Pencegahan terhadap risiko cacingan pada anak sering kali terlupakan. Padahal masalah cacingan tidak dapat dianggap sepele karena bisa mengganggu proses perkembangan anak, mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, kecerdasan dan produktifitas penderitanya. Dampak terburuk bisa menyebabkan anemia berat.
“Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk kurang mampu,”kata Kasi Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Sumut, Sukarni, Selasa (10/4) di ruang kerjanya.
Menurutnya berdasarkan hasil survey yang dilakukan Dinas Kesehatan Sumut pada 2011 di beberapa Sekolah Dasar yang ada di Kabupaten/Kota, dari 1358 jumlah sampel ada 381 anak yang positif terinfeksi cacing gelang, 225 terinfeksi cacing cambuk dan 18 anak yang terinfeksi cacing tambang.
“Karena keterbatasan dana, jadi kita hanya melakukan survey di beberapa sekolah saja. Tapi kita lebih fokus pada anak-anak di Sekolah Dasar. Kalau prevalensinya di atas 50 persen, kita akan melakukan pengobatan massal hingga 2 kali setahun. Tapi jika prevalensinya 25-50 persen, maka pengobatan massal hanya sekali setahun saja,” jelasnya.
Pola hidup yang tidak bersih dan sehat, menyebabkan anak menjadi cacingan. “Cacing masuk ke tubuh anak melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi telur cacing. Cacing perut memilih tinggal di usus kecil karena banyaknya makanan yang ada di dalamnya. Selain itu da juga yang hidup di lambung,” urainya.
Gejala anak-anak yang menderita cacingan diantaranya terlihat lesu dan lemas yang diakibatkan kurang darah (anemia), nyeri di perut, berat badan rendah karena kekurangan gizi, batuk yang biasanya proses penyembuhannya membutuhkan waktu yang lama, bahkan tidak sedikit penderita tidak kunjung sembuh.
Bagi orangtua, perlu mengetahui gejala cacingan dalam rangka pencegahan dini. “Penting mengetahui gejala cacingan sebagai pertolongan kepada anak agar cacing tidak terlalu lama bersarang,’’ujar Sukarni . (mag-11)