26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Habiskan Setengah Miliar, Merasa seperti Dukun

Tiga tahun sudah Ganda Syahputra Sirait (30) menunggu. Keinginannya hanya satu, ia ingin menjadi seorang dokter dan membanggakan kedua orangtuanya. Tapi setelah wisuda ia tetap tidak bisa melakukan praktik. Ia terkendala oleh selembar kertas yang untuk mendapatkannya ternyata sangat sulit, rumit dan terkesan seperti pembodohan.

Puput Julianti Damanik, Medan

Ganda Syahputra
Ganda Syahputra

Alumni Universitas Abulyatama (Unaya) Aceh ini merasa letih. Tak jarang ibunya, S Sihombing dan ayahnya J Sirait yang tengah berada di kampung halaman, Rantau Parapat, menanyakan kejelasan tentang pekerjaannya. “Orangtua saya nanya, ‘kok tak nampak juga pelangi ini. Kapan bisa praktik sendiri, punya pekerjaan yang jelas ? Seperti itu orangtua nanya,” ujarnya saat ditemui di kantor IDI Medan.

Suara Ganda ikut mewakili suara ribuan rekan-rekannya. Suara dokter muda yang memiliki ijazah namun tidak dapat menggunakan ijazahnya untuk bekerja.

Mereka harus kembali ikut bimbingan dengan baik untuk ikut Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) yang sangat sulit dan terkesan tidak transparan.
Dengan semangatnya, Ganda kembali bercerita kalau ia sudah 3 kali mengikuti UKDI namun sampai detik ini belum juga lulus. “Saya sudah 3 kali ikut UKDI, saya ikut mulai tahun 2010, setelah saya sudah selesai uji ijazah pada tahun 2010, tapi belum juga lulus. Saya sih sudah biasa saja karena teman-teman saya malah udah ada yang 15 kali, saya dan kawan-kawan tidak percaya sama UKDI ini. Tapi orangtua kami mana tahu tentang ini,” ujar koordinator Gerakan Reteker dari Unaya ini.

Sangat wajar apabila orangtua resah, tambah Ganda. Biaya kuliah yang sangat mahal dengan hasil yang tidak nampak, maka akan menjadi pertanyaan besar bagi orangtua siapa saja. Apakah anaknya benar-benar kuliah atau anaknya hanya main-main dan berpura-pura kuliah. “Uang kuliah kedokteran itu hampir Rp 500 juta, bayangkan saja uang segitu, orangtua mana yang tidak resah kalau sudah mengeluarkan uang banyak tapi anaknya tidak jadi apa-apa,” katanya.

Tambah Ganda, untuk masalah UKDI, kenapa banyak dokter muda yang sering tidak lulus atau jumlah reteker meningkat adalah karena sistem yang diberlakukan UKDI tidak jelas dan tidak transparan ditambah lagi dengan sikap fakultas yang menggunakan kesempatan untuk kepentingan sendiri.
“Soal-soal di UKDI itu sebenarnya tidak sulit dan tidak gampang. Tapi jawabannya yang benar kita tidak tahu yang mana. Tidak ada jawabannya yang jelas, tidak transparan. Informasi yang kami dapat, soal-soalnya yang buat itu orang-orang struktural, bukan orang yang praktik. Kita juga gak pernah tahu bagaimana sistem penilaiannya hasil UKDI ini,” katanya.

Tambah Ganda, sebelum mengikuti UKDI, dokter diwajibkan mengikuti bimbingan yang uang pendaftarannya sangat mahal. “Sebelum ikut UKDI, kita itu diwajibkan ikut bimbingan. Dulu ‘gak begini, mungkin karena dianggap kalau jumlah reteker semakin meningkat. Tapi kalau niatnya untuk membantu, kenapa biaya bimbingannya sangat mahal sekali. Dulu Rp300 ribu, naik jadi Rp500 ribu,” katanya.

Tambahnya, karena ketidakjelasan sistem UKDI ini, akhirnya ia harus menunggu bertahun-tahun untuk meneruskan pendidikannya untuk mengambil spesialis paru. “Saya sekarang sudah bekerja di RS Swasta di Medan, tapi apalah yang bisa saya lakukan tanpa STR. Saya hanya bisa mengobati aja, itupun bukan seperti dokter, tapi terkesan seperti tabib atau dukun. Yah, karena kami tidak bunya Surat Register. Kami belum bisa praktik, padahal ilmu untuk itu sudah kami pelajari semua dan kami sudah dianggap layak. Kalau begini, ilmunya juga bisa ngilang,” katanya.

Untuk itu, lanjut Ganda, ia berharap agar UKDI dengan 200 soal yang diadakan 4 kali dalam setahun tersebut dapat dihapuskan. Atau dapat saja diteruskan namun harus transparan, seperti apa cara penilaiannya. Karena kalau begini terus sama saja dengan pembodohan,” katanya.

Ganda juga menceritakan, bila banyak rekannya yang putus asa dan akhirnya kembali ke kampung halaman dan melakukan usaha atau sebagian ada yang menganggur. “Kasiankan, ada teman yang sampai 16 kali. Akhirnya optimis dan pulang kampung. Mau gimana lagi. Daripada bekerja tapi terasa seperti dukun,” katanya.

Sebelumnya, melalui Pengurus Besar (PB) IDI mencatat dari 2.500 retaker di Indonesia, sekitar  818 orang berasal dari kota Medan. Hal ini diungkapkan PB IDI, Zaenal Abidin. Dikatakannya, pihaknya sedang berusaha memperpendek jalur birokrasi dan administrasi dokter. Sehingga, dokter-dokter lulusan tahun 2013 harus mengikuti exit exam (ujian akhir yang sekaligus sebagai uji kompetensi).

Untuk itu, lanjutnya, PB IDI memutuskan untuk membekukan Komite Bersama (KB) UKDI. Dan uji kompetensi dilakukan kepada dokter muda sebelum di wisuda. Keputusan ini sudah berjalan sejak 1 Februari 2013 lalu.

“Karenanya, kepada sekitar 2500 retaker di Indonesia, kita mungkin akan memberikan modul. Kita akan memberikan bimbingan pengarahan serta modul untuk dibaca dan dijawab sebelum di uji lagi. Untuk dokter yang lulus uji kompetensi ini, nantinya bisa mendapatkan STR dan tetap merasa bangga jadi dokter,” ujarnya.

Pelaksanaan exit exam ini, tambahnya, akan digelar oleh masing-masing universitas dengan pengawasan IDI. Diharapkan dengan pemberlakuan exit exam ini, semua dokter yang diwisuda dapat langsung mengabdikan dirinya untuk melayani kesehatan masyarakat.

Sementara itu, Ketua IDI Cabang Medan Ramlan Sitompul mengungkapkan masalah retaker merupakan masalah pertama yang akan diselesaikannya dalam kepengurusannya di tahun pertama ini. “Saya baru terpilih, dan untuk mengawali tugas retaker menjadi focus utama,” tuturnya.
Tambah Ramlan, masalah reteker adalah masalah yang serius dan harus segera diselesaikan. Untuk itu, direncanakan IDI akan membimbing para retaker untuk mengikuti uji kompetensi.

“Meski UKDI tidak ada lagi, namun mereka harus mengikuti uji kompetensi, dan dalam melaksanakan ini, kita akan membimbing mereka,” ucarnya. (*)

Tiga tahun sudah Ganda Syahputra Sirait (30) menunggu. Keinginannya hanya satu, ia ingin menjadi seorang dokter dan membanggakan kedua orangtuanya. Tapi setelah wisuda ia tetap tidak bisa melakukan praktik. Ia terkendala oleh selembar kertas yang untuk mendapatkannya ternyata sangat sulit, rumit dan terkesan seperti pembodohan.

Puput Julianti Damanik, Medan

Ganda Syahputra
Ganda Syahputra

Alumni Universitas Abulyatama (Unaya) Aceh ini merasa letih. Tak jarang ibunya, S Sihombing dan ayahnya J Sirait yang tengah berada di kampung halaman, Rantau Parapat, menanyakan kejelasan tentang pekerjaannya. “Orangtua saya nanya, ‘kok tak nampak juga pelangi ini. Kapan bisa praktik sendiri, punya pekerjaan yang jelas ? Seperti itu orangtua nanya,” ujarnya saat ditemui di kantor IDI Medan.

Suara Ganda ikut mewakili suara ribuan rekan-rekannya. Suara dokter muda yang memiliki ijazah namun tidak dapat menggunakan ijazahnya untuk bekerja.

Mereka harus kembali ikut bimbingan dengan baik untuk ikut Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) yang sangat sulit dan terkesan tidak transparan.
Dengan semangatnya, Ganda kembali bercerita kalau ia sudah 3 kali mengikuti UKDI namun sampai detik ini belum juga lulus. “Saya sudah 3 kali ikut UKDI, saya ikut mulai tahun 2010, setelah saya sudah selesai uji ijazah pada tahun 2010, tapi belum juga lulus. Saya sih sudah biasa saja karena teman-teman saya malah udah ada yang 15 kali, saya dan kawan-kawan tidak percaya sama UKDI ini. Tapi orangtua kami mana tahu tentang ini,” ujar koordinator Gerakan Reteker dari Unaya ini.

Sangat wajar apabila orangtua resah, tambah Ganda. Biaya kuliah yang sangat mahal dengan hasil yang tidak nampak, maka akan menjadi pertanyaan besar bagi orangtua siapa saja. Apakah anaknya benar-benar kuliah atau anaknya hanya main-main dan berpura-pura kuliah. “Uang kuliah kedokteran itu hampir Rp 500 juta, bayangkan saja uang segitu, orangtua mana yang tidak resah kalau sudah mengeluarkan uang banyak tapi anaknya tidak jadi apa-apa,” katanya.

Tambah Ganda, untuk masalah UKDI, kenapa banyak dokter muda yang sering tidak lulus atau jumlah reteker meningkat adalah karena sistem yang diberlakukan UKDI tidak jelas dan tidak transparan ditambah lagi dengan sikap fakultas yang menggunakan kesempatan untuk kepentingan sendiri.
“Soal-soal di UKDI itu sebenarnya tidak sulit dan tidak gampang. Tapi jawabannya yang benar kita tidak tahu yang mana. Tidak ada jawabannya yang jelas, tidak transparan. Informasi yang kami dapat, soal-soalnya yang buat itu orang-orang struktural, bukan orang yang praktik. Kita juga gak pernah tahu bagaimana sistem penilaiannya hasil UKDI ini,” katanya.

Tambah Ganda, sebelum mengikuti UKDI, dokter diwajibkan mengikuti bimbingan yang uang pendaftarannya sangat mahal. “Sebelum ikut UKDI, kita itu diwajibkan ikut bimbingan. Dulu ‘gak begini, mungkin karena dianggap kalau jumlah reteker semakin meningkat. Tapi kalau niatnya untuk membantu, kenapa biaya bimbingannya sangat mahal sekali. Dulu Rp300 ribu, naik jadi Rp500 ribu,” katanya.

Tambahnya, karena ketidakjelasan sistem UKDI ini, akhirnya ia harus menunggu bertahun-tahun untuk meneruskan pendidikannya untuk mengambil spesialis paru. “Saya sekarang sudah bekerja di RS Swasta di Medan, tapi apalah yang bisa saya lakukan tanpa STR. Saya hanya bisa mengobati aja, itupun bukan seperti dokter, tapi terkesan seperti tabib atau dukun. Yah, karena kami tidak bunya Surat Register. Kami belum bisa praktik, padahal ilmu untuk itu sudah kami pelajari semua dan kami sudah dianggap layak. Kalau begini, ilmunya juga bisa ngilang,” katanya.

Untuk itu, lanjut Ganda, ia berharap agar UKDI dengan 200 soal yang diadakan 4 kali dalam setahun tersebut dapat dihapuskan. Atau dapat saja diteruskan namun harus transparan, seperti apa cara penilaiannya. Karena kalau begini terus sama saja dengan pembodohan,” katanya.

Ganda juga menceritakan, bila banyak rekannya yang putus asa dan akhirnya kembali ke kampung halaman dan melakukan usaha atau sebagian ada yang menganggur. “Kasiankan, ada teman yang sampai 16 kali. Akhirnya optimis dan pulang kampung. Mau gimana lagi. Daripada bekerja tapi terasa seperti dukun,” katanya.

Sebelumnya, melalui Pengurus Besar (PB) IDI mencatat dari 2.500 retaker di Indonesia, sekitar  818 orang berasal dari kota Medan. Hal ini diungkapkan PB IDI, Zaenal Abidin. Dikatakannya, pihaknya sedang berusaha memperpendek jalur birokrasi dan administrasi dokter. Sehingga, dokter-dokter lulusan tahun 2013 harus mengikuti exit exam (ujian akhir yang sekaligus sebagai uji kompetensi).

Untuk itu, lanjutnya, PB IDI memutuskan untuk membekukan Komite Bersama (KB) UKDI. Dan uji kompetensi dilakukan kepada dokter muda sebelum di wisuda. Keputusan ini sudah berjalan sejak 1 Februari 2013 lalu.

“Karenanya, kepada sekitar 2500 retaker di Indonesia, kita mungkin akan memberikan modul. Kita akan memberikan bimbingan pengarahan serta modul untuk dibaca dan dijawab sebelum di uji lagi. Untuk dokter yang lulus uji kompetensi ini, nantinya bisa mendapatkan STR dan tetap merasa bangga jadi dokter,” ujarnya.

Pelaksanaan exit exam ini, tambahnya, akan digelar oleh masing-masing universitas dengan pengawasan IDI. Diharapkan dengan pemberlakuan exit exam ini, semua dokter yang diwisuda dapat langsung mengabdikan dirinya untuk melayani kesehatan masyarakat.

Sementara itu, Ketua IDI Cabang Medan Ramlan Sitompul mengungkapkan masalah retaker merupakan masalah pertama yang akan diselesaikannya dalam kepengurusannya di tahun pertama ini. “Saya baru terpilih, dan untuk mengawali tugas retaker menjadi focus utama,” tuturnya.
Tambah Ramlan, masalah reteker adalah masalah yang serius dan harus segera diselesaikan. Untuk itu, direncanakan IDI akan membimbing para retaker untuk mengikuti uji kompetensi.

“Meski UKDI tidak ada lagi, namun mereka harus mengikuti uji kompetensi, dan dalam melaksanakan ini, kita akan membimbing mereka,” ucarnya. (*)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/