28.9 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Jangan Berniat Maju Pilgubsu

Kandidat Modal Cekak Harus Sadar Diri  

JAKARTA – Politisi senior asal Sumut, Abdul Wahab Dalimunthe, menyarankan agar para tokoh berkantong cekak tidak usah ikut maju sebagai calon gubernur atau wakil gubernur di pilgub Sumut 2013 mendatang.

Pasalnya, menurut Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR dari Fraksi Partai Demokrat itu, jika dana hanya cekak, maka yang bersangkutan bakal keteteran. “Istilahnya, yang tanggung-tanggung tak usahlah,” ujar Abdul Wahab Dalimunthe kepada Sumut Pos di Jakarta, kemarin (5/6).

Dikatakan, jika seorang kandidat hanya punya modal Rp2 miliar hingga Rp3 miliar, itu tergolong dana cekak. Mantan politisi Partai Golkar ini menyebut, seorang kandidat paling tidak harus menyiapkan puluhan miliar. “Bahkan mendekati ratusan (miliar, Red),” imbuhnya.
Pria yang juga maju di pilgub 2008 itu mengatakan, pengeluaran terbesar calon antara lain untuk penggalangan massa, baik untuk transportasi, ataupun ‘oleh-oleh’.

Saking besarnya dana yang harus dikeluarkan, Wahab mengingatkan para kandidat agar siap mental jika nantinya tidak mendapatkan perahu pencalonan. Sudah menghambur-hamburkan uang, tapi gagal menjadi calon karena tak ada partai yang mengusungnya. Dia menyebut ada tiga syarat sebagai kandidat. “Dia harus siap mental, siap otak, dan siap kantong juga,” imbuhnya.
Soal membanjirnya bakal calon dibanding Pilgubsu 2008 silam, Wahab menilainya sebagai sesuatu yang menggembirakan.

“Itu pertanda bagus, banyak yang mau,” ucapnya.
Khusus para kandidat yang berkiprah di Jakarta dan turun gunung ikut maju di Pilgubsu 2013, Wahab menyarankan mereka untuk kerja keras  menyosialisasikan diri. “Harus kerja keras, setidaknya orang-orang di kecamatan jangan ada yang tak kenal. Cukup di (kota) kecamatan dulu lah, tak usah sampai desa-desa,” sarannya.

Sarannya lagi, bagi yang bukan berlatar belakang politisi dan berkantong cekak agar hati-hati mengeluarkan dana. Dijelaskan, masyarakat Sumut sekarang sudah beda, sudah makin cerdas.  Uang  kandidat diterima, namun pilihan bisa lain berdasarkan pertimbangan individu. “Ada lima yang datang, diterima (uangnya) lima-limanya. Di bilik suara lain pula dipilih” ujarnya.

Menanggapi hal itu, Peneliti Politik dari Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), Ridho Imawan Hanafi, mengakui besarnya biaya di Pilkada membuat banyak kepala daerah yang berperilaku koruptor selama lima tahun jabatannya. Perilaku ini juga belum didukung adanya UU yang mengatur mekanisme yang bisa mencegah kepala daerah tidak melakukan tindak pidana korupsi. Absennya mekanisme pencegah tersebut dapat menjadi ruang terbuka bagi kepala daerah untuk melakukan penyelewengan dan korupsi.

‘’Apalagi dengan ongkos politik yang mahal, korupsi kepala daerah kian menjadi,’’ katanya. Ridho mencatat, pada periode 2004-2012, ada 173 kepala daerah menjalani pemeriksaan dengan status sebagai saksi, tersangka, dan terdakwa. Dari jumlah itu, sekitar 70 persen sudah menjadi terpidana. ‘’Fakta itu membuat miris. Pelaksanaan demokrasi yang diharapkan mengubah keadaan lebih baik justru menjadi lahan subur keculasan,’’ ucapnya.

Ridho berpendapat ada beberapa hal yang mendorong kian masifnya korupsi kepala daerah. Hal yang patut digarisbawahi adalah mahalnya biaya politik.  Seorang calon kepala daerah dihadapkan pada ongkos pencalonan yang tidak ringan karena berhadapan dengan mekanisme pemilihan langsung. ‘’Pemilihan langsung ini membuat praktik politik uang menjadi rumus short cut untuk mendulang suara. Belum lagi seorang calon harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk menjemput kendaraan politiknya,’’ pungkas Ridho. (sam/val)

Kandidat Modal Cekak Harus Sadar Diri  

JAKARTA – Politisi senior asal Sumut, Abdul Wahab Dalimunthe, menyarankan agar para tokoh berkantong cekak tidak usah ikut maju sebagai calon gubernur atau wakil gubernur di pilgub Sumut 2013 mendatang.

Pasalnya, menurut Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR dari Fraksi Partai Demokrat itu, jika dana hanya cekak, maka yang bersangkutan bakal keteteran. “Istilahnya, yang tanggung-tanggung tak usahlah,” ujar Abdul Wahab Dalimunthe kepada Sumut Pos di Jakarta, kemarin (5/6).

Dikatakan, jika seorang kandidat hanya punya modal Rp2 miliar hingga Rp3 miliar, itu tergolong dana cekak. Mantan politisi Partai Golkar ini menyebut, seorang kandidat paling tidak harus menyiapkan puluhan miliar. “Bahkan mendekati ratusan (miliar, Red),” imbuhnya.
Pria yang juga maju di pilgub 2008 itu mengatakan, pengeluaran terbesar calon antara lain untuk penggalangan massa, baik untuk transportasi, ataupun ‘oleh-oleh’.

Saking besarnya dana yang harus dikeluarkan, Wahab mengingatkan para kandidat agar siap mental jika nantinya tidak mendapatkan perahu pencalonan. Sudah menghambur-hamburkan uang, tapi gagal menjadi calon karena tak ada partai yang mengusungnya. Dia menyebut ada tiga syarat sebagai kandidat. “Dia harus siap mental, siap otak, dan siap kantong juga,” imbuhnya.
Soal membanjirnya bakal calon dibanding Pilgubsu 2008 silam, Wahab menilainya sebagai sesuatu yang menggembirakan.

“Itu pertanda bagus, banyak yang mau,” ucapnya.
Khusus para kandidat yang berkiprah di Jakarta dan turun gunung ikut maju di Pilgubsu 2013, Wahab menyarankan mereka untuk kerja keras  menyosialisasikan diri. “Harus kerja keras, setidaknya orang-orang di kecamatan jangan ada yang tak kenal. Cukup di (kota) kecamatan dulu lah, tak usah sampai desa-desa,” sarannya.

Sarannya lagi, bagi yang bukan berlatar belakang politisi dan berkantong cekak agar hati-hati mengeluarkan dana. Dijelaskan, masyarakat Sumut sekarang sudah beda, sudah makin cerdas.  Uang  kandidat diterima, namun pilihan bisa lain berdasarkan pertimbangan individu. “Ada lima yang datang, diterima (uangnya) lima-limanya. Di bilik suara lain pula dipilih” ujarnya.

Menanggapi hal itu, Peneliti Politik dari Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), Ridho Imawan Hanafi, mengakui besarnya biaya di Pilkada membuat banyak kepala daerah yang berperilaku koruptor selama lima tahun jabatannya. Perilaku ini juga belum didukung adanya UU yang mengatur mekanisme yang bisa mencegah kepala daerah tidak melakukan tindak pidana korupsi. Absennya mekanisme pencegah tersebut dapat menjadi ruang terbuka bagi kepala daerah untuk melakukan penyelewengan dan korupsi.

‘’Apalagi dengan ongkos politik yang mahal, korupsi kepala daerah kian menjadi,’’ katanya. Ridho mencatat, pada periode 2004-2012, ada 173 kepala daerah menjalani pemeriksaan dengan status sebagai saksi, tersangka, dan terdakwa. Dari jumlah itu, sekitar 70 persen sudah menjadi terpidana. ‘’Fakta itu membuat miris. Pelaksanaan demokrasi yang diharapkan mengubah keadaan lebih baik justru menjadi lahan subur keculasan,’’ ucapnya.

Ridho berpendapat ada beberapa hal yang mendorong kian masifnya korupsi kepala daerah. Hal yang patut digarisbawahi adalah mahalnya biaya politik.  Seorang calon kepala daerah dihadapkan pada ongkos pencalonan yang tidak ringan karena berhadapan dengan mekanisme pemilihan langsung. ‘’Pemilihan langsung ini membuat praktik politik uang menjadi rumus short cut untuk mendulang suara. Belum lagi seorang calon harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk menjemput kendaraan politiknya,’’ pungkas Ridho. (sam/val)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/