29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Presiden Syria Dipaksa Mundur

DAMASKUS-Kendati tuntutan mundur tak pernah reda sejak 26 Januari lalu, Presiden Syria Bashar al-Assad memilih tetap bertahan. Pemimpin 46 tahun itu juga tak menghiraukan saran, imbauan, seruan, kecaman, bahkan ancaman dari pemerintah berbagai negara. Sekuat tenaga, putra almarhum Presiden Hafez al-Assad itu mempertahankan jabatannya. Dia juga tak ragu melancarkan represi sarat kekerasan untuk membungkam oposisi.

Namun, setelah delapan bulan bertahan dengan segala cara, Assad mulai menuai akibatnya. Pekan lalu negara-negara Arab yang bertetangga dengan Syria mulai menjauh. Raja Jordania Abdullah II yang biasanya diam pun buka suara. Dia mengimbau Assad untuk mundur. Bersamaan dengan itu, secara resmi, Liga Arab menonaktifkan keanggotaan negara yang terletak di tepi Laut Mediterania tersebut. Tujuannya adalah memaksa Assad berhenti menggunakan kekerasan.
Turki yang selama ini bermitra dekat dengan Syria pun menebar ancaman. Sekutu dekat sekaligus mitra dagang utama pemerintahan Assad itu bakal menghentikan suplai listrik ke Syria jika Liga Arab dan Uni Eropa (UE) menjatuhkan sanksi. Serangkaian serangan terhadap kedutaan besar asing di Kota Damaskus  juga mengundang reaksi keras Barat. Salah satunya Rusia. “Kami menyerukan penahanan diri. Inilah sikap kami (terhadap Syria),” terang PM Vladimir Putin Kamis lalu (17/11).

Hingga kemarin (19/11) Assad tetap bertahan. Namun, seiring berakhirnya batas waktu ultimatum Liga Arab pada Minggu pukul 00.00 waktu setempat (pukul 06.00 WIB), desakan terhadap Assad kian memuncak. “Jenis dukungan tradisional seperti yang biasa dia terima semakin memudar,” tandas Steven A. Cook, tokoh senior The Hasib J. Sabbagh Chair in Middle East Studies. Dia menambahkan, pekan ini popularitas Assad tak sebaik pekan lalu.

Namun, kian berkurangnya dukungan terhadap Assad, menurut Cook, tak menjamin sang diktator bakal lengser. Sebaliknya, Emile Hokayem yakin penerus dinasti politik Syria itu akan mundur. Menurut dia, pemerintahan Assad bisa saja berakhir seperti Hosni Mubarak di Mesir atau Muammar Kadhafi di Libya. “Ada tiga faktor yang akan membuat Assad tak bisa bertahan lagi. Legitimasi kepemimpinan Assad, sanksi ekonomi Barat dan keamanan Syria,” paparnya.
Hokayem mengatakan, Assad sudah kehilangan wibawa di hadapan rakyatnya. “Setelah membantai sekitar 4.000 warganya sendiri, akan sangat sulit bagi dia memperoleh kembali wibawanya,” tandasnya.
Sementara itu, sanksi ekonomi Barat dan Turki yang semakin mengimpit, membuat rakyat Syria kian kehilangan rasa aman dan nyaman sebagai warga negara. Karena itu, sengotot apa pun Assad bertahan, Hokayem yakin bahwa dia tetap kehilangan kekuasaannya. (cnn/hep/c2/ami/jpnn)

DAMASKUS-Kendati tuntutan mundur tak pernah reda sejak 26 Januari lalu, Presiden Syria Bashar al-Assad memilih tetap bertahan. Pemimpin 46 tahun itu juga tak menghiraukan saran, imbauan, seruan, kecaman, bahkan ancaman dari pemerintah berbagai negara. Sekuat tenaga, putra almarhum Presiden Hafez al-Assad itu mempertahankan jabatannya. Dia juga tak ragu melancarkan represi sarat kekerasan untuk membungkam oposisi.

Namun, setelah delapan bulan bertahan dengan segala cara, Assad mulai menuai akibatnya. Pekan lalu negara-negara Arab yang bertetangga dengan Syria mulai menjauh. Raja Jordania Abdullah II yang biasanya diam pun buka suara. Dia mengimbau Assad untuk mundur. Bersamaan dengan itu, secara resmi, Liga Arab menonaktifkan keanggotaan negara yang terletak di tepi Laut Mediterania tersebut. Tujuannya adalah memaksa Assad berhenti menggunakan kekerasan.
Turki yang selama ini bermitra dekat dengan Syria pun menebar ancaman. Sekutu dekat sekaligus mitra dagang utama pemerintahan Assad itu bakal menghentikan suplai listrik ke Syria jika Liga Arab dan Uni Eropa (UE) menjatuhkan sanksi. Serangkaian serangan terhadap kedutaan besar asing di Kota Damaskus  juga mengundang reaksi keras Barat. Salah satunya Rusia. “Kami menyerukan penahanan diri. Inilah sikap kami (terhadap Syria),” terang PM Vladimir Putin Kamis lalu (17/11).

Hingga kemarin (19/11) Assad tetap bertahan. Namun, seiring berakhirnya batas waktu ultimatum Liga Arab pada Minggu pukul 00.00 waktu setempat (pukul 06.00 WIB), desakan terhadap Assad kian memuncak. “Jenis dukungan tradisional seperti yang biasa dia terima semakin memudar,” tandas Steven A. Cook, tokoh senior The Hasib J. Sabbagh Chair in Middle East Studies. Dia menambahkan, pekan ini popularitas Assad tak sebaik pekan lalu.

Namun, kian berkurangnya dukungan terhadap Assad, menurut Cook, tak menjamin sang diktator bakal lengser. Sebaliknya, Emile Hokayem yakin penerus dinasti politik Syria itu akan mundur. Menurut dia, pemerintahan Assad bisa saja berakhir seperti Hosni Mubarak di Mesir atau Muammar Kadhafi di Libya. “Ada tiga faktor yang akan membuat Assad tak bisa bertahan lagi. Legitimasi kepemimpinan Assad, sanksi ekonomi Barat dan keamanan Syria,” paparnya.
Hokayem mengatakan, Assad sudah kehilangan wibawa di hadapan rakyatnya. “Setelah membantai sekitar 4.000 warganya sendiri, akan sangat sulit bagi dia memperoleh kembali wibawanya,” tandasnya.
Sementara itu, sanksi ekonomi Barat dan Turki yang semakin mengimpit, membuat rakyat Syria kian kehilangan rasa aman dan nyaman sebagai warga negara. Karena itu, sengotot apa pun Assad bertahan, Hokayem yakin bahwa dia tetap kehilangan kekuasaannya. (cnn/hep/c2/ami/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/