26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Korupsi dan Lemahnya Perencanaan Bikin Anggaran Pusat Minim ke Medan

MEDAN, SUMUTPOS.CO — Pemerintah kabupaten/kota tak terkecuali Medan, harus mampu menyelaraskan program daerah dengan program pemerintah pusat. Ini menjadi jaminan agar penyerapan dana alokasi khusus (DAK) terbuka lebar.

Sudah menjadi perbincangan publik, keterlambatan kemajuan Kota Medan diantaranya terjadi akibat kekurangan dana untuk membangun proyek strategis. Misalnya, infrastruktur pencegah banjir di kawasan Medan Bagian Utara dan pusat kota tentunya.

Mengandalkan APBD Kota Medan tentu saja tak cukup. Maka, salah satu harapan bantuan dana adalah dari DAK yang digelontorkan pemerintah pusat.

“Kalau DAU (Dana Alokasi Umum) itu sudah ada rumusannya seperti jumlah penduduk, jumlah PNS, luas wilayah dan lainnya. Karena umumnya DAU itu untuk membayar belanja operasional pemerintah daerah. Sedangkan DAK diberikan berdasarkan tujuan khusus, misalnya pembangunan infrastruktur pendukung, penugasan, daerah pinggiran dan tertinggal,” terang Pakar Ekonomi asal Universitas Sumatera Utara (USU), Wahyu Pratomo Sabtu (5/12/2020).

Kata Wahyu, DAK biasanya bersaing antardaerah tergantung dari tujuan pembangunan nasional. Kalau daerah itu tidak sinkron perencanaanannya dengan pusat maka tidak ada celah untuk mendapatkan DAK.

“Selain itu mana yang lebih mendesak untuk diberikan karena ada kompetisi antardaerah serta pertimbangan khusus. Jika proposalnya disiapkan dengan bagus dan lengkap akan berpeluang untuk mendapatkannya,” lanjut Wahyu.

Integritas kepemimpinan dan faktor kepercayaan tentu saja jadi indikator yang memuluskan pencairan DAK. Sayang sekali pemerintahan sebelumnya tak punya legetimasi untuk menyedot anggaran dari pusat. Hal itu diperparah dengan korupsi yang merajalela di Pemko Medan.

“Di samping itu walaupun tidak tertulis, kinerja tata kelola pemerintahan secara tepat dan bertanggungjawab dapat menjadi faktor stimulus pencairan DAK,” imbuhnya.

Kemudian ada celah lain untuk menyerap dana bantuan dari pemerintah pusat. Namanya dana insentif daerah (DID).

“Bagi daerah yang memiliki SAKIP atau Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah akan dapat insentif. Daerah yang masih di bawah B, ya sulit mendapatkan DID. Dan, Medan SAKIP-nya di bawah B,” ungkap Wahyu.

Dengan reputasi Pemko Medan yang buruk ini, bukan tak mungkin pembangunan yang telah dicanangkan akan dibatalkan akibat ketidakpercayaan pusat.

Apalagi saat ini dan ke depan pemerintah pusat sudah merancang pembangunan sistem transportasi massal seperti LRT dan BRT.

Skema belanjanya dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta badan usaha yang dikenal dengan istilah KPBU atau Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha.

“Kalau daerah tidak menyiapkan anggaran pendamping bisa jadi pemerintah pusat membatalkan rencana pembangunan sistem transportasi massal di Medan. Alasannya daerah tidak sanggup,” katanya.

Karenanya publik mengharapkan wali Kota Medan ke depan harus dapat menyiapkan anggaran untuk pendampingan proyek yang bermanfaat untuk masyarakat.

Seluruh pemaparan ekonom tersebut agaknya bisa dilaksanakan dengan baik jika Pemko Medan kelak dipimpin wali kota muda yang punya akses luas ke pemerintah pusat.

Adalah Bobby Nasution, pasangan calon nomor urut 2 yang notabene menantu Presiden Jokowi. Program yang dicanangkan Bobby Nasution selalu dikatakannya harus berkolaborasi dengan pusat, juga kabupaten kota lainnya.

“Jadi pemimpin harus sampai ke atas dan cecah ke bawah. Di tingkat pusat didengar di masyarakat pun didengar. Insya Allah saya bertekad maju untuk wujudkan hal itu. Semua demi keberkahan masyarakat Medan,” kata Bobby. (rel)

MEDAN, SUMUTPOS.CO — Pemerintah kabupaten/kota tak terkecuali Medan, harus mampu menyelaraskan program daerah dengan program pemerintah pusat. Ini menjadi jaminan agar penyerapan dana alokasi khusus (DAK) terbuka lebar.

Sudah menjadi perbincangan publik, keterlambatan kemajuan Kota Medan diantaranya terjadi akibat kekurangan dana untuk membangun proyek strategis. Misalnya, infrastruktur pencegah banjir di kawasan Medan Bagian Utara dan pusat kota tentunya.

Mengandalkan APBD Kota Medan tentu saja tak cukup. Maka, salah satu harapan bantuan dana adalah dari DAK yang digelontorkan pemerintah pusat.

“Kalau DAU (Dana Alokasi Umum) itu sudah ada rumusannya seperti jumlah penduduk, jumlah PNS, luas wilayah dan lainnya. Karena umumnya DAU itu untuk membayar belanja operasional pemerintah daerah. Sedangkan DAK diberikan berdasarkan tujuan khusus, misalnya pembangunan infrastruktur pendukung, penugasan, daerah pinggiran dan tertinggal,” terang Pakar Ekonomi asal Universitas Sumatera Utara (USU), Wahyu Pratomo Sabtu (5/12/2020).

Kata Wahyu, DAK biasanya bersaing antardaerah tergantung dari tujuan pembangunan nasional. Kalau daerah itu tidak sinkron perencanaanannya dengan pusat maka tidak ada celah untuk mendapatkan DAK.

“Selain itu mana yang lebih mendesak untuk diberikan karena ada kompetisi antardaerah serta pertimbangan khusus. Jika proposalnya disiapkan dengan bagus dan lengkap akan berpeluang untuk mendapatkannya,” lanjut Wahyu.

Integritas kepemimpinan dan faktor kepercayaan tentu saja jadi indikator yang memuluskan pencairan DAK. Sayang sekali pemerintahan sebelumnya tak punya legetimasi untuk menyedot anggaran dari pusat. Hal itu diperparah dengan korupsi yang merajalela di Pemko Medan.

“Di samping itu walaupun tidak tertulis, kinerja tata kelola pemerintahan secara tepat dan bertanggungjawab dapat menjadi faktor stimulus pencairan DAK,” imbuhnya.

Kemudian ada celah lain untuk menyerap dana bantuan dari pemerintah pusat. Namanya dana insentif daerah (DID).

“Bagi daerah yang memiliki SAKIP atau Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah akan dapat insentif. Daerah yang masih di bawah B, ya sulit mendapatkan DID. Dan, Medan SAKIP-nya di bawah B,” ungkap Wahyu.

Dengan reputasi Pemko Medan yang buruk ini, bukan tak mungkin pembangunan yang telah dicanangkan akan dibatalkan akibat ketidakpercayaan pusat.

Apalagi saat ini dan ke depan pemerintah pusat sudah merancang pembangunan sistem transportasi massal seperti LRT dan BRT.

Skema belanjanya dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta badan usaha yang dikenal dengan istilah KPBU atau Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha.

“Kalau daerah tidak menyiapkan anggaran pendamping bisa jadi pemerintah pusat membatalkan rencana pembangunan sistem transportasi massal di Medan. Alasannya daerah tidak sanggup,” katanya.

Karenanya publik mengharapkan wali Kota Medan ke depan harus dapat menyiapkan anggaran untuk pendampingan proyek yang bermanfaat untuk masyarakat.

Seluruh pemaparan ekonom tersebut agaknya bisa dilaksanakan dengan baik jika Pemko Medan kelak dipimpin wali kota muda yang punya akses luas ke pemerintah pusat.

Adalah Bobby Nasution, pasangan calon nomor urut 2 yang notabene menantu Presiden Jokowi. Program yang dicanangkan Bobby Nasution selalu dikatakannya harus berkolaborasi dengan pusat, juga kabupaten kota lainnya.

“Jadi pemimpin harus sampai ke atas dan cecah ke bawah. Di tingkat pusat didengar di masyarakat pun didengar. Insya Allah saya bertekad maju untuk wujudkan hal itu. Semua demi keberkahan masyarakat Medan,” kata Bobby. (rel)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/