Juli 2008,” urainya.

Sementara itu, Longser Sihombing selalu kuasa hukum korban usai persidangan mengatakan, adanya kejanggalan soal penerbitan dan penanggalan akta nomor 8 tersebut terlihat jelas dari kronologis kasus dan keterangan para saksi maupun keterangan terdakwa dalam persidangan.

“Ada kejanggalan dari kronologis kasus, dimana tidak secara sistematis ruang dan waktu antara proses persiapan, perencanaan, pembuatan, hingga penandatanganan minuta akta tanggal 21 Juli 2008. Karena central masalahnya adalah bagaimana proses dan mekanisme pembuatan akta itu oleh notaris Fujianto Ngariawan, yang kita tahu sendiri bahwa yang bersangkutan kini berstatus DPO di Polrestabes Medan,” tegasnya.

Longser mengatakan, kejanggalan prosedur pembuatan akta tersebut juga jelas terkuak sebagaimana berdasarkan keterangan saksi korban bahwa para saksi korban yang merupakan ahli waris berada di Singapura untuk merawat orang tuanya Tjong Tjin Boen di rawat di rumah sakit.

“Jadi keberadaan mereka di 21 Juli 2008 benar-benar di Singapore, dalam rangka membesuk orang tua mereka Jong Tjin Boen yang sejak 12 Juli 2008 berada di rumah sakit Mount Elizabeth Singapore hingga meninggal dunia dan dibawa kembali ke Medan pada bulan september,” sebutnya.

Karena itu, Longser kembali menegaskan, keterangan terdakwa dan beberapa saksi sebelumnya yang merupakan pegawai kantor notaris sangat bertentangan dengan prosedur pembuatan akta sesuai pendapat saksi ahli kenotariatan yang telah memberi kesaksian pada sidang sebelumnya.

“Sebelumnya saksi ahli kenotariatan Dr Hendri Sinaga menyatakan bahwa pembuatan akta tersebut pada umumnya tidak sesuai prosedur. Karena dalam prosedur pembuatan akta para pihak harus datang ke kantor notaris,” tandasnya. (man)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/