25 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Sarma : Ini Bukan Soal Angka

Sarma Hutajulu
Sarma Hutajulu

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara (Sumut) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Sarma Hutajulu yang beberapa waktu lalu memprotes adanya pungutan liar yang dilakukan oleh sekretariat DPRD Sumut, kini jutsru harus menghadapi berbagai kritikan, yang justru datang dari rekan-rekannya sendiri. Tak hanya kritik, dirinya pun mengaku sempat dimarahi oleh beberapa rekan-rekannya karena menyampaikan masalah pungli tadi ke media.

Seperti diuraikannya bahwa kritikan tadi diterima setelah dia dan salah seorang rekannya Effendi Panjaitan menyampaikan kepada para wartawan bahwa telah terjadi pemotongan honor oleh sekretariat DPRD Sumut terhadap sejumlah anggota dewan. “Saya mendapat teguran dari rekan-rekan karena menyampaikan hal itu kepada media sehingga masyarakat mengetahui apa yang terjadi di DPRD Sumut,” ujar Sarma, Minggu (5/10).

Menurutnya, ketika dirinya mengungkapkan adanya pemotongan honor tadi bukan didasari oleh besarnya honor yang diterima ataupun honor yang dipotong. Tapi, menurut Sarma seharusnya pemotongan honor tadi dilakukan dengan tanda terima sehingga bias diketahui kemana alokasi dana yang bersumber dari pemotongan honor tersebut. Hal itu penting, karena saat ini kinerja aggota legislative sedang menjadi sorotan masyarakat.

“Seharusnya sebelum melakukan pemotongan pihak secretariat DPRD Sumut terlebih dahulu meminta persetujuan dari anggota dewan. Kita ingin membangun birokrasi yang transparan. Sebab jika itu tak bisa dilakukan maka akan memperburuk citra seluruh anggota dewan,” bilang Sarma.

Atas dasar itu, Sarma pun merasa keberatan atas sikap anggota dewan yang terkesan membiarkan terjadinya pungli di secretariat DPRD Sumut. Tak hanya itu, Sarma pun menduga jika pungli oleg secretariat DPRD Sumut tadi telah berlangsung dari periode-periode sebelumnya. “Iya. Saya melihatnya seperti itu. Bagaimanapun juga honor itu adalah hak anggota dewan,” tandasnya.

“Kalu selama ini sudah terjadi (pungli), hendakanya di periode kali ini, hal itu  jangan terjadi lagi. Kita harus memperbaiki system birokrasi, administrasi dan keuangan. Apalagi, seharusnya tugas secretariat itu kan mendukung kinerja anggota dewan,” tambahnya lagi.

Saat ditanya, apakah hanya dirinya dan Effendi Panjaitan saja yang keberatan dengan adanya pungli tadi, Sarma mengatakan bahwa banyak juga rekan-rekannya yang lainnya yang keberatan, namun mereka merasa sungkan untuk mengungkapkannya.  “Siapa sih yang nggak keberatan jika honornnya dipotong sebesar Rp2,5 juta dengan alasan untuk mengurus surat keputusan (SK) pelantikan anggota dewan. Makanya, sebelum kutipan-kutipan lain yang tak jelas untuk apa, saya pikir ada baiknya hal ini dibeberkan, sehingga ke depan masalah yang sama tak terjadi lagi,” harap Sarma.

Ketika hal ini ditanyakan kepada anggota dewan yang lainnya, Tigor Lumbantoruan dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tak menampiknya. Hanya saja, Tigor mengatakan bahwa pemotongan itu merupakan bentuk dukungan dan tanggung jawab kepada partai yang telah membesarkannya.

“Memang, honor kita dipotong beberapa persen untuk kemajuan partai. Sebagai kader yang baik, tentu saja saya tak keberatan akan hal itu. Jadi, kalau yang disebut pungli dengan alasan untuk pembuatan SK pelantikan, saya belum mengetahuinya, karena saya belum mengambil honor saya,” bilangnya.

Di tempat terpisah, pengamat transparansi anggaran Elfenda Ananda mengatakan bahwa seharusnya para anggota dewan bisa mempertanyakan setiap potongan yang dikenakan di luar pajak resmi. Sebab, masih menurutnya, jika hal itu dibiarkan, maka bukan tak mungkin pada bulan-bulan berikutnya hal yang sama terjadi lagi.

Selanjutnya Elfenda mengatakan bahwa pungli yang terjadi di secretariat DPRD Sumut ini merupakan preseden buruk. Pasalnya, meskipun yang dipungli adalah honor para anggota dewan, namun hal itu bisa berdampak luas terhadap kinerja anggota dewan. “Jika pungli yanga ada di depan mata saja, mereka (anggota DPRD Sumut, Red) tak mampu mengahpusnya, apalagi pungli yang terjadi di dinas-dinas,” tandasnya.

Tak hanya itu, Elfanda juga mengkritisi pembayaran honor yang dilakukan secara tunai di lingkungan Sekretariat DPRD Sumut. Padahal Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) sudah mengimbau agar model pembayaran yang sudah sah dan bersifat rutin dilakukan via transfer antar rekening. “Nah, jika hal itu dilakukan, maka akan gampang untuk mencatat dan menelusuri dengan baik dari mana sumber keuangan yang masuk. Dengan kata lain, hal ini bisa meminimalisir terjadinya pungli di secretariat DPRD Sumut,” tuntasnya. (bal/ije)

Sarma Hutajulu
Sarma Hutajulu

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara (Sumut) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Sarma Hutajulu yang beberapa waktu lalu memprotes adanya pungutan liar yang dilakukan oleh sekretariat DPRD Sumut, kini jutsru harus menghadapi berbagai kritikan, yang justru datang dari rekan-rekannya sendiri. Tak hanya kritik, dirinya pun mengaku sempat dimarahi oleh beberapa rekan-rekannya karena menyampaikan masalah pungli tadi ke media.

Seperti diuraikannya bahwa kritikan tadi diterima setelah dia dan salah seorang rekannya Effendi Panjaitan menyampaikan kepada para wartawan bahwa telah terjadi pemotongan honor oleh sekretariat DPRD Sumut terhadap sejumlah anggota dewan. “Saya mendapat teguran dari rekan-rekan karena menyampaikan hal itu kepada media sehingga masyarakat mengetahui apa yang terjadi di DPRD Sumut,” ujar Sarma, Minggu (5/10).

Menurutnya, ketika dirinya mengungkapkan adanya pemotongan honor tadi bukan didasari oleh besarnya honor yang diterima ataupun honor yang dipotong. Tapi, menurut Sarma seharusnya pemotongan honor tadi dilakukan dengan tanda terima sehingga bias diketahui kemana alokasi dana yang bersumber dari pemotongan honor tersebut. Hal itu penting, karena saat ini kinerja aggota legislative sedang menjadi sorotan masyarakat.

“Seharusnya sebelum melakukan pemotongan pihak secretariat DPRD Sumut terlebih dahulu meminta persetujuan dari anggota dewan. Kita ingin membangun birokrasi yang transparan. Sebab jika itu tak bisa dilakukan maka akan memperburuk citra seluruh anggota dewan,” bilang Sarma.

Atas dasar itu, Sarma pun merasa keberatan atas sikap anggota dewan yang terkesan membiarkan terjadinya pungli di secretariat DPRD Sumut. Tak hanya itu, Sarma pun menduga jika pungli oleg secretariat DPRD Sumut tadi telah berlangsung dari periode-periode sebelumnya. “Iya. Saya melihatnya seperti itu. Bagaimanapun juga honor itu adalah hak anggota dewan,” tandasnya.

“Kalu selama ini sudah terjadi (pungli), hendakanya di periode kali ini, hal itu  jangan terjadi lagi. Kita harus memperbaiki system birokrasi, administrasi dan keuangan. Apalagi, seharusnya tugas secretariat itu kan mendukung kinerja anggota dewan,” tambahnya lagi.

Saat ditanya, apakah hanya dirinya dan Effendi Panjaitan saja yang keberatan dengan adanya pungli tadi, Sarma mengatakan bahwa banyak juga rekan-rekannya yang lainnya yang keberatan, namun mereka merasa sungkan untuk mengungkapkannya.  “Siapa sih yang nggak keberatan jika honornnya dipotong sebesar Rp2,5 juta dengan alasan untuk mengurus surat keputusan (SK) pelantikan anggota dewan. Makanya, sebelum kutipan-kutipan lain yang tak jelas untuk apa, saya pikir ada baiknya hal ini dibeberkan, sehingga ke depan masalah yang sama tak terjadi lagi,” harap Sarma.

Ketika hal ini ditanyakan kepada anggota dewan yang lainnya, Tigor Lumbantoruan dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tak menampiknya. Hanya saja, Tigor mengatakan bahwa pemotongan itu merupakan bentuk dukungan dan tanggung jawab kepada partai yang telah membesarkannya.

“Memang, honor kita dipotong beberapa persen untuk kemajuan partai. Sebagai kader yang baik, tentu saja saya tak keberatan akan hal itu. Jadi, kalau yang disebut pungli dengan alasan untuk pembuatan SK pelantikan, saya belum mengetahuinya, karena saya belum mengambil honor saya,” bilangnya.

Di tempat terpisah, pengamat transparansi anggaran Elfenda Ananda mengatakan bahwa seharusnya para anggota dewan bisa mempertanyakan setiap potongan yang dikenakan di luar pajak resmi. Sebab, masih menurutnya, jika hal itu dibiarkan, maka bukan tak mungkin pada bulan-bulan berikutnya hal yang sama terjadi lagi.

Selanjutnya Elfenda mengatakan bahwa pungli yang terjadi di secretariat DPRD Sumut ini merupakan preseden buruk. Pasalnya, meskipun yang dipungli adalah honor para anggota dewan, namun hal itu bisa berdampak luas terhadap kinerja anggota dewan. “Jika pungli yanga ada di depan mata saja, mereka (anggota DPRD Sumut, Red) tak mampu mengahpusnya, apalagi pungli yang terjadi di dinas-dinas,” tandasnya.

Tak hanya itu, Elfanda juga mengkritisi pembayaran honor yang dilakukan secara tunai di lingkungan Sekretariat DPRD Sumut. Padahal Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) sudah mengimbau agar model pembayaran yang sudah sah dan bersifat rutin dilakukan via transfer antar rekening. “Nah, jika hal itu dilakukan, maka akan gampang untuk mencatat dan menelusuri dengan baik dari mana sumber keuangan yang masuk. Dengan kata lain, hal ini bisa meminimalisir terjadinya pungli di secretariat DPRD Sumut,” tuntasnya. (bal/ije)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/