SUMUPOS.CO – Indonesia untuk pertama kalinya menggelar Pemilihan Umum (Pemilu) secara serentak. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden digabung dengan pemilihan anggota legislatif. Sayangnya, sosialisasi cara mencoblos dari penyelenggara Pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih minim. Hal itu dikhawatirkan bakal memicu keengganan masyarakat untuk memilih alias ‘golput’.
MASYARAKAT di pesisir Belawan mengaku, sosialisasi tata cara dalam memberikan hak suara pada 17 April nanti dari KPU, masih minim. Seperti disampaikan tokoh nelayan, Nazaruddin kepada Sumut Pos, Minggu (31/3). Ia khawatir, dengan minimnya sosialisasi akan berdampak buruk pada pesta demokrasi pada 17 April mendatang.
Alasannya, masyarakat nelayan yang memiliki pendidikan rendah, sehingga perlu adanya penyampaian sosialisasi kepada mereka. “Sampai saat ini, banyak nelayan dan keluarganya masih belum tahu cara memilih. Kita khawatir, ini bisa menyebabkan masyarakat malas datang ke TPS,” ungkap Nazarudin.
Ketua Kolompok Karya Deli ini meminta kepada penyelenggara Pemilu untuk segera turun ke pesisir Belawan melakukan sosialisasi, untuk mengajak masyarakat nelayan untuk semangat mengikuti Pemilu 2019. “Jangan sempai ada pemikiran nelayan, dari pada nyoblos lebih baik melaut. Apalagi kalau di hari H banyak nelayan melaut, potensi ‘golput’ (tidak memilih)n
kemungkinan besar akan terjadi. Makanya, kita minta camat dan lurah untuk meminta kepada penyelenggara Pemilu untuk turun melakukan sosialisasi,” pinta Nazarudin lagi.
Begitu juga dikatakan Sekretaris Aliansi Masyarakat Nelayan Sumatera Utara (AMANSU), Alfian MY. Dia meminta agar penyelenggara Pemilu membuat sebuah kegiatan sosialisasi menarik simpati nelayan, agar masyarakat nelayan tidak mementingkan mencari makan melaut. Sehingga, potensi golput dapat diminimalisir pada 17 April mendatang. “Intinya, sosialisasi sangat penting. Kenapa sampai saat ini masih minim di kalangan nelayan? Ini yang buat nelayan lebih memilih melaut dari pada ikut Pemilu. Kalau sudah ada kegiatan untuk menarik minat nelayan, maka minat masyarakat nelayan akan tinggi,” cetus Alfian.
Ismail (68), warga Jalan Gunung Martimbang, Kelurahan Lalang, Kota Tebingtinggi saat diwawancarai Sumut Pos mengaku, dirinya belum mengetahui tata cara pencoblosan. Dia mengaku belum pernah mendapatkan sosialisasi, hanya mendengar cerita-cerita orang bahwa tanggal 17 April 2019 ada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD. “Kata anak saya, nanti ada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden begitu juga dengan pemilihan anggota DPRD,” katanya.
Saat ditanya terkait berapa kertas surat suara yang diterima untuk di coblos, Ismail mengaku tidak mengetahuinya. “Kalau tahun 2014 lalu ada empat kertas suara. Kalau sekarang, enggak tahulah,” sebutnya.
Setelah dijelaskan Sumut Pos, akhirnya Ismail mengetahui kalau nanti pemilih akan menerima lima kertas suara dari petugas KPPS untuk dicoblos. Tapi untuk tata cara pemilihan, dia mengaku masih bingung dan yang hanya dia ketahui pencoblosan Presiden dan Wakil Presiden, itupun karena ada gambarnya. Sedangkan untuk anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kota Tebingtinggi tidak ada gambar, hanya nama dan nomor urut. “Itu yang bikin bingung mencari namanya dengan begitu banyak nama calon,” tandasnya.
Menyikapi kondisi ini, pengamat politik Agus Suryadi memprediksi, persentase golput pada Pemilu 2019 di Sumut masih cukup besar. Dia memperkirakan, terget partisipasi pemilih hingga 80 persen di Sumut, sulit untuk tercapai. “Barkaca dari Pemilu 2014 dan beberapa Pilkada di Sumut, termasuk Pilgubsu lalu, persentase golput masih besar,” ujar Agus.
Pada Pemilu 2014, persentase pemilih mencapai 75 persen. Sedangkan pada Pilgubsu 2018 lalu, persentase pemilih hanya 65 persen. Bahkan pada Pilkada Kota Medan 2015, pertisipasi pemilih tidak sampai 26 persen.
Akademisi dari USU itu menilai, ada beberapa faktor penyebab golput. Diantaranya adalah sosialisasi tenteng Pemilu 2019 akan berpengaruh kepada golput. Tidak bisa dipungkiri, Pemilu kali ini lebih rumit dari sebelumnya, Banyaknya kertas yang akan dicoblos, membuat masyarakat bingung. “Sudah pasti bingung, karena kertas yang dicoblos cukup banyak. Apalagi kalau sosialisasi kurang. Tapi, ini tidak terlalu berpengaruh kepada golput, tapi suara tidak sah. Bakal lebih banyak suara tidak sah,” paparnya.
Namun Agus tidak menyalahkan KPU dalam minimnya sosialisasi tersebut. Dia menyebut, sosialisasi bukan hanya tugas KPU, tapi juga parpol, Bawaslu dan pemerintah. “Nah, sekarang tinggal bagaimana semua stakeholder bekerja dengan waktu sedikit. Semua pihak harus gencar melakukan sosialisasi. Selain itu, saat hari pelaksanaan, petugas di TPS jangan kaku. Berilah informasi kepada pemilih tentang tata cara pemilih,” tegasnya.
Selain itu, adalah politik identitas yang masih berpengaruh di Indonesia. “Politik yang mengangkat agama dan etnis membuat masyarakat enggan untuk memilih,” sebutnya.
Tensi politik yang tinggi juga akan berpengaruh kepada golput. “Kita tidak bisa pungkiri, sekarang telah terbentuk kelompok-kelompok di tengah masyarakat. Masyarakat yang tidak tergabung dalam kelompok-kelompok itu, seolah-olah tidak peduli dengan Pemilu 2019,” tandasnya.
Pengamat sosial politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Sohibul Ansor Siregar juga mengatakan, memang ada dua potensi kejadian yang menjadi risiko atas minimnya sosialisasi kepada masyarakat dalam tata cara pencoblosan ini. Disebutnya, potensi pertama adalah kemungkinan terjadinya kesalahan dalam memberikan suara. Karena, masyarakat masih banyak yang belum tahu warna-warna kertas suara. Misalnya, untuk DPR RI warna kuning, DPRD Provinsi warna Biru dan DPRD Kabupaten Kota warna Hijau.
“Misalnya si pemilih ingin mencoblos caleg A untuk tingkat kabupaten kota, tapi kertas suara yang dibukanya kertas untuk DPRD provinsi. Lalu dicarinya nama caleg pilihannya ternyata tidak ada. Akhirnya dia pilih caleg lain dengan partai dan nomor urut yang sama. Secara rasional, ini bisa saja terjadi,” beber Sohibul.
Potensi kedua, sebut Sohibul, terjadinya surat suara yang rusak atau batal akibat salah mencoblos. “Misalnya, masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui kalau mencoblos itu tidak boleh lebih dari satu coblosan di setiap surat suara. Tapi dia coblos dua orang caleg pada satu surat suara, hanya karena dia kenal kedua caleg ini. Tentu kan surat suaranya jadi batal. Dan masih banyak contoh lainnya. Ini makanya, kenapa sosialisasi secara langsung itu sangat penting,” ujarnya.
Maka dari itu, kata Sohibul, kiranya pihak penyelenggara Pemilu dapat lebih gencar dalam melakukan sosialisasi menjelang waktu pemilu yang tinggal menghitung hari. “Bangsa ini harus lebih peka terhadap persoalan, termasuk persoalan kondisi pemilihan umum yang jelas berbeda dengan periode-periode yang lalu. Walau sekarang waktunya tinggal menghitung hari, tapi tidak ada kata terlambat. Sekarang sosialisasikan lah secara langsung dengan lebih gencar, libatkan perangkat desa hingga ke RT agar lebih cepat terlaksana,” tutupnya.
Menyikapi masih minimnya sosialisasi kepada warga cara mencoblos, Komisioner KPU Sumut Benget Manahan Silitonga mengatakan, wewenang tersebut adanya di KPU kabupaten/kota. Karena secara teritorial, KPU Sumut tidak mempunyai wilayah. “Saya pikir itu tugas dan domain kawan-kawan (KPU) di kabupaten/kota ya. Kalau kami cuma sekadar sosialisasi ke masyarakat tentang tahapan pemilu saja,” katanya menjawab Sumut Pos, tadi malam.
Ia menambahkan, adapun tahapan sosialisasi pemilu sekaitan tata cara pencoblosan maupun pengumpulan dan penghitungan suara, hanya pihaknya sampaikan kepada peserta pemilu.
“Paling kami undang parpol buat sosialisasi. Kalau langsung ke masyarakat tentu tidak, sebab itu tugasnya kawan-kawan di kabupaten dan kota. Selain itu kami juga sampaikan berbagai tahapan pemilu, seperti cara pindah memilih, tata cara pencoblosan, dan lainnya melalui sosialisasi iklan media massa,” katanya. (fac/ian/mag-1/prn)