Site icon SumutPos

Driver Dipatok Rp2 Juta, Vendor Dituding Cari Untung

Foto: Triadi Wibowo/Sumut Pos
Petugas Dinas Perhubungan Sumut dibantu aparat kepolisian, memeriksa kendaraan plat hitam yang diduga mengangkut penumpang, saat razia Taxi Online di depan pintu masuk Sun Plaza Jalan KH Zainul Arifin Medan, Rabu (2/8/2018).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kebijakan pemerintah melegalkan taksi online, dinilai hanya menguntungkan pihak tertentu dan merugikan para driver. Pasalnya, jika ingin bergabung dengan perusahaan yang telah memiliki legalitas, mereka wajib membayar uang pendaftaran dan iuran yang dinilai memberatkan para driver.

Eko, seorang pengendara angkutan berbasis aplikasi, mengaku keberatan atas cara yang dibuat pemerintah itu. Menurutnya, selain hanya menguntungkan pihak tertentu selaku pemilik perusahaan, kendaraan pribadi mereka juga harus berganti nama kepemilikan di Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).

“Kita keberatan karena lagi-lagi Organda juga yang diuntungkan. Selama ini, berapa banyak perusahaan atau koperasi angkutan yang tidak peduli dengan mitranya. Mereka mengutip iuran, tetapi hampir tak ada manfaatnya, sama seperti preman saja,” kata Eko.

Dia menilai, jika pemerintah mengharuskan ada legalitas, sebaiknya regulasi dijalankan langsung dinas terkait. Sehingga segala jenis kutipan, iuran maupun retribusi yang ada jelas arahnya dan lebih meyakinkan. Karena itu, Eko menganggap cara seperti ini hanya memindahkan kewenangan dan melepaskan tanggungjawab.

“Makanya saya dan teman-teman lainnya, sepakat untuk tidak dulu mendaftarkan ke perusahaan. Karena kalau begini, bukan solusi,” katanya.

Roy, seorang sopir Grab, juga merasa keberatan dengan kebijakan tersebut. Dia merasa aturan itu hanya menguntungkan satu pihak yakni koperasi. Dia juga mempertanyakan alasan Dishub Sumut menunjuk lima perusahaan koperasi itu, dan apa pertimbangan dalam menetapkan besaran tarif. “Jangan-jangan ini ujung dari aksi unjuk rasa becak, supaya mereka kebagian uang. Sepertinya tukang becak pun dimanfaatkan atau ditunggangi oknum tertentu,” kata pria yang mengaku sebagai mahasiswa di salah satun PTS di Kota Medan itu.

Roy merasa ada yang aneh dalam kebijakan ini. “Bisa saja ini permainan Dishub bersama pihak koperasi atau Organda. Ini hanya menguntungkan pihak tertentu, sopir taksi online yang kena getahnya. Permenhub 26/2017 tidak bicara tarif, ini juga sepertinya di salah artikan,” katanya penuh curiga.

Dia pun coba menghitung perputaran uang dari biaya pendaftaran dan iuran yang dikenakan kepada sopir taksi online. “Kalau jumlah taksi online di Medan ada 3.500 unit. Maka uang pendaftaran yang dikelola 5 koperasi mencapai Rp7 miliar, dengan hitungan biaya pendaftaran atau perizinan Rp2 juta,” katanya.

Sedangkan untuk uang iuran, lanjut Roy, sopir taksi online dikenakan Rp700 ribu per bulan. Kalau jumlah taksi online 3.500 unit, maka peredaran uangnya mencapai Rp2,4 miliar perbulan. “Bukan jumlah yang kecil itu, bukan tidak mungkin itu disalah gunakan. Bukan tidak mungkin itu permainan pihak koperasi dengan Dishub,” jelasnya.

Seperti diketahui, ada lima perusahaan yang telah mendapatkan izin untuk beroperasi menggunakan aplikasi. Menurut data yang diperoleh Sumut Pos melalui pengumuan di kantor Grab yang berada di komplek CBD Polonia, kelima perusahaan itu yakni PT Raja Tambun Jaya beralamat di Jalan Bunga Mawar No 92 (Koserna) Medan Selayang. Kemudian PT Rahayu Medan Ceria (RMC) di Jalan Setiabudi Komplek Setiabudi Center Blok B No 12.

PT Alga Sempurna Mandiri, alamat di Jalan Bunga Terompet/Balai No 10 Medan Selayang. PT Cipta Lestari Trans Sejahtera, alamat Jalan Setia Budi No 460. Dan Koperasi Reha Sakti Bersama, alamat Jalan DI Panjaitan No 134.

Untuk mengetahui seperti apa persyaratan dan cara mendaftar ke perusahaan tersebut, Sumut Pos menghubungi nomor telepon PT Rahayu Medan Ceria yang tertera di pengumuman itu. Ternyata tersambung dengan seorang wanita yang mengaku bernama Novi. Melalui sambungan telepon, Novi menjelaskan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi ketika sopir taksi online ingin mendaftar. “Syaratnya sama seperti ketika melamar ke Grab, yakni SKCK, KTP, SIM, STNK, KK,” katanya.

Bukan hanya itu, kata dia, sopir taksi online juga harus membayar biaya perizinan, uji kir dan sertifikasi dengan total biaya Rp2 juta. “Itu harus dibayar di muka, sudah all in (semua), termasuk biaya uji kir. Kalau belum ada uang, bisa daftar dulu, nanti setelah dilunasi baru diberitahu jadwal uji kir. Biasanya 2 hari setelah pelunasan baru diberitahu jadwalnya. Kalau bisa daftar dulu, karena tempatnya terbatas,” katanya.

Bukan hanya itu, lanjut dia, sopir taksi online juga diwajibkan membayar iuran sebesar Rp175 per minggu. “Nah untuk iuran, sedang diusahakan tidak bayar. Tapi, sebagai gantinya mobil dipasangi iklan. Namun, ini masih akan dibahas lebih jauh, diusahakan agar tidak bayar iuran,” tuturnya.

Informasi tidak jauh berbeda didapati dari Andi Nugraha, dari Koperasi Reha Sakti Bersama. Namun, di koperasi ini kocek sopir taksi online harus di rogoh lebih dalam. “Uang pendaftaran Rp250 ribu. Uang perizinan Rp2,5 juta,” ujar Andi ketika dihubungi terpisah.

Untuk iuran setiap pekannya, Andi enggan membeberkan lebih jauh. “Datang saja ke Kantor nanti saya jelaskan. Kalau besaran iuran masih dibahas. Uang itu sifatnya jasa, bukan simpan pinjam,” akunya.

Kepala Bidang Pengembangan, Pengendalian dan Keselamatan (PP&K) Dishub Medan, Edison Brase Sagala ketika dikonfirmasi mengenai rekomendasi Dishub agar para sopir taksi online bergabung ke vendor, ia menegaskan hal itu bukan domain pihaknya. “Kalau soal itu saya nggak mau campuri. Silahkan tanya ke Dishub provinsi saja,” katanya.

Angkutan online-Ilustrasi.

Namun soal biaya Rp2 juta untuk administrasi dan iuran sekitar Rp700 ribu per bulan kepada sopir taksi online jika ingin bergabung ke vendor sesuai rekomendasi, ia menyatakan hal itu sesuai kesepakatan internal. “Itu urusan internal perusahaan mereka. Kalau dari kita nggak ada (pembayaran),” katanya.

Menurut dia, aturan maupun pembayaran seperti itu wewenang dari pihak perusahaan. Apalagi sepengetahuan dia, ada lima daftar perusahaan yang bersedia sebagai vendor untuk menampung taksi online tersebut. “Gak ada paksaan, terserah mereka. Tapi itu pun kami tak campuri,” pungkasnya.

Sementara Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kota Medan Mont Gomery Munthe membenarkan ihwal pembayaran tersebut. Ia menjelaskan, masing-masing perusahaan memiliki aturan main. Artinya, biaya Rp2 juta per kenderaan untuk menopang operasional perusahaan. “Benar bahwa ada 5 vendor yang sesuai klasifikasi menurut aturan PM 26. Biaya itu untuk operasional perusahaan. Seperti pengurusan speksi, KPS (Kartu Pengasawan), pajak, listrik, gaji karyawan dan lain sebagainya,” katanya.

Pihaknya tidak memaksakan para sopir taksi online itu bergabung dengan vendor yang ada. Karena menurutnya hal itu diberlakukan atas dasar kesepakatan. “Jadi istilahnya, ketika pengurusan speksi, pajak dan KPS itu mereka tidak dibebankan lagi. Kita semua yang akomodir dari biaya Rp2 juta itu. Nah untuk iuran Rp175 ribu perbulan itu, tentu dipergunakan sebagai biaya operasional perusahaan. Kan kita bayar listrik, uang sewa gedung, gaji pegawai dan uji kendaraan,” katanya.

Secara prinsip bisnis dan PM 26, Mont menjelaskan, kerja sama harus saling menguntungkan. Artinya Angkutan Sewa Khusus (ASK) seperti taksi online ini sama seperti angkutan kota. Cuma bedanya dia tetap berplat hitam. Speksi dan urusan lainnya tetap sama seperti mekanisme angkutan kota. Di mana ada uang iuran dan lain sebagainya. “Di PM 26 itu memang nggak sebut nilai. Cuma prinsipnya kerja sama harus saling menguntungkan. Masak mereka untung kita buntung, kan gak cocok juga,” katanya menambahkan bahwa gaji sopir taksi online tetap dari penyelenggara aplikasi. (dik/prn/adz)

Exit mobile version