Site icon SumutPos

Bukan Uang Nenek Moyang Kalian Itu

Foto: (BAGUS SP/Sumut Pos)
SIDANG: Ketua Umum KPUM, Jabmar Siburian saat memberikan keterangan sebagai saksi di PN Medan, Kamis (2/11).

MEDAN, SUMUTPOS.CO -Ketua majelis hakim, Janverson Sinaga, menilai kepengurusan Koperasi Pengangkutan Umum Medan (KPUM) dibawah kepemimpinan Jabmar Siburian bobrok. Sehingga, banyak anggota KPUM yang dirugikan.

Itu terungkap pada persidangan kasus penggelapan Down Payment (DP) Pengadaan 179 armada angkutan kota di KPUM, dengan terdakwa Rayana Simanjuntak (mantan Wakil Ketua II KPUM). Sidang digelar di Ruang Kartika di PN Medan, Kamis (2/11) siang.

Hakim mendadak berang dengan keterangan Jabmar dan Sekretaris KPUM Ali Akram. Sebab, keduanya berbelit memberikan keterangan sebagai saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk terdakwa Rayana Simanjuntak.

“Bukan uang nenek moyang kalian (saksi,red) itu. Perbaiki koperasi bagus, jangan koperasi-koperasi asal-asal saja,” hardik Janverson kepada saksi.

Hakim emosi dengan keterangan Akram. Sebab, tidak menunjukan bukti proses pembayaran DP yang diberikan anggota KPUM kepada pengurus KPUM Medan melalui kasir ke Bendahara dan terdakwa.

Termasuk hasil rapat pengurus KPUM atas DP tersebut yang digelapkan Rp3 juta perunit dari DP yang dibayarkan Rp19,5 juta. Dengan itu, uang yang ada sebesar Rp16,5 juta.

“Sudah ada pak majelis hakim,” sebut Akram.

Mendengar itu, hakim langsung ‘menyemprot’ Akram. “Kalau sudah mana buktinya?! Mana buktinya?! Jangan kalian tahunya membuat pengadilan untuk menghukum orang saja (terdakwa),” tegas Janverson dengan nada tinggi.

Kemudian, majelis hakim menginstruksikan JPU, Nelson Viktor untuk melakukan pemeriksaan terhadap Akram. “Periksa ini jaksa,” cetus majelis hakim sembari menunjuk kearah saksi.

Akram hanya bisa diam sambil menundukan kepalanya. Sedangkan, Jabmar Siburian mengatakan pengadaan armada 179 unit tersebut, melalui proyeksi yang dilakukan terpidana selaku Wakil Ketua II KPUM membidangi operasional.

“Sebelum sudah diproyeksi harga mobil, biayanya dan DPnya dengan disampaikan kepada kasir untuk 179 unit mobil tersebut,” tuturnya.

Ironisnya, Jabmar sendiri tidak tahu apa kepanjangan dari PT TSA (Trans Sumatera Agung). Kemudian, ia menjelaskan setelah Rp3 juta tidak diketahui alias digelapkan.

Pengurus KPUM melaksanakan rapat pada bulan Maret 2016 dan memberikan kuasa kepada Bendahara KPUM, Jiwa Surbakti untuk membuat laporkan ke Polisi.

Mendengarkan keterangan itu, majelis hakim kembali mengeluarkan nanda tinggi. “Apa, bendahara kalin tamat SMA itu (Jiwa Surbakti) dan dia tak tahu apa-apa. Bendahara kalian sendiri yang bilang, dia bodoh. Jangan dilaporkan dulu, kan bisa dirapatkan kepada anggota yang mau beli mobil itu,” jelas majelis hakim.

Jabmar mengatakan, sisa DP mobil dipergunakan untuk kepentingan lain seperti biaya notaris. “Biaya notaris, biaya pendaftaran dan biaya adm (administrasi). Tapi baru sebagian yang sudah dibayar,” katanya.

Selanjutnya, Jabmar mengakui, bahwa pembelian mobil tersebut sebenarnya sudah bermasalah sejak awal. Termasuk akad kredit yang jadi pembelian mobil belum ada, tapi mobil sudah ada.

“Ini memang sudah bermasalah,” ujar Jabmar.

Menurutnya, yang menandatanganani cek pembelian mobil adalah dirinya dan Bendahara Jiwa Surbakti. Biasanya, lanjut Jabmar, yang ia tandatangani blangko kosong dan diserahkan ke bendahara.

“Nominalnya belum ada. Saya hanya menandatangani yang kosong,” pungkasnya.

Jabmar menyebut, akta kredit ditandatangani pada tahun 2017. Sedangkan DP dibayar pada tahun 2015.

“Dari tahun 2015 sampai 2016 belum ada pembayaran. Sempat STNK-nya tidak keluar pak. Sebelum pembayaran cek 6 tahap, mobil sudah keluar,” sebutnya.

Mendengar keterangan Jabmar, hakim Janverson memberi nasehat. “Di persidangan ini jangan sembunyi-sembunyi. Kalau ke penyidik silahkan, tapi di persidangan jangan,” ucap hakim.

Sepanjang persidangan, majelis hakim terus memarahi kedua saksi tersebut.”Untuk kalian yang datang disini, sebagai anggota untuk mengerti tentang koperasi dan jangan asal beli mobil. Kalian juga beli buku-buku tentang koperasi biar mengerti setelah ini,” ucap hakim sembari menutup sidang.

Kasus ini berawal pada tahun 2015. Saat itu, anggota KPUM mengajukan DP Rp19,5 juta untuk pembelian 179 unit mobil Suzuki APV.

Tujuannya, untuk peremajaan armada angkutan kota dibawah naungan KPUM. Sebab, moyaritas armada sudah rusak dan tak layak dipakai.

Para pembeli pun membayar DP seperti yang diminta. Kemudian, KPUM bekerjasama dengan PT Trans Sumatera Agung (TSA).

Ada 6 tahap pengambilan mobil yang disetorkan KPUM ke PT TSA. Namun, KPUM hanya memberikan DP sebesar Rp19,5 juta per unit kepada PT TSA.(gus/ala)

 

 

Exit mobile version