30 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Kau Lihat Langsung ‘Kan? Ada Barang Tuh di Sini

Siang-siang di KTV Stroom, Selecta Building Medan (2)

Lima butir ekstasi yang diberikan si BD (bandar) kini telah berada di atas meja kaca. Tergeletak begitu saja. Belum ada di antara kami yang mengambilnya. Si BD telah balik kanan, meninggalkan ruang 6×8 meter yang mewah ini.

Tim, Medan

Tiba-tiba pintu masuk kembali terbuka. Pelayan membawa jus jeruk yang sebelumnya telah dipesan. Entahlah, rupanya di tempat ini memesan ekstasi jauh lebih cepat dibanding memesan segelas jus.

Sang kolega tersenyum pada pelayan itu. Butir-butir pil berwarna merah tetap tergeletak bebas di meja kaca. Setelah meletakkan gelas, pelayan langsung berbalik. Tak ada sedikitpun sudut matanya melirik pil-pil itu. Sepertinya, hal semacam ini sudah cukup biasa. Ya, sudah tidak istimewa lagi. Dan, bukan lagi sesuatu yang rahasia.

“Kau lihat sendiri kan… sudah biasa kekgini di sini,” kata sang kolega.
Penulis hanya tersenyum dan langsung meraih jus jeruk yang sudah tersedia.

“Jadi kau coba?” tambah sang kolega sambil menunjuk pil yang tergelatak di atas meja itu.

Penulis kembali tersenyum, kali ini malah sangat lebar. “Nanti aja, Bang, kan lagi tugas he he he….”

Sang kolega tertawa. Si ‘David Beckham’ juga. “Terserahlah…, intinya aku hanya mau kasih tahu, di sini tak sulit mendapatkan barang seperti ini. Per butirnya Rp250 ribu rupiah, tapi bisa jugalah kurang. Semua tergantung siapa yang mesan. Ya, kalau sudah sangat dikenal, bisa turunlah harganya,” jelas sang kolega.
Lalu, sambil meminum air mineral yang memang banyak disediakan di tempat itu, sang kolega kembali bercerita. Katanya, tidak usah bicara soal alkohol maupun barang nikmat lainnya, untuk ekstasi saja tempat ini cukup banyak meraup untung. Memang, manajemen pasti membantah soal peredaran ekstasi di Karaoke Televisi (KTV) Stroom ini. “Tapi, kau lihat langsung kan? Ini, barang tuh masih ada di sini…” tegasnya.
“Jadi kita apakan ini?” timpal si ‘David Beckham’ pula.

“Ya, sudah, titip saja sama dia (BD, Red) dulu. Belum mau kawan kita ini,” balas sang kolega.

Si ‘David Beckham’ mengutipi lima butir itu dan langsung membungkusnya dengan sehelai tisu.
Dia pun kembali bergerak meninggalkan ruangan. “Lihat, bisa nitip dulu. He he he… nanti kalau kita udah mau, tinggal ambil saja,” kekeh sang kolega.
“Tapi, serius aku nih. Aku ajak kau kemari biar bisa kau lihat langsung apa yang terjadi. Jadi, aku nggak sembarang ngomong. Dan, aku gak punya kepentingan apa-apa. Jadi, jangan kau sebut namaku ya….” sambungnya.

“Santai, Bang,” jawab penulis.

“Nanti, kau tanya saja sama kawan yang kita tunggu. Dia paling paham dengan dunia semacam ini. Dia kaki tanganku sebenarnya he he he he,”  jelas sang kolega.

Si ‘David Beckham’ kembali masuk ke ruangan. Namun, belum sempat duduk dia langsung menuju pintu yang menghubungan tempat ini dengan parkiran. Dua lapis pintu dia buka. Ternyata ada seseorang di sana. Seorang lelaki berusia sekitar 35 tahunan. Posturnya tinggi, mungkin mencapai 175 centimeter.
Lelaki itu langsung masuk. Sudut matanya melirik penulis. Dia duduk di samping sang kolega. “Akhirnya datang juga…” sambut sang kolega.
“Ni…untuk yang kemarin,” sambungnya sambil menyodorkan amplop coklat yang memang sudah disediakan kepada lelaki itu.
Lelaki itu pun langsung sigap dan memasukan amplop itu ke balik jaketnya.

“Oya, kenali ini kawan kita…wartawan dia,” bilang sang kolega.

Lelaki itu memberikan salam. “Panggil saja aku Donny,” katanya.

Sang kolega tersenyum. Dia membakar rokoknya. Lalu, dia pun mengatakan pada si Donny tentang keberadaan penulis di situ. Si Donny mengerutkan dahi. Sang kolega melanjutkan kalau semua narasumber yang diwawancari akan disamarkan. Dan, sang kolega mengatakan kalau penulis adalah sosok yang jinak, jadi tak perlu ragu. Donny pun langsung tersenyum.

“Wah, bukan rahasia lagi, Bos,” kata Donny pada penulis. “Sudah basi cerita barang semacam itu di tempat seperti ini. Setiap yang pernah ke tempat seperti ini, pasti tahu,” tambahnya.

Penulis lagi-lagi tersenyum. Penulis memang menempatkan diri sebagai orang yang tak banyak bicara. Intinya, hanya mendengar dan merekamnya dalam otak saja. “Memang manajemen tidak akan mengaku ada bisnis seperti ini. Tapi, dengan peredaran yang begitu bebas di sini, misalnya, mana mungkin mereka tak tahu kan? Masak ada sesuatu di rumah kita, eh kita malah tak tahu,” jelasnya.

Donny menjelaskan, untuk KTV Stroom yang beroperasi dari pukul 14.00 WIB hingga 02.00 WIB untuk waktu normal, ekstasi yang beredar ratusan butir per harinya. “Anggaplah hanya ada 20 bilik di Stroom ini. Lalu, anggaplah satu bilik memesan 2 butir. Sudah berapa itu? Terus, tamu dibilik kan terus berganti. Anggaplah selama 12 jam ada tiga kali tamu yang berganti. Berarti sudah laku 120 butirkan? Kalikan dengan Rp250 ribu, sudah berapa itu? Ini bisnis yang menjanjikan, Bos!” terang Donny berapi-api.

Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Donny itu, sang kolega tergelak. Bahkan, terpingkal-pingkal. Si ‘David Beckham’ tersenyum saja. “Tapi, biasanya manajemen lepas tangan dan memberikan kekuasaan penuh pada BD,” kata si ‘David Beckham’ pula.

“Memang, tapi tetap saja manajemen yang berperan, minimal bagi hasil. Inikan tempat dia,” balas si Donny.
“Sudahlah… intinya tempat seperti ini memang menyediakan barang tuh. Nanti kau tunjukan tempat yang lain ya Don sama kawan kita ini,” kata sang kolega.

Donny mengangguk pasti. “Siap, Bos!”

Penulis tertawa. Tergambar beberapa tempat lain di Kota Medan yang memang sudah penulis incar.
“Wak, ambil lagi barang tuh di BD. Jangan sampek siang yang indah ini hilang percuma. Sekalian panggil si Cindy tadi,” kata sang kolega pada si ‘David Beckham’. Yang disuruh pun langsung bergerak cepat.

Penulis tersenyum, terbayang dalam otak tentang siang yang indah di KTV Stroom, Selecta Building Medan. Ya, seperti cerita orang-orang. Ah, masihkah ada alasan untuk mengelak? (bersambung)

Berita sebelumnya:

Ketika Kenikmatan Tak Lagi Milik Malam

Siang-siang di KTV Stroom, Selecta Building Medan (2)

Lima butir ekstasi yang diberikan si BD (bandar) kini telah berada di atas meja kaca. Tergeletak begitu saja. Belum ada di antara kami yang mengambilnya. Si BD telah balik kanan, meninggalkan ruang 6×8 meter yang mewah ini.

Tim, Medan

Tiba-tiba pintu masuk kembali terbuka. Pelayan membawa jus jeruk yang sebelumnya telah dipesan. Entahlah, rupanya di tempat ini memesan ekstasi jauh lebih cepat dibanding memesan segelas jus.

Sang kolega tersenyum pada pelayan itu. Butir-butir pil berwarna merah tetap tergeletak bebas di meja kaca. Setelah meletakkan gelas, pelayan langsung berbalik. Tak ada sedikitpun sudut matanya melirik pil-pil itu. Sepertinya, hal semacam ini sudah cukup biasa. Ya, sudah tidak istimewa lagi. Dan, bukan lagi sesuatu yang rahasia.

“Kau lihat sendiri kan… sudah biasa kekgini di sini,” kata sang kolega.
Penulis hanya tersenyum dan langsung meraih jus jeruk yang sudah tersedia.

“Jadi kau coba?” tambah sang kolega sambil menunjuk pil yang tergelatak di atas meja itu.

Penulis kembali tersenyum, kali ini malah sangat lebar. “Nanti aja, Bang, kan lagi tugas he he he….”

Sang kolega tertawa. Si ‘David Beckham’ juga. “Terserahlah…, intinya aku hanya mau kasih tahu, di sini tak sulit mendapatkan barang seperti ini. Per butirnya Rp250 ribu rupiah, tapi bisa jugalah kurang. Semua tergantung siapa yang mesan. Ya, kalau sudah sangat dikenal, bisa turunlah harganya,” jelas sang kolega.
Lalu, sambil meminum air mineral yang memang banyak disediakan di tempat itu, sang kolega kembali bercerita. Katanya, tidak usah bicara soal alkohol maupun barang nikmat lainnya, untuk ekstasi saja tempat ini cukup banyak meraup untung. Memang, manajemen pasti membantah soal peredaran ekstasi di Karaoke Televisi (KTV) Stroom ini. “Tapi, kau lihat langsung kan? Ini, barang tuh masih ada di sini…” tegasnya.
“Jadi kita apakan ini?” timpal si ‘David Beckham’ pula.

“Ya, sudah, titip saja sama dia (BD, Red) dulu. Belum mau kawan kita ini,” balas sang kolega.

Si ‘David Beckham’ mengutipi lima butir itu dan langsung membungkusnya dengan sehelai tisu.
Dia pun kembali bergerak meninggalkan ruangan. “Lihat, bisa nitip dulu. He he he… nanti kalau kita udah mau, tinggal ambil saja,” kekeh sang kolega.
“Tapi, serius aku nih. Aku ajak kau kemari biar bisa kau lihat langsung apa yang terjadi. Jadi, aku nggak sembarang ngomong. Dan, aku gak punya kepentingan apa-apa. Jadi, jangan kau sebut namaku ya….” sambungnya.

“Santai, Bang,” jawab penulis.

“Nanti, kau tanya saja sama kawan yang kita tunggu. Dia paling paham dengan dunia semacam ini. Dia kaki tanganku sebenarnya he he he he,”  jelas sang kolega.

Si ‘David Beckham’ kembali masuk ke ruangan. Namun, belum sempat duduk dia langsung menuju pintu yang menghubungan tempat ini dengan parkiran. Dua lapis pintu dia buka. Ternyata ada seseorang di sana. Seorang lelaki berusia sekitar 35 tahunan. Posturnya tinggi, mungkin mencapai 175 centimeter.
Lelaki itu langsung masuk. Sudut matanya melirik penulis. Dia duduk di samping sang kolega. “Akhirnya datang juga…” sambut sang kolega.
“Ni…untuk yang kemarin,” sambungnya sambil menyodorkan amplop coklat yang memang sudah disediakan kepada lelaki itu.
Lelaki itu pun langsung sigap dan memasukan amplop itu ke balik jaketnya.

“Oya, kenali ini kawan kita…wartawan dia,” bilang sang kolega.

Lelaki itu memberikan salam. “Panggil saja aku Donny,” katanya.

Sang kolega tersenyum. Dia membakar rokoknya. Lalu, dia pun mengatakan pada si Donny tentang keberadaan penulis di situ. Si Donny mengerutkan dahi. Sang kolega melanjutkan kalau semua narasumber yang diwawancari akan disamarkan. Dan, sang kolega mengatakan kalau penulis adalah sosok yang jinak, jadi tak perlu ragu. Donny pun langsung tersenyum.

“Wah, bukan rahasia lagi, Bos,” kata Donny pada penulis. “Sudah basi cerita barang semacam itu di tempat seperti ini. Setiap yang pernah ke tempat seperti ini, pasti tahu,” tambahnya.

Penulis lagi-lagi tersenyum. Penulis memang menempatkan diri sebagai orang yang tak banyak bicara. Intinya, hanya mendengar dan merekamnya dalam otak saja. “Memang manajemen tidak akan mengaku ada bisnis seperti ini. Tapi, dengan peredaran yang begitu bebas di sini, misalnya, mana mungkin mereka tak tahu kan? Masak ada sesuatu di rumah kita, eh kita malah tak tahu,” jelasnya.

Donny menjelaskan, untuk KTV Stroom yang beroperasi dari pukul 14.00 WIB hingga 02.00 WIB untuk waktu normal, ekstasi yang beredar ratusan butir per harinya. “Anggaplah hanya ada 20 bilik di Stroom ini. Lalu, anggaplah satu bilik memesan 2 butir. Sudah berapa itu? Terus, tamu dibilik kan terus berganti. Anggaplah selama 12 jam ada tiga kali tamu yang berganti. Berarti sudah laku 120 butirkan? Kalikan dengan Rp250 ribu, sudah berapa itu? Ini bisnis yang menjanjikan, Bos!” terang Donny berapi-api.

Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Donny itu, sang kolega tergelak. Bahkan, terpingkal-pingkal. Si ‘David Beckham’ tersenyum saja. “Tapi, biasanya manajemen lepas tangan dan memberikan kekuasaan penuh pada BD,” kata si ‘David Beckham’ pula.

“Memang, tapi tetap saja manajemen yang berperan, minimal bagi hasil. Inikan tempat dia,” balas si Donny.
“Sudahlah… intinya tempat seperti ini memang menyediakan barang tuh. Nanti kau tunjukan tempat yang lain ya Don sama kawan kita ini,” kata sang kolega.

Donny mengangguk pasti. “Siap, Bos!”

Penulis tertawa. Tergambar beberapa tempat lain di Kota Medan yang memang sudah penulis incar.
“Wak, ambil lagi barang tuh di BD. Jangan sampek siang yang indah ini hilang percuma. Sekalian panggil si Cindy tadi,” kata sang kolega pada si ‘David Beckham’. Yang disuruh pun langsung bergerak cepat.

Penulis tersenyum, terbayang dalam otak tentang siang yang indah di KTV Stroom, Selecta Building Medan. Ya, seperti cerita orang-orang. Ah, masihkah ada alasan untuk mengelak? (bersambung)

Berita sebelumnya:

Ketika Kenikmatan Tak Lagi Milik Malam

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/