MEDAN- Seorang pengusaha Kelapa Sawit, Boy Hermansyah warga Kota Medan keberatan atas penetapan dirinya sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengucuran kredit sebesar Rp129 miliar bersama empat pejabat BNI 46 di Jalan Pemuda Medan. Penetapan status dari Kejaksaan Tinggi Sumatera (Kejatisu) tidak berdasar.
Demikian disampaikan kuasa hukum Boy Hermansyah, Ramli SH Sabtu (3/12). Menurut dia, penetapan status tersangka kasus korupsi oleh Kejatisu masih sangat kabur, karena tidak jelas di mananya Boy Hermansyah korupsi.
“Padahl si Boy ini hanya pemohon kredit. Bila permohonannya dikabulkan, tentu karena bank merasa kliennya sudah memenuhi syarat dan ketentuan,” ucapnya.
Lebih lanjut, dia juga protes penyitaan aset pabrik kelapa sawit (PKS) di atas lahan seluas 9 hektar, selain 3.455 hektar di Aceh Tamiang milik Boy Hermansyah oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu). Dia menilai Kejatisu menyalahi prosedur hukum.
“PKS yang disita adalah jaminan pendamping agunan kredit Rp129 miliar di Bank BNI 46 Jalan Pemuda Medan, mengapa disita,” keluhnya.
Ramli menilai ada kekeliruan persepsi hukum dilakukan penyidik, Boy Hermansyah adalah pemohon kredit. “Apalagi bila diteliti harga agunan jauh melebihi nilai kredit,” katanya.
Dia menyebutkan, sebagai kreditur Boy Hermansyah tetap melakukan pembayaran wajib cicilan piutang setiap bulan dengan nilai Rp1,4 miliar. “Makanya kami protes, walaupun cicilannya hutangnya dibayar tetap dijadikan tersangka oleh penyidik, ada apa ini dan apa landasan hukumnya,” ucapnya.
Di bagian lain, bebernya terkait pengajuan kredit, Boy Hermansyah mengatas namakan PT Atakana, selaku pemegang kuasa khusus yang diberikan para pemegang saham dalam rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPS-LB).
Untuk itu, dia berharapo pihak Kejaksaan dan kepolisian memberikan aspirasi hukum yang benar dan jelas, berdasarkan fakta dan bukti hukum tutupnya. (azw)