27 C
Medan
Monday, June 24, 2024

Suku Hokkian Sembahyang Tebu

Hari Kesembilan Rayakan Imlek

Suku mayoritas etnis Tionghoa di Medan, Hokkian, pada hari kesembilan setelah perayaan Imlek kembali merayakan Tahun Baru umat Budha itu. Perayaan ini dilakukan dengan ritual Sembahyang Tebu. Bagaimana aktivitasnya?

Pada dasarnya, tahun baru Imlek dirayakan pada 23 Januari 2012 lalu. Namun, perayaan Imlek ini menurut tradisinya akan berlangsung hingga 15 hari, yang berarti baru berakhir pada 6 Februari mendatang. Awal tahun baru Imlek ini juga disebut Che It, sedangkan pada hari terakhir perayaan disebut Cap Go Meh. Nah, di tengah-tengah perayaan di awal dan akhir ada pula ritual yang dinamakan Sembahyang Tebu. Ritual ini dilaksanakan pada hari kesembilan setelah hari pertama perayaan Imlek. Itu berarti jatuh pada 31 Januari dan uniknya seperti perrayaan tahun baru, Sembahyang Tebu ini juga dilakukan pada tepat pergantian hari, yakni pukul 00.00 WIB.

Awal terjadinya Sembahyang Tebu ini hingga menjadi tradisi di suku Hokien, bermula pada satu kisah di Cina yang melibatkan suku Hokkien berperang dengan suku lainnya. Pada pertempuran itu, akhirnya Suku Hokkien kalah dan melarikan diri ke dalam hutan. Di tengah persembunyian, mereka melihat bulan, yang berarti sudah tiba waktu Imlek. Meski masih dalam kondisi bersembunyi dari perang, mereka tetap ingin merayakan Imlek. Karena itu, mereka mencari buah-buahan sebagai syarat melakukan sembahyang kepada leluhur.

Namun, di tengah hutan itu, mereka tak menemukan buah-buahan yang pantas. Sekian lama mencari, akhirnya mereka menemukan tebu dan tebu ini yang dijadikan syarat untuk sembahyang terhadap leluhur. Dari kisah itu, akhirnya tradisi Sembahyang Tebu terus jadi satu ritual atau tradisi yang dipelihara dan dilakukan hingga saat ini.

“Kisah itu bukan dongeng, dan memang terjadi di masa lalu. Dan itu juga menjadi perayaan Imlek pertama bagi Suku Hokkien,” ungkap seorang warga etnis Tionghoa suku Hokkien Hartono Teja, Selasa (31/1) tengah malam.

Menurutnya, sembahyang yang dilakukan di tengah-tengah perayaan tahun baru Imlek ini merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur. “Tentunya dengan menimbulkan harapan ke arah yang lebih baik, serta kemakmuran dalam perjalanan hidup hingga akhir hayat,” tutur Teja.

Keluarga besar Teja yang tinggal di Jalan Irian No 83 F/G Tanjung Morawa ini mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk melakukan Sembahyang Tebu pada pukul 23.45 WIB. Mulai dari menyusun panganan dan buah-buahan yang diletakkan di atas meja di depan rumah, hingga mengumpul dan menumpukkan kertas-kertas yang diyakini sebagai uang untuk dibakar. Serta menghidupkan lilin serta dupa baik yang kecil juga besar.

Untuk membakar kertas-kertas uang yang diyakini sebagai bekal nanti di alam baka tersebut, baru bisa dilakukan setelah lilin sudah terbakar setengahnya. “Ini sudah menjadi tradisi, lilin harus sudah terbakar setengah baru kita bisa membakar uangnya,” ujar Teja. Teja juga menuturkan, jumlah uang yang dibakar tersebut boleh bertambah tiap tahunnya. “Jika kita punya rezeki lebih, boleh menambahnya. Untuk tahun ini kami sekeluarga membakar 700 lembar uang,” katanya.

Dalam ritual tersebut, sebenarnya ada kegiatan membakar tebu di atas bakaran uang tadi. “Tapi tahun ini kita tak memakai tebu, karena susah didapat. Dan buah lain juga bisa menggantikan tebu,” jelas Teja. Ada pula panganan wajib yang mesti disediakan pada malam Sembahyang Tebu ini, yakni kue keranjang atau kue mangkok. “Ini panganan wajib, karena ini perayaan tahun baru,” kata Teja lagi.

Tepat pukul 00.00 WIB, keluarga besar Teja satu-persatu melakukan ritual sembahyang layaknya sembahyang yang dilakukan etnis China. Dengan membakar dupa dan melakukan sembahyang. Bergantian antar yang sudah berkeluarga dan masih lajang dan gadis. Setelah ritual sembahyang, tinggal menunggu lilin terbakar setengahnya. Baru membakar uang. Dan setelah ritual ini ada harapan dari masing-masing keluarga suku Hokien ini agar bisa lebih makmur menjalani tahun-tahun berikutnya. (*)

Hari Kesembilan Rayakan Imlek

Suku mayoritas etnis Tionghoa di Medan, Hokkian, pada hari kesembilan setelah perayaan Imlek kembali merayakan Tahun Baru umat Budha itu. Perayaan ini dilakukan dengan ritual Sembahyang Tebu. Bagaimana aktivitasnya?

Pada dasarnya, tahun baru Imlek dirayakan pada 23 Januari 2012 lalu. Namun, perayaan Imlek ini menurut tradisinya akan berlangsung hingga 15 hari, yang berarti baru berakhir pada 6 Februari mendatang. Awal tahun baru Imlek ini juga disebut Che It, sedangkan pada hari terakhir perayaan disebut Cap Go Meh. Nah, di tengah-tengah perayaan di awal dan akhir ada pula ritual yang dinamakan Sembahyang Tebu. Ritual ini dilaksanakan pada hari kesembilan setelah hari pertama perayaan Imlek. Itu berarti jatuh pada 31 Januari dan uniknya seperti perrayaan tahun baru, Sembahyang Tebu ini juga dilakukan pada tepat pergantian hari, yakni pukul 00.00 WIB.

Awal terjadinya Sembahyang Tebu ini hingga menjadi tradisi di suku Hokien, bermula pada satu kisah di Cina yang melibatkan suku Hokkien berperang dengan suku lainnya. Pada pertempuran itu, akhirnya Suku Hokkien kalah dan melarikan diri ke dalam hutan. Di tengah persembunyian, mereka melihat bulan, yang berarti sudah tiba waktu Imlek. Meski masih dalam kondisi bersembunyi dari perang, mereka tetap ingin merayakan Imlek. Karena itu, mereka mencari buah-buahan sebagai syarat melakukan sembahyang kepada leluhur.

Namun, di tengah hutan itu, mereka tak menemukan buah-buahan yang pantas. Sekian lama mencari, akhirnya mereka menemukan tebu dan tebu ini yang dijadikan syarat untuk sembahyang terhadap leluhur. Dari kisah itu, akhirnya tradisi Sembahyang Tebu terus jadi satu ritual atau tradisi yang dipelihara dan dilakukan hingga saat ini.

“Kisah itu bukan dongeng, dan memang terjadi di masa lalu. Dan itu juga menjadi perayaan Imlek pertama bagi Suku Hokkien,” ungkap seorang warga etnis Tionghoa suku Hokkien Hartono Teja, Selasa (31/1) tengah malam.

Menurutnya, sembahyang yang dilakukan di tengah-tengah perayaan tahun baru Imlek ini merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur. “Tentunya dengan menimbulkan harapan ke arah yang lebih baik, serta kemakmuran dalam perjalanan hidup hingga akhir hayat,” tutur Teja.

Keluarga besar Teja yang tinggal di Jalan Irian No 83 F/G Tanjung Morawa ini mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk melakukan Sembahyang Tebu pada pukul 23.45 WIB. Mulai dari menyusun panganan dan buah-buahan yang diletakkan di atas meja di depan rumah, hingga mengumpul dan menumpukkan kertas-kertas yang diyakini sebagai uang untuk dibakar. Serta menghidupkan lilin serta dupa baik yang kecil juga besar.

Untuk membakar kertas-kertas uang yang diyakini sebagai bekal nanti di alam baka tersebut, baru bisa dilakukan setelah lilin sudah terbakar setengahnya. “Ini sudah menjadi tradisi, lilin harus sudah terbakar setengah baru kita bisa membakar uangnya,” ujar Teja. Teja juga menuturkan, jumlah uang yang dibakar tersebut boleh bertambah tiap tahunnya. “Jika kita punya rezeki lebih, boleh menambahnya. Untuk tahun ini kami sekeluarga membakar 700 lembar uang,” katanya.

Dalam ritual tersebut, sebenarnya ada kegiatan membakar tebu di atas bakaran uang tadi. “Tapi tahun ini kita tak memakai tebu, karena susah didapat. Dan buah lain juga bisa menggantikan tebu,” jelas Teja. Ada pula panganan wajib yang mesti disediakan pada malam Sembahyang Tebu ini, yakni kue keranjang atau kue mangkok. “Ini panganan wajib, karena ini perayaan tahun baru,” kata Teja lagi.

Tepat pukul 00.00 WIB, keluarga besar Teja satu-persatu melakukan ritual sembahyang layaknya sembahyang yang dilakukan etnis China. Dengan membakar dupa dan melakukan sembahyang. Bergantian antar yang sudah berkeluarga dan masih lajang dan gadis. Setelah ritual sembahyang, tinggal menunggu lilin terbakar setengahnya. Baru membakar uang. Dan setelah ritual ini ada harapan dari masing-masing keluarga suku Hokien ini agar bisa lebih makmur menjalani tahun-tahun berikutnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/