26 C
Medan
Friday, July 5, 2024

Guru Besar USU, Prof Ridha Sebut Kasus Bully di Cilacap Tidak Lepas Pengaruh Gadget

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU), Prof Dr dr Ridha Dharmajaya membeberkan kasus perundungan atau bully di sekolah, tidak terlepas dari pengaruh penggunaan gadget yang tidak tepat.

Pernyataan Prof Ridha itu, menyikapi atas kasus perundungan atau bullying yang terjadi di salah satu SMP di Kota Cilacap, Jawa Tengah, yang sempat viral dan menarik perhatian semua kalangan termasuk pemerhati pendidikan.

“Seperti yang saya sampaikan di beberapa pertemuan, bahwa ada persepsi realitas yang berubah. Di mana orang secara sadar melakukan kekejaman terhadap orang lain,” ucap Prof Ridha, kepada wartawan, Selasa (3/10/2023).

Prof Ridha, yang juga menginisiasi Gerakan Gadget Sehat Indoneaia (GGSI), mengungkapkan bahwa kasus perundungan di Kota Cilacap itu, tidak lepas dengan penggunaan gadget berlebihan, yang berdampak dengan kehidupan anak tersebut.

“Apa yang mereka lihat di game online gadgetnya, di mana kekejaman yang dilakukan tidak berpengaruh terhadap lawannya karena bisa bangkit lagi setelah dipukul dan dipijak. Itu persepsi realitas yang dilihatnya, tapi pada kenyataannya si korban pemukulan akan terbaring dan harus mendapatkan perawan serius di rumah sakit,” jelas Prof Ridha.

Masih menurutnya, orang dibentuk akan tiga hal yakni apa yang dimakannya, didengarnya dan dilihatnya.

“Kalau makan mungkin tidak ada kaitannya ke gadget, tapi apa yang didengar dan dan dilihatnya di gadget yang terkadang konten kekerasan ataupun game online yang cenderung permainan kekerasan bisa membentuk prilaku seseorang menjadi kejam,” ujarnya.

“Sehingga penting untuk dimonitor konten-konten yang ditonton oleh anak didik agar terhindar dari prilaku keras dan kejam,” ucapnya melanjutkan.

Selain itu juga bilang Prof Ridha, perlu adanya penguatan terhadap para guru di lembaga pendidikan. Sehingga para guru bisa menegakkan disiplin terahadap para anak didiknya.

“Ada reward dan punishment yang bisa diterapkan. Selama ini yang kita lihat, ada beberapa kejadian saat guru memberikan punishment terhadap muridnya, orang tua si murid tidak terima dan melaporkan si guru. Ini kan jadi melemahkan para guru dalam menindak pelanggaran,” ungkap Prof Ridha.

Apalagi sambungnya, banyak sekolah yang membutuhkan murid agar proses pendidikan belajar mengajar bisa tetap berjalan, sehingga sering mentolerir kesalahan yang dilakukan murid.

“Ini akan menyebabkan tidak terjadinya penegakan disiplin terhadap siswa yang melakukan pelanggaran di sekolah,” tuturnya lagi.

Disinggung adanya temuan yang disampaikan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) bahwa perundungan di lingkungan pendidikan mencapai 50 persen dan temuan kasus terendah di Pondok Pesantren sekitar 6,25 persen, Prof Ridha melihat hal yang wajar.

“Kenapa kasus perundungan di pesantren itu jauh lebih rendah daripada SMP, SD dan SMA, hal itu dikarenakan banyak pondok pesantren yang melarang santrinya menggunakan gadget,” kata Prof Ridha.

Untuk itu dirinya menyarankan perlu adanya regulasi di lembaga pendidikan yang mengatur secara khusus penggunaan gadget.

“Sehingga cita-cita lembaga pendidikan melahirkan generasi emas yakni pintar, sehat dan berahlakul karimah bisa terwujud,” ujarnya mengakhiri.

Sebelumnya diberitakan seorang siswa SMP di Cilacap, Jawa Tengah, menjadi korban perundungan atau bullying oleh teman sekolahnya. Kasus ini pun viral setelah video penganiayaan itu tersebar di media sosial.

Atas kejadian itu dua orang menjadi tersangka sementara korbannya mendapatkan perawatan intensif setelah mengalami patah tulang pada bagian rusuknya.(gus/ram)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU), Prof Dr dr Ridha Dharmajaya membeberkan kasus perundungan atau bully di sekolah, tidak terlepas dari pengaruh penggunaan gadget yang tidak tepat.

Pernyataan Prof Ridha itu, menyikapi atas kasus perundungan atau bullying yang terjadi di salah satu SMP di Kota Cilacap, Jawa Tengah, yang sempat viral dan menarik perhatian semua kalangan termasuk pemerhati pendidikan.

“Seperti yang saya sampaikan di beberapa pertemuan, bahwa ada persepsi realitas yang berubah. Di mana orang secara sadar melakukan kekejaman terhadap orang lain,” ucap Prof Ridha, kepada wartawan, Selasa (3/10/2023).

Prof Ridha, yang juga menginisiasi Gerakan Gadget Sehat Indoneaia (GGSI), mengungkapkan bahwa kasus perundungan di Kota Cilacap itu, tidak lepas dengan penggunaan gadget berlebihan, yang berdampak dengan kehidupan anak tersebut.

“Apa yang mereka lihat di game online gadgetnya, di mana kekejaman yang dilakukan tidak berpengaruh terhadap lawannya karena bisa bangkit lagi setelah dipukul dan dipijak. Itu persepsi realitas yang dilihatnya, tapi pada kenyataannya si korban pemukulan akan terbaring dan harus mendapatkan perawan serius di rumah sakit,” jelas Prof Ridha.

Masih menurutnya, orang dibentuk akan tiga hal yakni apa yang dimakannya, didengarnya dan dilihatnya.

“Kalau makan mungkin tidak ada kaitannya ke gadget, tapi apa yang didengar dan dan dilihatnya di gadget yang terkadang konten kekerasan ataupun game online yang cenderung permainan kekerasan bisa membentuk prilaku seseorang menjadi kejam,” ujarnya.

“Sehingga penting untuk dimonitor konten-konten yang ditonton oleh anak didik agar terhindar dari prilaku keras dan kejam,” ucapnya melanjutkan.

Selain itu juga bilang Prof Ridha, perlu adanya penguatan terhadap para guru di lembaga pendidikan. Sehingga para guru bisa menegakkan disiplin terahadap para anak didiknya.

“Ada reward dan punishment yang bisa diterapkan. Selama ini yang kita lihat, ada beberapa kejadian saat guru memberikan punishment terhadap muridnya, orang tua si murid tidak terima dan melaporkan si guru. Ini kan jadi melemahkan para guru dalam menindak pelanggaran,” ungkap Prof Ridha.

Apalagi sambungnya, banyak sekolah yang membutuhkan murid agar proses pendidikan belajar mengajar bisa tetap berjalan, sehingga sering mentolerir kesalahan yang dilakukan murid.

“Ini akan menyebabkan tidak terjadinya penegakan disiplin terhadap siswa yang melakukan pelanggaran di sekolah,” tuturnya lagi.

Disinggung adanya temuan yang disampaikan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) bahwa perundungan di lingkungan pendidikan mencapai 50 persen dan temuan kasus terendah di Pondok Pesantren sekitar 6,25 persen, Prof Ridha melihat hal yang wajar.

“Kenapa kasus perundungan di pesantren itu jauh lebih rendah daripada SMP, SD dan SMA, hal itu dikarenakan banyak pondok pesantren yang melarang santrinya menggunakan gadget,” kata Prof Ridha.

Untuk itu dirinya menyarankan perlu adanya regulasi di lembaga pendidikan yang mengatur secara khusus penggunaan gadget.

“Sehingga cita-cita lembaga pendidikan melahirkan generasi emas yakni pintar, sehat dan berahlakul karimah bisa terwujud,” ujarnya mengakhiri.

Sebelumnya diberitakan seorang siswa SMP di Cilacap, Jawa Tengah, menjadi korban perundungan atau bullying oleh teman sekolahnya. Kasus ini pun viral setelah video penganiayaan itu tersebar di media sosial.

Atas kejadian itu dua orang menjadi tersangka sementara korbannya mendapatkan perawatan intensif setelah mengalami patah tulang pada bagian rusuknya.(gus/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/