26 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Diduga Larang Karyawan Ikuti Serikat Buruh, FSPMI Sumut Minta Sertifikat PT Smart Dicabut

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Provinsi Sumatera Utara (DPW FSPMI Sumut) meminta kepada Rondetable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk mencabut sertifikat standar mutu PT Smart Tbk, di kebun Padang Halaban dan Kebun Adipati di Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura).

BERI KETERANGAN: Ketua DPW FSPMI Sumut, Willy Agus Utomo saat beri keterangan.ist/sumut pos.

Ketua DPW FSPMI Sumut, Willy Agus Utomo mengungkapkan, sejak Februari 2018, banyak persoalan ketenagakerjaan di PT Smart Tbk kebun Padang Halaban dan Adipati diketahui mulai sejak Februari 2018. Sebanyak 400 orang buruhnya membentuk organisasi PUK SPAI FSPMI PT Smart Tbk.

“Namun awal terbentuk dan sah tercatat PUK SPAI FSPMI, diduga pihak perusahaan tidak suka akan keberadaan organisasi FSPMI, dengan cara melakukan PHK terhdap 5 orang pengurus dan melakukan mutasi 8 orang anggotanya,”ungkap Willy Agus, Kamis (1/7).

Dugaan pemberangusan PUK SPAI FSPMI di Perusahaan Perkebunan kelapa sawit ini, lanjut Willy, terungkap dari pengakuan para buruh yang mengatakan pihak perusahaan memakai jasa asisten, mandor dan satpam untuk melakukan dugaan intimidasi kepada buruh dan keluarganya yang merupakan pengurus dan anggota PUK FSPMI.

“Mereka diduga terang-terangan memaksa agar para buruh tidak menjadi anggota PUK SPAI FSPMI di perusahaanya,” ungkap Willy.

Willy menegaskan, hal ini jelas telah bertentangan dengan UU Kebebasan berserikat yang dijamin di Indonesia. PT Smart Tbk diduga telah melanggar Pasal 28 Jo 43 UU Nomor 21 Tahun 2000, Tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh.

Akibat Intimidasi kebebasan berserikat di PT Smart Tbk kebun Padang Halaban dan Adipati, terangnya, membuat para buruh ketakutan dan akhirnya banyak yang keluar dari keanggotaan PUK SPAI FSPMI, sehingga organisasi yang dibentuk para buruh tidak berjalan sebagaimana mestinya.

“Tidak hanya kebebasan berserikat, PT Smart juga diduga melakukan diskriminasi pembayaran bonus akhir tahun kepada buruh, khususnya anggota FSPMI,” bebernya.

Willy menjelaskan, dalam hal pembayaran bonus, sejak ratusan buruh bergabung menjadi anggotanya pada tahun 2018, mereka tidak menerima bonus sebagai mana sebelum mereka bergabung menjadi anggota FSPMI.

“Dulu mereka tiap akhir tahun mendapatkan bonus sebesar 4 bulan upah atau bekisar Rp12 jutaan, akan tetapi setelah masuk FSPMI mereka hanya diberikan Rp2 juta, sedang buruh lain yang tidak anggota FSPMI tetap mendapat sebesar Rp12 juta rupiah,” ungkapnya.

Lebih lanjut Willy mengatakan, diskriminasi bonus ini terus berlanjut hingga saat ini, terhitung sudah tiga tahun lamanya para buruh yang merupakan anggota FSPMI tidak pernah lagi mendapatkan bonus yang sesuai ditetapkan oleh peraturan perusahaan.

“Terkait hal tersebut, kita sudah lakukan berbagai langkah advokasi dan berunding dengan manajemen, akan tetapi pihak perusahaan tidak menanggapi tuntutan para buruh,” imbuhnya.

Willy mengakui, pihaknya sudah melaporkan hal ini ke Disnaker setempat terkait bonus, pihak buruh dimenangkan, akan tetapi PT Smart tetap abai dan seolah merasa kebal hukum.

Berdasarkan hal tersebut, maka FSPMI meminta kepada asosiasi RSPO selaku para pemangku kepentingan industri minyak kelapa sawit dan produsen kelapa sawit Internasional, agar mencabut sertifikat PT Smart.

“Bahkan kalau bisa RSPO memboikot hasil ekspor minyak kelapa sawit PT Smart Tbk di dunia internasional, sebab hasil produksinya diduga ada penindasan kebebasan berserikat dan pelanggaran hak normatif para buruh. Hal ini jelas melanggar konvensi ILO dan Amnesty HAM Internasional,” pungkasnya. (mag-1/han)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Dewan Pimpinan Wilayah Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Provinsi Sumatera Utara (DPW FSPMI Sumut) meminta kepada Rondetable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk mencabut sertifikat standar mutu PT Smart Tbk, di kebun Padang Halaban dan Kebun Adipati di Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura).

BERI KETERANGAN: Ketua DPW FSPMI Sumut, Willy Agus Utomo saat beri keterangan.ist/sumut pos.

Ketua DPW FSPMI Sumut, Willy Agus Utomo mengungkapkan, sejak Februari 2018, banyak persoalan ketenagakerjaan di PT Smart Tbk kebun Padang Halaban dan Adipati diketahui mulai sejak Februari 2018. Sebanyak 400 orang buruhnya membentuk organisasi PUK SPAI FSPMI PT Smart Tbk.

“Namun awal terbentuk dan sah tercatat PUK SPAI FSPMI, diduga pihak perusahaan tidak suka akan keberadaan organisasi FSPMI, dengan cara melakukan PHK terhdap 5 orang pengurus dan melakukan mutasi 8 orang anggotanya,”ungkap Willy Agus, Kamis (1/7).

Dugaan pemberangusan PUK SPAI FSPMI di Perusahaan Perkebunan kelapa sawit ini, lanjut Willy, terungkap dari pengakuan para buruh yang mengatakan pihak perusahaan memakai jasa asisten, mandor dan satpam untuk melakukan dugaan intimidasi kepada buruh dan keluarganya yang merupakan pengurus dan anggota PUK FSPMI.

“Mereka diduga terang-terangan memaksa agar para buruh tidak menjadi anggota PUK SPAI FSPMI di perusahaanya,” ungkap Willy.

Willy menegaskan, hal ini jelas telah bertentangan dengan UU Kebebasan berserikat yang dijamin di Indonesia. PT Smart Tbk diduga telah melanggar Pasal 28 Jo 43 UU Nomor 21 Tahun 2000, Tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh.

Akibat Intimidasi kebebasan berserikat di PT Smart Tbk kebun Padang Halaban dan Adipati, terangnya, membuat para buruh ketakutan dan akhirnya banyak yang keluar dari keanggotaan PUK SPAI FSPMI, sehingga organisasi yang dibentuk para buruh tidak berjalan sebagaimana mestinya.

“Tidak hanya kebebasan berserikat, PT Smart juga diduga melakukan diskriminasi pembayaran bonus akhir tahun kepada buruh, khususnya anggota FSPMI,” bebernya.

Willy menjelaskan, dalam hal pembayaran bonus, sejak ratusan buruh bergabung menjadi anggotanya pada tahun 2018, mereka tidak menerima bonus sebagai mana sebelum mereka bergabung menjadi anggota FSPMI.

“Dulu mereka tiap akhir tahun mendapatkan bonus sebesar 4 bulan upah atau bekisar Rp12 jutaan, akan tetapi setelah masuk FSPMI mereka hanya diberikan Rp2 juta, sedang buruh lain yang tidak anggota FSPMI tetap mendapat sebesar Rp12 juta rupiah,” ungkapnya.

Lebih lanjut Willy mengatakan, diskriminasi bonus ini terus berlanjut hingga saat ini, terhitung sudah tiga tahun lamanya para buruh yang merupakan anggota FSPMI tidak pernah lagi mendapatkan bonus yang sesuai ditetapkan oleh peraturan perusahaan.

“Terkait hal tersebut, kita sudah lakukan berbagai langkah advokasi dan berunding dengan manajemen, akan tetapi pihak perusahaan tidak menanggapi tuntutan para buruh,” imbuhnya.

Willy mengakui, pihaknya sudah melaporkan hal ini ke Disnaker setempat terkait bonus, pihak buruh dimenangkan, akan tetapi PT Smart tetap abai dan seolah merasa kebal hukum.

Berdasarkan hal tersebut, maka FSPMI meminta kepada asosiasi RSPO selaku para pemangku kepentingan industri minyak kelapa sawit dan produsen kelapa sawit Internasional, agar mencabut sertifikat PT Smart.

“Bahkan kalau bisa RSPO memboikot hasil ekspor minyak kelapa sawit PT Smart Tbk di dunia internasional, sebab hasil produksinya diduga ada penindasan kebebasan berserikat dan pelanggaran hak normatif para buruh. Hal ini jelas melanggar konvensi ILO dan Amnesty HAM Internasional,” pungkasnya. (mag-1/han)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/