32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Gaji Rp15 Juta per Bulan, tapi Tidur Bersama Ular

RIDLWAN HABIB, Perbatasan Malaysia-Filipina

Inilah anak-anak muda Indonesia yang berjuang mencerdaskan anak-anak TKI di ladang-ladang sawit di Sabah, Malaysia. Jarang mandi, sering sakit, dan hidup berdampingan dengan binatang liar menjadi ‘makanan’ sehari-hari.

ANTRE: Anak-anak TKI berangkat  tempat belajar naik truk sawit  kamp Sabah Mas Lahad Datu.//Ali for Jawa Pos/jpnn
ANTRE: Anak-anak TKI berangkat ke tempat belajar naik truk sawit di kamp Sabah Mas Lahad Datu.//Ali for Jawa Pos/jpnn

Sengketa wilayah di Felda Sahabat, Lahad Datu, Sabah, berimbas pada penutupan hampir semua aktivitas belajar mengajar anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di perkebunan sawit. Akibatnya, mulai Sabtu (9/3) para guru terpaksa mengungsi ke kota terdekat untuk menghindari konflik bersenjatan
yang terus memakan korban jiwa kedua pihak yang bertikai tersebut.

“Sebenarnya kami biasa ke bandar (kota, Red) untuk membeli kebutuhan pokok. Tapi, karena saat ini situasi sedang genting, sementara kami (mengungsi) di sini dulu,’’ ujar Nur Ali Maksum, salah seorang guru kontrak alumnus Fakultas Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, yang ditemui di tempat pengungsian.

Selain Ali, ada delapan guru kontrak asal Indonesia yang berkumpul di rumah singgah itu. Mereka berasal dari berbagai kamp ladang sawit di sekitar Kota Lahad Datu. Ada Ridlwan Mutaqin (UPI), Rahmat Saleh (UGM), Rizal Nur (UPI), Siti Samadiah (UNM Makassar), Hadiati Yusda (UMY Jogja), Hepi Widaryanti (UNY Jogja), Kerry Raih Suwesti (UnTanjungpura), dan Wini Andika (Unimed Medan).

Mereka adalah peserta program guru kontrak khusus untuk mengajar anak-anak TKI yang dibiayai Kementerian Pendidikan Nasional. Ada 54 guru kontrak yang sekarang berada di wilayah negara bagian Sabah, Malaysia.

’’Saya sampai di Lahad Datu Oktober 2011, kontraknya dua tahun,’’ kata Ali.
Bobotoh (pendukung) Persib Bandung itu nekat ke Sabah karena tawaran gaji yang cukup besar. ’’Kami dapat gaji Rp15 juta per bulan, ditransfer langsung dari Jakarta ke rekening,’’ ungkapnya.

Lajang itu mengaku memang berniat menabung untuk modal hidup. ’’Kalau untuk usia saya, jumlah itu sebanding lah dengan suka duka di sini,’’ kata sarjana psikologi lulusan 2009 tersebut.

Selama masa kontrak itu, para guru harus rela menjalani kehidupan yang ’kurang layak’. Mereka tinggal di barak-barak di dalam hutan sawit. Sinyal telepon sulit tembus. Hanya sesekali bisa nyambung.
’’Bahkan, listrik hanya menyala enam jam sehari,’’ kata Rahmat Saleh yang anak-istrinya ditinggal di Sewon, Bantul, Jogjakarta.

Di antara sembilan guru kontrak di Felda Sahabat, baru Rahmat dan Rizal Nur yang sudah menikah. ’’Anak saya satu, istri bekerja sebagai PNS di Bantul,” ungkap Rahmat. Sejak 2011, dia sudah pulang dua kali.

Di kompleks perkebunan sawit tersebut, mereka bekerja di bawah pengurusan LSM Humana maupun learning centre dari pihak perusahaan.

’Jadi, LSM itu yang negosiasi dengan company. Hanya, karena yang kami ajar adalah anak-anak pekerja Indonesia, kami dikirim Kemendiknas,’ jelas alumnus Fakultas Peternakan UGM itu.

Jumlah siswa yang mereka tangani beragam. Tapi, rata-rata lebih dari 100 siswa per kamp. ’Kelasnya tidak bersekat. Jadi, pintar-pintar kami menyusun materi,’ lanjutnya.

Yusda yang mengajar di Kamp Cantawau bahkan menangani 150 orang. ’Kami harus supersabar. Kebanyakan anak-anak sulit diatur untuk rapi. Kadang ada yang loncat-loncat di meja, salto-salto, pokoknya ramai banget,’’ ujar gadis asal Pontianak, Kalimantan Barat, itu.

Jam mengajar para guru cukup fleksibel. Sebab, sebagai cikgu (guru), mereka dianggap tokoh pengayom masyarakat. Akibatnya, belajar mengajar terkadang berlangsung di rumah guru. ’’Mereka (murid-murid) sering tidur di rumah, menginap. Terkadang minta makan,’’ ungkapnya.

Karena jauh di dalam ladang sawit, air merupakan barang yang sangat susah didapat. Untuk memperoleh air, mereka mengandalkan bak penampungan air hujan. ’’Tapi, kalau tidak ada hujan, ya kami tidak mandi,’’ ujar Ali.

Untuk kebutuhan air minum dan masak, mereka memborong air mineral seminggu sekali dari Kota Lahad Datu. ’’Awal-awal di sini, kami masih berani merebus air tampungan hujan itu.

Tapi, setelah meminumnya, kami langsung sakit. Jadi, sekarang kami tak berani ambil risiko lagi,’’ tambah Ali yang baru keluar dari rumah sakit karena terserang demam berdarah tersebut.

Berbagai penyakit memang rentan menyerang para pahlawan tanpa tanda jasa di dalam hutan sawit itu. ’’Malaria sudah biasa. Ada yang terkena hepatitis, demam berdarah, dan lainnya,’’ kata Yusda.

Padahal, kalau sakit, mereka harus membayar sendiri biaya opname maupun obat. Mereka tidak dilindungi asuransi. ’’Gaji Rp 15 juta itu sudah all-in,’’ tegas alumnus Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Jogjakarta itu.
Ridlwan Mutaqin punya cerita lain selama mengajar di Kamp Sabah Mas.

Yakni, hidup berdampingan dengan binatang-binatang liar seperti ular kobra, babi hutan, serta gajah. ’’Hampir tiap hari kami menemui binatang liar di hutan itu.’’

Awalnya, mereka cukup stres harus ’bersahabat’ dengan hewan-hewan liar tersebut. ’’Tapi, sekarang sudah terbiasa, meski tetap harus berhati-hati dan waspada,’’ ujar Ridlwan yang merupakan alumnus jurusan manajemen bisnis itu.

Bertugas jauh dari teman-teman dan gaya hidup sewaktu masih mahasiswa membuat mereka sangat solid dan kompak. ’’Kalau ada sesama guru kontrak di kamp lain butuh bantuan, sebisa mungkin kami meluncur,’’ kata Ali yang sebelum ke Lahad Datu sempat menjemput Yusda di Kamp Cantawan yang berjarak hampir 4 jam dari Lahad Datu.

Saking akrabnya antarguru kontrak itu, cinta pun bersemi di hutan sawit. Ali mencontohkan rekannya bernama Dodi Wibowo yang menikah dengan sesama guru kontrak bernama Eli Susilowati. Pasangan Dodi dan Eli saling jatuh hati di Sabah dan menikah pada Agustus tahun lalu di Brebes, Jawa Tengah.
’’Tapi, sekarang mereka memilih ke Tawau karena jaraknya lebih dekat dari kamp,’’ jelas Ali.

Ada juga pasangan Nanda dan Marda. ’’Mereka kini berada di wilayah Kinabatangan. Mbak Marda lagi hamil,’’ imbuh dia.

Untuk mengusir lelah dan bosan, mereka sering mengadakan aktivitas kreatif untuk anak-anak TKI. Misalnya, Ali mengunggah video di Youtube dengan judul Ku Nak Pigi Sekolah. ’’Tolong ditulis ya Mas, supaya mama saya di Bandung tahu,’’ pesan Ali.

Para guru TKI itu berharap Malaysia segera menyelesaikan konflik bersenjata dengan gerilyawan Sulu, Filipina, supaya mereka bisa kembali beraktivitas. ’’Kami sudah pengin ngajar lagi. Sudah kangen anak-anak,’’ tegas Ali. (*)

RIDLWAN HABIB, Perbatasan Malaysia-Filipina

Inilah anak-anak muda Indonesia yang berjuang mencerdaskan anak-anak TKI di ladang-ladang sawit di Sabah, Malaysia. Jarang mandi, sering sakit, dan hidup berdampingan dengan binatang liar menjadi ‘makanan’ sehari-hari.

ANTRE: Anak-anak TKI berangkat  tempat belajar naik truk sawit  kamp Sabah Mas Lahad Datu.//Ali for Jawa Pos/jpnn
ANTRE: Anak-anak TKI berangkat ke tempat belajar naik truk sawit di kamp Sabah Mas Lahad Datu.//Ali for Jawa Pos/jpnn

Sengketa wilayah di Felda Sahabat, Lahad Datu, Sabah, berimbas pada penutupan hampir semua aktivitas belajar mengajar anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di perkebunan sawit. Akibatnya, mulai Sabtu (9/3) para guru terpaksa mengungsi ke kota terdekat untuk menghindari konflik bersenjatan
yang terus memakan korban jiwa kedua pihak yang bertikai tersebut.

“Sebenarnya kami biasa ke bandar (kota, Red) untuk membeli kebutuhan pokok. Tapi, karena saat ini situasi sedang genting, sementara kami (mengungsi) di sini dulu,’’ ujar Nur Ali Maksum, salah seorang guru kontrak alumnus Fakultas Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, yang ditemui di tempat pengungsian.

Selain Ali, ada delapan guru kontrak asal Indonesia yang berkumpul di rumah singgah itu. Mereka berasal dari berbagai kamp ladang sawit di sekitar Kota Lahad Datu. Ada Ridlwan Mutaqin (UPI), Rahmat Saleh (UGM), Rizal Nur (UPI), Siti Samadiah (UNM Makassar), Hadiati Yusda (UMY Jogja), Hepi Widaryanti (UNY Jogja), Kerry Raih Suwesti (UnTanjungpura), dan Wini Andika (Unimed Medan).

Mereka adalah peserta program guru kontrak khusus untuk mengajar anak-anak TKI yang dibiayai Kementerian Pendidikan Nasional. Ada 54 guru kontrak yang sekarang berada di wilayah negara bagian Sabah, Malaysia.

’’Saya sampai di Lahad Datu Oktober 2011, kontraknya dua tahun,’’ kata Ali.
Bobotoh (pendukung) Persib Bandung itu nekat ke Sabah karena tawaran gaji yang cukup besar. ’’Kami dapat gaji Rp15 juta per bulan, ditransfer langsung dari Jakarta ke rekening,’’ ungkapnya.

Lajang itu mengaku memang berniat menabung untuk modal hidup. ’’Kalau untuk usia saya, jumlah itu sebanding lah dengan suka duka di sini,’’ kata sarjana psikologi lulusan 2009 tersebut.

Selama masa kontrak itu, para guru harus rela menjalani kehidupan yang ’kurang layak’. Mereka tinggal di barak-barak di dalam hutan sawit. Sinyal telepon sulit tembus. Hanya sesekali bisa nyambung.
’’Bahkan, listrik hanya menyala enam jam sehari,’’ kata Rahmat Saleh yang anak-istrinya ditinggal di Sewon, Bantul, Jogjakarta.

Di antara sembilan guru kontrak di Felda Sahabat, baru Rahmat dan Rizal Nur yang sudah menikah. ’’Anak saya satu, istri bekerja sebagai PNS di Bantul,” ungkap Rahmat. Sejak 2011, dia sudah pulang dua kali.

Di kompleks perkebunan sawit tersebut, mereka bekerja di bawah pengurusan LSM Humana maupun learning centre dari pihak perusahaan.

’Jadi, LSM itu yang negosiasi dengan company. Hanya, karena yang kami ajar adalah anak-anak pekerja Indonesia, kami dikirim Kemendiknas,’ jelas alumnus Fakultas Peternakan UGM itu.

Jumlah siswa yang mereka tangani beragam. Tapi, rata-rata lebih dari 100 siswa per kamp. ’Kelasnya tidak bersekat. Jadi, pintar-pintar kami menyusun materi,’ lanjutnya.

Yusda yang mengajar di Kamp Cantawau bahkan menangani 150 orang. ’Kami harus supersabar. Kebanyakan anak-anak sulit diatur untuk rapi. Kadang ada yang loncat-loncat di meja, salto-salto, pokoknya ramai banget,’’ ujar gadis asal Pontianak, Kalimantan Barat, itu.

Jam mengajar para guru cukup fleksibel. Sebab, sebagai cikgu (guru), mereka dianggap tokoh pengayom masyarakat. Akibatnya, belajar mengajar terkadang berlangsung di rumah guru. ’’Mereka (murid-murid) sering tidur di rumah, menginap. Terkadang minta makan,’’ ungkapnya.

Karena jauh di dalam ladang sawit, air merupakan barang yang sangat susah didapat. Untuk memperoleh air, mereka mengandalkan bak penampungan air hujan. ’’Tapi, kalau tidak ada hujan, ya kami tidak mandi,’’ ujar Ali.

Untuk kebutuhan air minum dan masak, mereka memborong air mineral seminggu sekali dari Kota Lahad Datu. ’’Awal-awal di sini, kami masih berani merebus air tampungan hujan itu.

Tapi, setelah meminumnya, kami langsung sakit. Jadi, sekarang kami tak berani ambil risiko lagi,’’ tambah Ali yang baru keluar dari rumah sakit karena terserang demam berdarah tersebut.

Berbagai penyakit memang rentan menyerang para pahlawan tanpa tanda jasa di dalam hutan sawit itu. ’’Malaria sudah biasa. Ada yang terkena hepatitis, demam berdarah, dan lainnya,’’ kata Yusda.

Padahal, kalau sakit, mereka harus membayar sendiri biaya opname maupun obat. Mereka tidak dilindungi asuransi. ’’Gaji Rp 15 juta itu sudah all-in,’’ tegas alumnus Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Jogjakarta itu.
Ridlwan Mutaqin punya cerita lain selama mengajar di Kamp Sabah Mas.

Yakni, hidup berdampingan dengan binatang-binatang liar seperti ular kobra, babi hutan, serta gajah. ’’Hampir tiap hari kami menemui binatang liar di hutan itu.’’

Awalnya, mereka cukup stres harus ’bersahabat’ dengan hewan-hewan liar tersebut. ’’Tapi, sekarang sudah terbiasa, meski tetap harus berhati-hati dan waspada,’’ ujar Ridlwan yang merupakan alumnus jurusan manajemen bisnis itu.

Bertugas jauh dari teman-teman dan gaya hidup sewaktu masih mahasiswa membuat mereka sangat solid dan kompak. ’’Kalau ada sesama guru kontrak di kamp lain butuh bantuan, sebisa mungkin kami meluncur,’’ kata Ali yang sebelum ke Lahad Datu sempat menjemput Yusda di Kamp Cantawan yang berjarak hampir 4 jam dari Lahad Datu.

Saking akrabnya antarguru kontrak itu, cinta pun bersemi di hutan sawit. Ali mencontohkan rekannya bernama Dodi Wibowo yang menikah dengan sesama guru kontrak bernama Eli Susilowati. Pasangan Dodi dan Eli saling jatuh hati di Sabah dan menikah pada Agustus tahun lalu di Brebes, Jawa Tengah.
’’Tapi, sekarang mereka memilih ke Tawau karena jaraknya lebih dekat dari kamp,’’ jelas Ali.

Ada juga pasangan Nanda dan Marda. ’’Mereka kini berada di wilayah Kinabatangan. Mbak Marda lagi hamil,’’ imbuh dia.

Untuk mengusir lelah dan bosan, mereka sering mengadakan aktivitas kreatif untuk anak-anak TKI. Misalnya, Ali mengunggah video di Youtube dengan judul Ku Nak Pigi Sekolah. ’’Tolong ditulis ya Mas, supaya mama saya di Bandung tahu,’’ pesan Ali.

Para guru TKI itu berharap Malaysia segera menyelesaikan konflik bersenjata dengan gerilyawan Sulu, Filipina, supaya mereka bisa kembali beraktivitas. ’’Kami sudah pengin ngajar lagi. Sudah kangen anak-anak,’’ tegas Ali. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/