26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

USU ‘Ngemis’ Proyek Dikti

Anggaran Pendidikan Tinggi (Dikti) di Universitas Sumatera Utara (USU) tidak hanya menimbulkan dugaan korupsi, tapi juga menguak ‘ketidakharmonisan’ antara pejabat di kampus tersebut. Di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya hal itu tampak jelas. Tidak sekadar soal jumlah anggaran, dosen pun kurang setuju ketika USU terkesan begitu ngotot dan bahkan seperti mengemis untuk mendapatkan proyek tersebut.

MEDAN- Kenyataan ini terungkap ketika Sumut Pos semakin masuk ke dalam kampus ternama di Sumatera Utara ini. Dari pengakuan dosen hingga para pengambil kebijakan di Fakultas Ilmu Budaya, usaha USU mendapatkan proyek Dikti memang penuh intrik.

Tidak hanya itu, proposal yang terus berubah seakan menunjukkan ‘kepentingan’ yang paling dominan dalam pengajuan proyek tersebut.

Misalnya soal pengadaan alat musik yang kini masih dalam penyidikan Kejagung.

Awalnya, proyek itu hanya sebesar Rp3,5 miliar. Tetapi angka itu kemudian menggelembung menjadi Rp5 miliar dan kemudian melonjak fantastis hingga hampir Rp15 miliar. “Lihat saja saat itu melibatkan nama-nama besar seperti Rosalina Manulang, Angelina Sondakh, juga Nazaruddin yang notabene pemain kelas kakap,” cetus seorang dosen yang namanya sengaja Sumut Pos sembunyikan, kemarin.

Sumber ini bercerita proyek itu berawal pada 2010 silam. Kala itu biro rektor meminta Fakultas Ilmu Budaya (Fakultas Sastra) untuk mengajukan permohonan pengadaan barang di fakultas tersebut. Merespon tawaran rektor tersebut, pihak fakultas menunjuk tim. “Jadi saat itu disusunlah proposal sekaligus narasi dan latar belakangnya,” ungkapnya.

Pada saat itu, tim mengajukan permohonan dana sebesar Rp3,5 miliar. Dengan dana sebesar itu dipercayai bisa memenuhi sarana pengajaran di Etnomusikologi. Namun anehnya, di tengah jalan kebijakan berubah dan anggaran jadi Rp5 miliar. “Nah, saat diproyeksikan Rp5 miliar itu, disaat itu pula terjadi intrik,” bebernya.

Setelah itu, tim pun pecah. Orang yang ditunjuk tak mau lagi bertanggung jawab dengan proyek pengadaan alat musik tersebut. Belakangan diketahui, nilai proyek malah menjadi Rp 15 miliar. “Saat itu masuklah Frida Deliana, Ketua Jurusan Etnomusikologi pada saat itu. Dalam proses itu tiba-tiba yang bersangkutan memiliki andil terhadap kelangsungan proyek tersebut. Sampai pada akhirnya pada proses penerimaan barang, antara USU ke fakultas, dan dari fakultas ke Departemen Etnomusikologi, saya kaget saja bahwa barang yang masuk tidak seperti di awal yang sudah diproyeksikan. Terutama barang-barang yang berkaitan dengan alat musik tradisional. Ternyata spesifikasinya jauh dibawah standar semua,” ungkapnya. Ia menilai mark-up dari yang dulunya ia proyeksikan, angkanya begitu fantastis.

Dia meyakini betul bahwa alat-alat yang dimohonkan itu tidak sesuai kebutuhan sebagai instrumen pengajaran untuk mahasiswa Departemen Etnomusikologi. “Sampai terkadang saya nyeletuk sama kawan-kawan di fakultas dengan mengatakan, jangankan beli alat musik, beli rumah sekaligus sawah yang punya alat musik pun masih cukup uangnya,” jelasnya.

Sang sumber mengaku sama sekali tidak mengetahui kalau ceritanya sampai seperti itu. “Mungkin mereka  mengutak-atik pengadaan dan harga barang yang dimohonkan. Karena berdasarkan barang yang saya lihat, memang tidak sesuai spesifikasi.  Akhirnya ini yang menjadi masalah, mulai dari BPK sampai Kejagung masuk ke USU,” ujarnya.

Dia sungguh merasa sangat aneh dengan hal itu. Sebab menurutnya begitu naif bagi oknum-oknum yang berada di dalam, malah tidak melihat spesifikasi barang yang berbeda. Bahkan menurut hemat dia, proyek pengadaan itu diajukan pada saat APBN-P. “Bayangkan saja pengajuan di APBN-P itu, kan, tidak main-main. Lihat saja saat itu melibatkan nama-nama besar seperti Rosalina Manulang, Angelina Sondakh, juga Nazaruddin yang notabene pemain kelas kakap. Bahkan kolektif sebanyak 16 universitas di Indonesia terlibat di situ,” paparnya.

Mendapat informasi tersebut, Sumut Pos kembali berusaha menghubungi Frida Deliana. Namun nomor ponsel yang  bersangkutan selalu tidak aktif. Pun begitu dengan pesan singkat yang dilayangkan, tidak kunjung berbalas hingga berita ini dikirimkan ke redaksi.

Informasi yang diperoleh, Frida Deliana merupakan dosen yang mengajar di Etnomusikologi USU. Dia juga seorang PNS di tatanan USU. Namun hingga kini keberadaannya tidak diketahui pasca menguaknya kasus korupsi di FIB USU.

Soal gonjang-ganjing di Etnomusikologi ini telah diungkapkan Ketua Departemen Etnomusikologi USU, Muhammad Takari MHum. Dia menjelaskan, proyek pengadaan barang dari hibah Dikti 2010 yang dipermasalahkan itu ada semasa rektor lama yakni Prof Chairuddin Lubis. Namun, di tengah perjalanan diambil alih Prof Syahril Pasaribu. “Baik itu tender maupun penyusunan proposalnya,” katanya, Selasa (1/7), usai menjadi juri pada audiensi orkestra bahana nusantara di kampus tersebut.

Pria yang sejak 2011 menjabat sebagai Ketua Departemen Etnomusikologi USU ini mengungkapkan, pada awalnya ia sempat dilibatkan dalam proyek tersebut. Namun seiring perjalanan waktu, tatkala nilai proyeknya hingga mencapai Rp15 miliar, dirinya tak dilibatkan sedikit pun. “Saat pengadaan barang bernilai Rp5 saya masih dilibatkan. Itu pada masa Rektor Chairuddin Lubis. Namun begitu nilai proyek sudah Rp15 miliar, hanya beberapa dari kami saja yang diikutsertakan. Termasuk saya tidak terlibat di dalamnya,” ungkapnya.

Takari pun mengungkapkan, pengadaan peralatan musik tersebut terlalu terburu-buru. Di samping itu proyek hibah Dikti 2010 juga tidak melibatkan banyak pihak seperti kalangan dosen di tatanan program studi Etnomusikologi USU.

“Padahal di Etnomusikologi, ada sebanyak 26 dosen, namun kami tidak dilibatkan perihal proyek tersebut,” katanya. Alhasil menurut dia, hal itu kemudian menjadi persoalan saat ini.

Disinggung keterlibatannya soal pengadaan peralatan di Etnomusikologi, ia kembali menekankan bahwa tidak dilibatkan. “Insya Allah saya tidak terlibat. Apalagi saat itu saya belum menjabat sebagai ketua departemen etnomusikologi. Karena dulunya saya masih sebagai Ketua Pascasarjana Pengkajian Seni,” paparnya.

Dia membeberkan, waktu permohonan untuk pengadaan barang tersebut masih di era ketua departemen sebelumnya, yakni Frida Deliana. Bahkan ia menyebut, yang bersangkutan sudah diperiksa sebanyak dua kali oleh tim Kejagung. “Perihal kapan pemeriksaan itu berlangsung saya tidak ingat. Namun beliau (Frida Deliana) terlibat dalam pembuatan proposal,” ujarnya.

Sebelumnya, Abdul Hadi (AH), yang ditetapkan Kejagung sebagai tersangka dalam kasus tersebut mengaku pasrah dengan kondisi itu. AH yang kala itu sebagai PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dalam pengadaan barang itu mengaku tidak tahu menahu soal tender maupun pengajuan barang dalam pengadaan tersebut. “Saya hanya disuruh mengerjakan ini dan itu. Jadi saya tidak mengetahui rincian dari permohonan tersebut,” katanya saat dihubungi Sumut Pos.

Mengenai status tersangka dari hasil pemeriksaan Kejagung beberapa waktu lalu, ia pun tak merasa ada beban sedikit pun. Menurutnya penetapan dirinya sebagai tersangka akan diputuskan di pengadilan. “Yang pasti apapun yang orang katakan pada saya, baik itu dibilang tersangka atau yang lainnya, saya tidak ambil pusing. Toh nanti ketetapannya diputuskan di pengadilan. Lagian sejauh apa sekarang perkembangannya, saya sudah tidak mengetahuinya,” imbuh dia.

Sebelumnya AH juga mengaku sudah diperiksa oleh Kejagung. “Sudah. Tempo hari saya diundang ke Jakarta untuk menghadiri undangan Kejagung terkait pengadaan peralatan di Etnomusikologi,” tegasnya. (mag-6/rbb)

Anggaran Pendidikan Tinggi (Dikti) di Universitas Sumatera Utara (USU) tidak hanya menimbulkan dugaan korupsi, tapi juga menguak ‘ketidakharmonisan’ antara pejabat di kampus tersebut. Di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya hal itu tampak jelas. Tidak sekadar soal jumlah anggaran, dosen pun kurang setuju ketika USU terkesan begitu ngotot dan bahkan seperti mengemis untuk mendapatkan proyek tersebut.

MEDAN- Kenyataan ini terungkap ketika Sumut Pos semakin masuk ke dalam kampus ternama di Sumatera Utara ini. Dari pengakuan dosen hingga para pengambil kebijakan di Fakultas Ilmu Budaya, usaha USU mendapatkan proyek Dikti memang penuh intrik.

Tidak hanya itu, proposal yang terus berubah seakan menunjukkan ‘kepentingan’ yang paling dominan dalam pengajuan proyek tersebut.

Misalnya soal pengadaan alat musik yang kini masih dalam penyidikan Kejagung.

Awalnya, proyek itu hanya sebesar Rp3,5 miliar. Tetapi angka itu kemudian menggelembung menjadi Rp5 miliar dan kemudian melonjak fantastis hingga hampir Rp15 miliar. “Lihat saja saat itu melibatkan nama-nama besar seperti Rosalina Manulang, Angelina Sondakh, juga Nazaruddin yang notabene pemain kelas kakap,” cetus seorang dosen yang namanya sengaja Sumut Pos sembunyikan, kemarin.

Sumber ini bercerita proyek itu berawal pada 2010 silam. Kala itu biro rektor meminta Fakultas Ilmu Budaya (Fakultas Sastra) untuk mengajukan permohonan pengadaan barang di fakultas tersebut. Merespon tawaran rektor tersebut, pihak fakultas menunjuk tim. “Jadi saat itu disusunlah proposal sekaligus narasi dan latar belakangnya,” ungkapnya.

Pada saat itu, tim mengajukan permohonan dana sebesar Rp3,5 miliar. Dengan dana sebesar itu dipercayai bisa memenuhi sarana pengajaran di Etnomusikologi. Namun anehnya, di tengah jalan kebijakan berubah dan anggaran jadi Rp5 miliar. “Nah, saat diproyeksikan Rp5 miliar itu, disaat itu pula terjadi intrik,” bebernya.

Setelah itu, tim pun pecah. Orang yang ditunjuk tak mau lagi bertanggung jawab dengan proyek pengadaan alat musik tersebut. Belakangan diketahui, nilai proyek malah menjadi Rp 15 miliar. “Saat itu masuklah Frida Deliana, Ketua Jurusan Etnomusikologi pada saat itu. Dalam proses itu tiba-tiba yang bersangkutan memiliki andil terhadap kelangsungan proyek tersebut. Sampai pada akhirnya pada proses penerimaan barang, antara USU ke fakultas, dan dari fakultas ke Departemen Etnomusikologi, saya kaget saja bahwa barang yang masuk tidak seperti di awal yang sudah diproyeksikan. Terutama barang-barang yang berkaitan dengan alat musik tradisional. Ternyata spesifikasinya jauh dibawah standar semua,” ungkapnya. Ia menilai mark-up dari yang dulunya ia proyeksikan, angkanya begitu fantastis.

Dia meyakini betul bahwa alat-alat yang dimohonkan itu tidak sesuai kebutuhan sebagai instrumen pengajaran untuk mahasiswa Departemen Etnomusikologi. “Sampai terkadang saya nyeletuk sama kawan-kawan di fakultas dengan mengatakan, jangankan beli alat musik, beli rumah sekaligus sawah yang punya alat musik pun masih cukup uangnya,” jelasnya.

Sang sumber mengaku sama sekali tidak mengetahui kalau ceritanya sampai seperti itu. “Mungkin mereka  mengutak-atik pengadaan dan harga barang yang dimohonkan. Karena berdasarkan barang yang saya lihat, memang tidak sesuai spesifikasi.  Akhirnya ini yang menjadi masalah, mulai dari BPK sampai Kejagung masuk ke USU,” ujarnya.

Dia sungguh merasa sangat aneh dengan hal itu. Sebab menurutnya begitu naif bagi oknum-oknum yang berada di dalam, malah tidak melihat spesifikasi barang yang berbeda. Bahkan menurut hemat dia, proyek pengadaan itu diajukan pada saat APBN-P. “Bayangkan saja pengajuan di APBN-P itu, kan, tidak main-main. Lihat saja saat itu melibatkan nama-nama besar seperti Rosalina Manulang, Angelina Sondakh, juga Nazaruddin yang notabene pemain kelas kakap. Bahkan kolektif sebanyak 16 universitas di Indonesia terlibat di situ,” paparnya.

Mendapat informasi tersebut, Sumut Pos kembali berusaha menghubungi Frida Deliana. Namun nomor ponsel yang  bersangkutan selalu tidak aktif. Pun begitu dengan pesan singkat yang dilayangkan, tidak kunjung berbalas hingga berita ini dikirimkan ke redaksi.

Informasi yang diperoleh, Frida Deliana merupakan dosen yang mengajar di Etnomusikologi USU. Dia juga seorang PNS di tatanan USU. Namun hingga kini keberadaannya tidak diketahui pasca menguaknya kasus korupsi di FIB USU.

Soal gonjang-ganjing di Etnomusikologi ini telah diungkapkan Ketua Departemen Etnomusikologi USU, Muhammad Takari MHum. Dia menjelaskan, proyek pengadaan barang dari hibah Dikti 2010 yang dipermasalahkan itu ada semasa rektor lama yakni Prof Chairuddin Lubis. Namun, di tengah perjalanan diambil alih Prof Syahril Pasaribu. “Baik itu tender maupun penyusunan proposalnya,” katanya, Selasa (1/7), usai menjadi juri pada audiensi orkestra bahana nusantara di kampus tersebut.

Pria yang sejak 2011 menjabat sebagai Ketua Departemen Etnomusikologi USU ini mengungkapkan, pada awalnya ia sempat dilibatkan dalam proyek tersebut. Namun seiring perjalanan waktu, tatkala nilai proyeknya hingga mencapai Rp15 miliar, dirinya tak dilibatkan sedikit pun. “Saat pengadaan barang bernilai Rp5 saya masih dilibatkan. Itu pada masa Rektor Chairuddin Lubis. Namun begitu nilai proyek sudah Rp15 miliar, hanya beberapa dari kami saja yang diikutsertakan. Termasuk saya tidak terlibat di dalamnya,” ungkapnya.

Takari pun mengungkapkan, pengadaan peralatan musik tersebut terlalu terburu-buru. Di samping itu proyek hibah Dikti 2010 juga tidak melibatkan banyak pihak seperti kalangan dosen di tatanan program studi Etnomusikologi USU.

“Padahal di Etnomusikologi, ada sebanyak 26 dosen, namun kami tidak dilibatkan perihal proyek tersebut,” katanya. Alhasil menurut dia, hal itu kemudian menjadi persoalan saat ini.

Disinggung keterlibatannya soal pengadaan peralatan di Etnomusikologi, ia kembali menekankan bahwa tidak dilibatkan. “Insya Allah saya tidak terlibat. Apalagi saat itu saya belum menjabat sebagai ketua departemen etnomusikologi. Karena dulunya saya masih sebagai Ketua Pascasarjana Pengkajian Seni,” paparnya.

Dia membeberkan, waktu permohonan untuk pengadaan barang tersebut masih di era ketua departemen sebelumnya, yakni Frida Deliana. Bahkan ia menyebut, yang bersangkutan sudah diperiksa sebanyak dua kali oleh tim Kejagung. “Perihal kapan pemeriksaan itu berlangsung saya tidak ingat. Namun beliau (Frida Deliana) terlibat dalam pembuatan proposal,” ujarnya.

Sebelumnya, Abdul Hadi (AH), yang ditetapkan Kejagung sebagai tersangka dalam kasus tersebut mengaku pasrah dengan kondisi itu. AH yang kala itu sebagai PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dalam pengadaan barang itu mengaku tidak tahu menahu soal tender maupun pengajuan barang dalam pengadaan tersebut. “Saya hanya disuruh mengerjakan ini dan itu. Jadi saya tidak mengetahui rincian dari permohonan tersebut,” katanya saat dihubungi Sumut Pos.

Mengenai status tersangka dari hasil pemeriksaan Kejagung beberapa waktu lalu, ia pun tak merasa ada beban sedikit pun. Menurutnya penetapan dirinya sebagai tersangka akan diputuskan di pengadilan. “Yang pasti apapun yang orang katakan pada saya, baik itu dibilang tersangka atau yang lainnya, saya tidak ambil pusing. Toh nanti ketetapannya diputuskan di pengadilan. Lagian sejauh apa sekarang perkembangannya, saya sudah tidak mengetahuinya,” imbuh dia.

Sebelumnya AH juga mengaku sudah diperiksa oleh Kejagung. “Sudah. Tempo hari saya diundang ke Jakarta untuk menghadiri undangan Kejagung terkait pengadaan peralatan di Etnomusikologi,” tegasnya. (mag-6/rbb)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/