25.6 C
Medan
Sunday, June 2, 2024

Tonggak Perjuangan Kontemporer

Launching Buku Melawan Tirani Lokal

Mahasiswa bagian dari pemuda yang memikul tanggung jawab besar untuk mempelopori perubahan sosial. Suara dan pergerakan yang dilakukan pun sangat strategis terlebih bila diabadikan dalam bentuk buku. Seperti apa?3

INDRA JULI, Medan

Pemahaman itu muncul dalam launching buku “Melawan Tirani Lokal” di Cangkir Coffe Cafe Jalan dr Mansur Medan, Kamis (3/3). Sebagai pembicara hadir Dadang Darmawan SSos MSi, Drs Shohibul Anshor Siregar MSi dan penulis Ansor Harahap. Sebagai moderator, Arifin Saleh Siregar SSos berhasil mengarahkan pembicaraan di antaran
peserta yang terdiri dari mahasiswa dan organisasi pergerakan kemahasiswaan di Sumatera Utara itu menjadi lebih hangat.

“Saat ini kita tengah menghadapi tiga fenomena yang pelik. Yaitu hilangnya nasionalisme, disharmoni, dan distrust (ketidakpercayaan). Jadi gugatan Padang Lawas yang menjadi acuan buku ini mewakili seluruh kabupaten/kota yang ada di Indonesia saat ini,” ucap Dadang Darmawan SSos MSi.

Seperti yang disampaikan Dadang, politik lokal yang ada telah melakukan prosedural yang cacat. Di mana pemekaran daerah yang seyogianya aplikasi dari otonomi daerah hanya buah desakan elit politik dengan sudut bacaan baru dari satu daerah. Kesemuanya itu justru menjauhkan rakyat dari kesejahteraan melalui pembodohan yang dilakukan pelaku kekuasaan itu sendiri.

Prosedural yang cacat itu ditunjukkan dari usaha para birokrat dalam mempertahankan kekuasaannya dengan merebut kepemimpinan partai politik lokal. Kebutuhan akan kemenangan besar dari partai politik pun seolah membuka pintu terhadap langkah tersebut. Tak pelak, fungsi check n balances antara DPRD dan Pemda tak berjalan semestinya.

“Sayangnya gerakan-gerakan kritis saat ini mati suri karena keterbatasan sumber daya dari para aktivis muda. Apalagi mereka berhadapan dengan kekuatan politisi dan penguasa yang jauh lebih menguasai sumber daya. Pasar politik pun akhirnya menghentikan perjalanan para aktivis tadi,” papar Dosen FISIP USU dan Direktur Eksekutif Yayasan Kolektif Medan ini dalam testimoninya.

Sementara itu Drs Shohibul Anshor MSi dalam pemaparannya memberi apresiasi terhadap buku Melawan Tirani Lokal ini. Dirinya menilai meski tidak menggunakan metode ilmiah, buku tulisan Ansor Harahap merupakan ide original dari kaum muda melihat berbagai persoalan di tengah-tengah masyarakat saat ini.

“Banyak buku sejenis yang menggunakan berbagai metode ilmiah dengan tokoh-tokoh terkenal dan cost (biaya) besar. Tapi semua itu tidak menjamin kejujuran dari tujuan penulisannya. Bahkan ini sangat menyedihkan, dimana tokoh-tokoh negara ditempatkan sedemikian rendah hanya karena pengaruh dan kekuasaan yang dimiliki seseorang,” ketus Dosen Sosiologi Politik FISIP UMSU ini.

Koordinator Umum ‘nBASIS ini pun berharap agar Ansor Harahap tidak puas dengan buku perdananya ini tapi terus melahirkan buku-buku baru yang dapat menginspirasi pergerakan mahasiswa demi kesejahteraan masyarakat di daerah. “Meskipun masalah kita ini hanya menentukan apa yang paling mungkin mensejahterakan negeri ini secara lebih akseleratif. Mau unitarisme atau federalisme?” tegasnya.

Penjelasan awal kedua narasumber pun bersambut dengan peserta. Meskipun tidak banyak yang mempertanyakan keberadaan buku yang diterbitkan oleh salah satu penerbit di Yogyakarta itu.

Dalam buku Melawan Tirani Lokal, Ansor Harahap mengupas secara rinci dampak otonomi setengah hati, dari dampak otonomi daerah dewasa ini. Money politics pun bukanlah pandangan yang baru dan berdiri sendiri. Di mana seorang kandidat bupati/wali kota harus menyiapkan Rp100 miliar sampai Rp200 miliar untuk memenangkan Pilkada. Setelah terpilih maka setiap tahunnya pemenang harus menabung Rp30 miliar sampai Rp50 miliar. Illegal logging, lelang jabatan, eksplorasi alam, konsesi tanah ulayat, penyelundupan menjadi pilihan.

Buku ini juga mengangkat beberapa isu nasional yang terindikasi merupakan pembodohan yang dilakukan negara kepada rakyatnya. Seperti kasus Bank Century, Rezin Susilo Bambang Yudhoyono, dan demam anti korupsi yang ada di tengah-tengah masyarakat.

“Otonomi daerah saat ini dipahami hanya untuk eksploitasi belaka bukan untuk kesejahteraan rakyat. Sangat jauh dari tujuan otonomi daerah yang dibuat untuk mendekatkan masyarakat dengan pelayanan yang baik. Kondisi masyarakat di daerah butuh sentuhan dari mahasiswa sebagai motor perubahan,” tegas Ansor.
Buku yang menggambarkan keresahan kaum muda akan situasi negara ini merupakan kumpulan tulisan penulis yang pernah diterbitkan di media cetak lokal dan beberapa yang disampaikan pada pertemuan-pertemuan. Sementara ini buku ini ditemui di ikatan kemahasiswa daerah, komisariat HMI, dan ke depan akan disebar di toko buku di Kota Medan. (*)

Launching Buku Melawan Tirani Lokal

Mahasiswa bagian dari pemuda yang memikul tanggung jawab besar untuk mempelopori perubahan sosial. Suara dan pergerakan yang dilakukan pun sangat strategis terlebih bila diabadikan dalam bentuk buku. Seperti apa?3

INDRA JULI, Medan

Pemahaman itu muncul dalam launching buku “Melawan Tirani Lokal” di Cangkir Coffe Cafe Jalan dr Mansur Medan, Kamis (3/3). Sebagai pembicara hadir Dadang Darmawan SSos MSi, Drs Shohibul Anshor Siregar MSi dan penulis Ansor Harahap. Sebagai moderator, Arifin Saleh Siregar SSos berhasil mengarahkan pembicaraan di antaran
peserta yang terdiri dari mahasiswa dan organisasi pergerakan kemahasiswaan di Sumatera Utara itu menjadi lebih hangat.

“Saat ini kita tengah menghadapi tiga fenomena yang pelik. Yaitu hilangnya nasionalisme, disharmoni, dan distrust (ketidakpercayaan). Jadi gugatan Padang Lawas yang menjadi acuan buku ini mewakili seluruh kabupaten/kota yang ada di Indonesia saat ini,” ucap Dadang Darmawan SSos MSi.

Seperti yang disampaikan Dadang, politik lokal yang ada telah melakukan prosedural yang cacat. Di mana pemekaran daerah yang seyogianya aplikasi dari otonomi daerah hanya buah desakan elit politik dengan sudut bacaan baru dari satu daerah. Kesemuanya itu justru menjauhkan rakyat dari kesejahteraan melalui pembodohan yang dilakukan pelaku kekuasaan itu sendiri.

Prosedural yang cacat itu ditunjukkan dari usaha para birokrat dalam mempertahankan kekuasaannya dengan merebut kepemimpinan partai politik lokal. Kebutuhan akan kemenangan besar dari partai politik pun seolah membuka pintu terhadap langkah tersebut. Tak pelak, fungsi check n balances antara DPRD dan Pemda tak berjalan semestinya.

“Sayangnya gerakan-gerakan kritis saat ini mati suri karena keterbatasan sumber daya dari para aktivis muda. Apalagi mereka berhadapan dengan kekuatan politisi dan penguasa yang jauh lebih menguasai sumber daya. Pasar politik pun akhirnya menghentikan perjalanan para aktivis tadi,” papar Dosen FISIP USU dan Direktur Eksekutif Yayasan Kolektif Medan ini dalam testimoninya.

Sementara itu Drs Shohibul Anshor MSi dalam pemaparannya memberi apresiasi terhadap buku Melawan Tirani Lokal ini. Dirinya menilai meski tidak menggunakan metode ilmiah, buku tulisan Ansor Harahap merupakan ide original dari kaum muda melihat berbagai persoalan di tengah-tengah masyarakat saat ini.

“Banyak buku sejenis yang menggunakan berbagai metode ilmiah dengan tokoh-tokoh terkenal dan cost (biaya) besar. Tapi semua itu tidak menjamin kejujuran dari tujuan penulisannya. Bahkan ini sangat menyedihkan, dimana tokoh-tokoh negara ditempatkan sedemikian rendah hanya karena pengaruh dan kekuasaan yang dimiliki seseorang,” ketus Dosen Sosiologi Politik FISIP UMSU ini.

Koordinator Umum ‘nBASIS ini pun berharap agar Ansor Harahap tidak puas dengan buku perdananya ini tapi terus melahirkan buku-buku baru yang dapat menginspirasi pergerakan mahasiswa demi kesejahteraan masyarakat di daerah. “Meskipun masalah kita ini hanya menentukan apa yang paling mungkin mensejahterakan negeri ini secara lebih akseleratif. Mau unitarisme atau federalisme?” tegasnya.

Penjelasan awal kedua narasumber pun bersambut dengan peserta. Meskipun tidak banyak yang mempertanyakan keberadaan buku yang diterbitkan oleh salah satu penerbit di Yogyakarta itu.

Dalam buku Melawan Tirani Lokal, Ansor Harahap mengupas secara rinci dampak otonomi setengah hati, dari dampak otonomi daerah dewasa ini. Money politics pun bukanlah pandangan yang baru dan berdiri sendiri. Di mana seorang kandidat bupati/wali kota harus menyiapkan Rp100 miliar sampai Rp200 miliar untuk memenangkan Pilkada. Setelah terpilih maka setiap tahunnya pemenang harus menabung Rp30 miliar sampai Rp50 miliar. Illegal logging, lelang jabatan, eksplorasi alam, konsesi tanah ulayat, penyelundupan menjadi pilihan.

Buku ini juga mengangkat beberapa isu nasional yang terindikasi merupakan pembodohan yang dilakukan negara kepada rakyatnya. Seperti kasus Bank Century, Rezin Susilo Bambang Yudhoyono, dan demam anti korupsi yang ada di tengah-tengah masyarakat.

“Otonomi daerah saat ini dipahami hanya untuk eksploitasi belaka bukan untuk kesejahteraan rakyat. Sangat jauh dari tujuan otonomi daerah yang dibuat untuk mendekatkan masyarakat dengan pelayanan yang baik. Kondisi masyarakat di daerah butuh sentuhan dari mahasiswa sebagai motor perubahan,” tegas Ansor.
Buku yang menggambarkan keresahan kaum muda akan situasi negara ini merupakan kumpulan tulisan penulis yang pernah diterbitkan di media cetak lokal dan beberapa yang disampaikan pada pertemuan-pertemuan. Sementara ini buku ini ditemui di ikatan kemahasiswa daerah, komisariat HMI, dan ke depan akan disebar di toko buku di Kota Medan. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/