29 C
Medan
Sunday, February 23, 2025
spot_img

Sesulit Apakah Menantang Incumbent?

Kemenangan sementara pasangan Jokowi-Ahok atas pasangan Foke-Nara dalam Pilkada DKI Jakarta memberikan peneguhan terhadap eksistensi calon incumbent (petahana) sebagai kandidat yang bisa dikalahkan. Bahkan, meski memiliki peluang lebih besar, dia dapat dikalahkan secara telak.
DERETAN kekalahan calon incumbent dimulai sejak awal pilkada tahun 2005. Dari 211 pilkada yang diikuti oleh calon incumbent, di 87 daerah (40,95 persen) ia kalah. Data terakhir, tahun 2012 dalam Pilkada Provinsi NAD, ketika Irwandi Yusuf sebagai calon incumbent dikalahkan Zaini Abdullah.

Tak mudah mengalahkan incumbent tetapi juga bukan hal yang mustahil. Minimal ada empat syarat untuk bisa mengalahkannya. Pengamat politik lokal Wahid Abdulrahman yang dimintai pendapatnya, Kamis (3/8), mengatakan ada empat prasyarat yang harus dipenuhi seorang penantang agar mampu mengalahkan incumbent di Pilkada.

Pertama, faktor figur kandidat. Calon kepala daerah khususnya, ataupun wakil kepala daerah, merupakan figur alternatif yang memiliki daya terima (akseptabilitas), awareness, dan daya tarik lebih sebagai modal tingkat keterpilihan (elektabilitas).

‘’Popularitas bukanlah faktor utama mengingat calon incumbent pasti lebih populer. Namun faktor kalah popularitas bisa ditutup oleh akseptabilitas, awareness, dan daya tarik kuat,’’ katanya. Daya tarik itu menjadi lebih kuat bila ditopang pengalaman kepemimpinan. Terlebih bila calon memiliki derajat integritas cukup kuat.

Kedua, mesin politik, baik dari partai maupun relawan (non-partai). Untuk bisa mengalahkan incumbent, butuh mesin politik yang ekstrakuat dan efektif. ‘’Partai tidak saja sebagai pengusung namun juga harus mampu berperan sebagai mesin efektif. Demikian halnya tim relawan di luar partai, keduanya harus bersinergi,’’ dia mengingatkan.

Mesin partai memperkuat tarikan dari basis pemilih ideologis, sementara mesin dari relawan memperkuat daya tarik pemilih dari massa mengambang.
Ketiga, manajemen kampanye yang tepat. Menurut Wahid, tatap muka secara langsung dengan variasi kegiatan sosial selama ini mejadi media yang cukup efektif. Keduanya harus ditunjang oleh pola komunikasi yang baik dari kandidat dengan pemahaman terhadap perilaku pemilih dan segementasi yang tepat.
‘’Di wilayah tertentu, perilaku pemilih yang masih berpatokan pada patron-client (pemilih kurang otonom) peran tokoh masyarakat dan tokoh agama cukup sentral. Karenanya, perlu mendekati tokoh-tokoh tersebut,’’ sarannya.

Dan terakhir, menyangkut kinerja incumbent. Wahid menyebutkan, kekalahan incumbent  dalam Pilkada memiliki relasi kuat dengan kondisi kinerja Pemda. Kinerja incumbent yang sering diukur melalui indikator statistik bukanlah takaran utama yang menjadi penentu kemenangannya.

‘’Artinya, ketika calon incumbent sering menonjolkan keberhasilan melalui indikator statistik, sementara masyarakat memiliki persepsi berbeda maka di sanalah peluang besar bagi penantang untuk mengalahkannya,’’ ujar jebolan Universitas Diponegoro tersebut.

Staf pengajar USU Drs Henry Sitorus, MA yang diminta melihat ulang (review) pemikiran Wahid Abdulrahman, menyatakan, kesepahamannya atas beberapa poin. Henry mengungkapkan seringkali kinerja seorang incumbent diukur atas dasar penghargaan yang diterima dari pemerintah pusat. ‘’Ketika masyarakat tak mampu merasakan penghargaan itu secara nyata, di sanalah peluang besar bagi calon lain untuk mengalahkan. Tentunya ia harus mampu memberikan alternatif penyelesaian persoalan riil yang dihadapi masyarakat,’’ ujarnya.

Menurut Henry, figur yang kalah populer tak perlu berkecil hati bila bisa menciptakan tiga syarat pertama tersebut. Terlebih bisa menggali syarat keempat, serta persentase pemilih dari masa mengambang dan pemilih yang belum konsisten, yang masih sangat besar. ‘’Atas dasar itu bukan tidak mungkin Pilgubsu 2013 menghadirkan pemenang baru yang mampu mengalahkan incumbent,’’ katanya.

Memang, dalam banyak hal,  faktor pemilih yang belum konsisten inilah yang tekadang membuat incumbent kalah. Entah berapa kali publik dibuai oleh hasil survei yang menunjukkan tingkat elektabilitas incumbent atau calon tertentu melompat jauh lebih tinggi di atas rata-rata. Tapi, satu yang patut diingat bahwa opini pemilih merupakan sikap pada saat disurvei.

Lembaga survei biasanya tidak mengungkap apakah pemilih akan mengubah pilihannya atau tidak pada hari H. Dan, jamaknya, sulit sekali menemukan lembaga survei yang jujur membedah proses riset mereka.

Dari metode penelitian, teknik penarikan sampel, waktu penyebaran angket, hingga cara penghitungan kuantitatif yang mengawinkan variabel apa saja dalam kuesioner mereka. Yang kita temukan biasanya hasil dan hasil. Kita tersandera oleh angka-angka yang galibnya muncul secara ilmiah! (valdesz)

Kemenangan sementara pasangan Jokowi-Ahok atas pasangan Foke-Nara dalam Pilkada DKI Jakarta memberikan peneguhan terhadap eksistensi calon incumbent (petahana) sebagai kandidat yang bisa dikalahkan. Bahkan, meski memiliki peluang lebih besar, dia dapat dikalahkan secara telak.
DERETAN kekalahan calon incumbent dimulai sejak awal pilkada tahun 2005. Dari 211 pilkada yang diikuti oleh calon incumbent, di 87 daerah (40,95 persen) ia kalah. Data terakhir, tahun 2012 dalam Pilkada Provinsi NAD, ketika Irwandi Yusuf sebagai calon incumbent dikalahkan Zaini Abdullah.

Tak mudah mengalahkan incumbent tetapi juga bukan hal yang mustahil. Minimal ada empat syarat untuk bisa mengalahkannya. Pengamat politik lokal Wahid Abdulrahman yang dimintai pendapatnya, Kamis (3/8), mengatakan ada empat prasyarat yang harus dipenuhi seorang penantang agar mampu mengalahkan incumbent di Pilkada.

Pertama, faktor figur kandidat. Calon kepala daerah khususnya, ataupun wakil kepala daerah, merupakan figur alternatif yang memiliki daya terima (akseptabilitas), awareness, dan daya tarik lebih sebagai modal tingkat keterpilihan (elektabilitas).

‘’Popularitas bukanlah faktor utama mengingat calon incumbent pasti lebih populer. Namun faktor kalah popularitas bisa ditutup oleh akseptabilitas, awareness, dan daya tarik kuat,’’ katanya. Daya tarik itu menjadi lebih kuat bila ditopang pengalaman kepemimpinan. Terlebih bila calon memiliki derajat integritas cukup kuat.

Kedua, mesin politik, baik dari partai maupun relawan (non-partai). Untuk bisa mengalahkan incumbent, butuh mesin politik yang ekstrakuat dan efektif. ‘’Partai tidak saja sebagai pengusung namun juga harus mampu berperan sebagai mesin efektif. Demikian halnya tim relawan di luar partai, keduanya harus bersinergi,’’ dia mengingatkan.

Mesin partai memperkuat tarikan dari basis pemilih ideologis, sementara mesin dari relawan memperkuat daya tarik pemilih dari massa mengambang.
Ketiga, manajemen kampanye yang tepat. Menurut Wahid, tatap muka secara langsung dengan variasi kegiatan sosial selama ini mejadi media yang cukup efektif. Keduanya harus ditunjang oleh pola komunikasi yang baik dari kandidat dengan pemahaman terhadap perilaku pemilih dan segementasi yang tepat.
‘’Di wilayah tertentu, perilaku pemilih yang masih berpatokan pada patron-client (pemilih kurang otonom) peran tokoh masyarakat dan tokoh agama cukup sentral. Karenanya, perlu mendekati tokoh-tokoh tersebut,’’ sarannya.

Dan terakhir, menyangkut kinerja incumbent. Wahid menyebutkan, kekalahan incumbent  dalam Pilkada memiliki relasi kuat dengan kondisi kinerja Pemda. Kinerja incumbent yang sering diukur melalui indikator statistik bukanlah takaran utama yang menjadi penentu kemenangannya.

‘’Artinya, ketika calon incumbent sering menonjolkan keberhasilan melalui indikator statistik, sementara masyarakat memiliki persepsi berbeda maka di sanalah peluang besar bagi penantang untuk mengalahkannya,’’ ujar jebolan Universitas Diponegoro tersebut.

Staf pengajar USU Drs Henry Sitorus, MA yang diminta melihat ulang (review) pemikiran Wahid Abdulrahman, menyatakan, kesepahamannya atas beberapa poin. Henry mengungkapkan seringkali kinerja seorang incumbent diukur atas dasar penghargaan yang diterima dari pemerintah pusat. ‘’Ketika masyarakat tak mampu merasakan penghargaan itu secara nyata, di sanalah peluang besar bagi calon lain untuk mengalahkan. Tentunya ia harus mampu memberikan alternatif penyelesaian persoalan riil yang dihadapi masyarakat,’’ ujarnya.

Menurut Henry, figur yang kalah populer tak perlu berkecil hati bila bisa menciptakan tiga syarat pertama tersebut. Terlebih bisa menggali syarat keempat, serta persentase pemilih dari masa mengambang dan pemilih yang belum konsisten, yang masih sangat besar. ‘’Atas dasar itu bukan tidak mungkin Pilgubsu 2013 menghadirkan pemenang baru yang mampu mengalahkan incumbent,’’ katanya.

Memang, dalam banyak hal,  faktor pemilih yang belum konsisten inilah yang tekadang membuat incumbent kalah. Entah berapa kali publik dibuai oleh hasil survei yang menunjukkan tingkat elektabilitas incumbent atau calon tertentu melompat jauh lebih tinggi di atas rata-rata. Tapi, satu yang patut diingat bahwa opini pemilih merupakan sikap pada saat disurvei.

Lembaga survei biasanya tidak mengungkap apakah pemilih akan mengubah pilihannya atau tidak pada hari H. Dan, jamaknya, sulit sekali menemukan lembaga survei yang jujur membedah proses riset mereka.

Dari metode penelitian, teknik penarikan sampel, waktu penyebaran angket, hingga cara penghitungan kuantitatif yang mengawinkan variabel apa saja dalam kuesioner mereka. Yang kita temukan biasanya hasil dan hasil. Kita tersandera oleh angka-angka yang galibnya muncul secara ilmiah! (valdesz)

spot_img

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

spot_imgspot_imgspot_img

Artikel Terbaru

/