MEDAN-Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Kota Medan dibanjiri aksi demo. Berbagai elemen bergelombang menyeruduk gedung wakil rakyat, dengan menyatakan beragama tuntutan.
Salah satunya, penolakan dijadikannya Ujian Nasional (UN) sebagai standar kelulusan.
Massa aksi tersebut antara lain, Komite Peduli Pendidikan (KPP), Poros Pelajar Islam Sumatera Utara (PPISU) dan Front Mahasiswa Nasional (FMN).
KPP menilai, UN merupakan pembodohan dan menghamburkan uang rakyat demi sesuatu hasil yang tidak jelas. Bahkan, UN memberikan beban poin kelulusan kepada siswa, menjadikan siswa maupun penyelenggara pendidikan menghalalkan segala cara untuk dapat mencapai kelulusan 100 persen, yang pada akhirnya merusak moral dan mental anak bangsa.
“UN telah berlangsung selama sepuluh tahun terakhir, namun tidak ada yang berubah dalam pendidikan bangsa. Bahkan, UN hanya memberikan dampak negatif yang nyata-nyata terlihat saat ini, seperti siswa trauma, siswa curang dan bohong. Bahkan, kebobrokan sistim ini juga dipertontonkan para guru dengan melaksanakan cuci rapor untuk sejumlah siswa,” tegas massa aksi.
Sementara itu massa PPISU menuntut, agar UN tidak dijadikan sebagai standar kelulusan. Hal itu sangat tidak relevan, mengingat infrastruktur dan fasilitas serta tenaga pengajar di seluruh sekolah tidak sama.
“Kalau harus dijadikan UN sebagai satu-satunya standar kelulusan, maka pemerintah harus melakukan pemerataan dulu terhadap faktor pendukung tersebut. Sebelum itu, maka kami menolak UN,” tegas salah seorang orator dari PPISU.
Selain penolakan terhadap UN, massa aksi juga mendesak realisasi minimal 20 persen anggaran untuk pendidikan. Kemudian menyelenggarakan pendidikan murah yang berkualitas dan peningkatan sarana pendidikan.
Sementara itu, aksi lainnya dari Alansi Mahasiwa dan Masyarakat Anti Penindasan (Aman Penindasan) di lokasi yang sama, dua orang di antaranya sempat pingsan.
Seorang di antara yang pingsan bernama Nurul Ummah (21). Seseorangnya lagi bernama Ahmad Fadillah (21). Kedua mahasiswa tersebut merupakan mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).
Uma pingsan setelah berorasi menuntut agar kakaknya yang ditahan atas tuduhan penghinan terhadap bendera merah putih, saat aksi beberapa waktu lalu di Kantor Bupati Sergai tersebut segera dibebaskan.
Unjuk rasa Aman Penindasan tersebut, memfokuskan tuntutan agar rekan mereka Ketua Umum Organisasi Mahasiswa dan Masyarakat Bersatu Anti Korupsi (Ombak) Sumut, Rozy Albanjari yang ditahan Polsek Serdang Bedagai (Sergai) sejak 13 April 2012 dibebaskan.
Rozy ditahan beberapa hari setelah melakukan aksi terkait pengusutan korupsi pada Disdik Sergai di Kantor Bupati Sergai.
Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) juga diwarnai aksi lempar telur ke gedung Dinas Pendidikan Sumatera Utara (Disdiksu).
Aksi yang dilakukan ratusan mahasiswa dari Front Mahasiswa Sumatera Utara (From-Su) dilakukan sebagai bentuk kekecewaan terhadap sistem pendidikan saat ini.
Kedatangan ratusan mahasiswa tersebut juga sekaligus menggelar aksi damai dalam upaya menolak komersialisasi pendidikan yang dilakukan para pemangku kebijakan.
“Terjadinya komersialisasi pendidikan membuktikan pemerintah lepas tangan terhadap pendidikan anak bangsa. Karena bagi mereka yang berasal dari keluarga miskin akan semakin sulit untuk melanjutkan pendidikan,” ujar koordinator aksi, Martin Luiz, saat menggelar aksi di depan Kantor Dinas Pendidikan Sumatera Utara.
Martin juga mengatakan, komersialisasi pendidikan atau membisniskan pendidikan sudah jelas bentuknya, saat pemerintah melepaskan tanggungjawab dalam biaya pendidikan dan menyerahkannya pada sektor swasta melalui berbagai peraturan pendidikan.
Sementara opsi mengeluarkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bukanlah solusi karena tidak membawa pengaruh yang signifikan terhadap perbaikan dunia pendidikan.
Tidak hanya itu saja, bahkan persoalan-persoalan yang baru, muncul kembali karena indikasi terjadinya penyelewengan dana BOS sangat mungkin terjadi.
“Dana BOS seharusnya tidak perlu dijadikan sebuah program, karena persoalan pembiayaan operasional sekolah akan terjawab apabila implementasi dari anggaran dana pendidikan 20 persen benar-benar direalisasikan dengan benar. Bukan seperti yang sekarang ini dimana sebanyak 18 persen hanya untuk gaji guru dan pegawai pendidikan,” ucapnya.
Selain itu, lanjutnya, diskriminasi dalam dunia pendidikan juga semakin merajalela.
“Ini mulai terlihat dari tingkat SD yakni siapa yang berduitlah yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta bertaraf internasional. Sementara bagi anak-anak buruh, petani dan yang berasal dari keluarga miskin lainnya hanya bersekolah di SD negeri dengan kualitas minim,”sebutnya.
Selain itu, bilanghnya, untuk tingkat kampus juga akan semakin banyak kelas-kelas berdasar besar sumbangannya terhadap dana pembiayaan di kampus.
Demikian juga dengan program Ujian Nasional (UN) yang menurut dia hanya formalitas belaka, karena tidak tepat menyamaratakan ukuran kelulusan di Indonesia.
Mengingat ketidakmampuan pemerintah dalam melakukan pemerataan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia, yakni dengan masih minimnya kualitas pendidikan di desa dibandingkan dengan di kota.
“Jelas pemerintah hari ini telah menjual pendidikan kepada kepentingan kapitalis,” ungkapnya di akhir orasi. (uma/ari)