31 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Bazar Permainan dan Makanan Zaman Dulu

Permainan era tahun 80-an seperti yoyo, gasing, etek-etek palu, etek-etek gerdang, bekel siput, kapal toek-toek, balon tiup, ludo, monopoli, congklak, serta makanan seperti telur cicak, kue gum, permen ting-ting jahe, permen rokok, permen texas, permen pedas atau duplex, kue dollar, cokelat ayam dan harum manis, sudah jarang dijumpai.

Tapi, Diah (55), warga Jalan Suluk Pancing bersama temannya, Yuni mencoba kembali mengembangkan usaha itu dengan nama Cemal Cemil di Jalan Darussalam Medan.

“Permainan-permainan seperti ini sudah tidak ada lagi sekarang ini. Bagi saya kondisi seperti itu memprihatinkan karena anak-anak sekarang hanya tahu gadget yang memberikan dampak negatif bagi cara bersosialisasi dengan teman-temannya,” kata Diah kepada Sumut Pos saat disambangi di bazarnya, kemarin Keduanya berharap masih ada mainan tradisional asal negara ini yang dikenal dan dimainkan oleh anak-anak Indonesia khususnya di kota besar.

“Untuk memperoleh seluruh alat mainan dan makanan tersebut, kami mendatangkan dari daerah Jawa karena tidak ada pengrajin asal daerah ini yang memproduksi mainan dan makanan seperti itu,” ucapnya.
Dia mengenang masa kecilnya lebih banyak dihabiskan dengan bermain di luar rumah bersama teman-teman atau kalau berada di rumah, dia bermain bersama anggota keluarganya yang lain seperti permainan congklak atau monopoli.

Jadi seluruh permainan yang dimainkan itu secara bersama-sama sehingga tercipta kebersamaan dan dia lebih terbuka dengan lingkungan dan teman-teman sekitarnya.
“Selain itu juga mengajarkan strategi baik secara kelompok atau individu. Hal itu yang membuatnya kembali ingin mengenalkan permainan zaman dulu kepada anak-anak sekarang,” ujarnya.

Ketidaktahuan anak-anak khususnya era tahun 90-an dan 2000-an terhadap seluruh permainan dan makanan tersebut, menurut dia, terlihat saat dia menggelar bazar pada salah satu sekolah dasar (SD) di Kota Medan. Umumnya, siswa SD di sekolah itu tidak mengetahui nama-nama permainan dan makanan tersebut.

Hanya orangtua siswa yang mengetahui dan akhirnya membelikan untuk si anak sebagai upaya mengenalkan kembali permainan dan makanan pada eranya. “Akhirnya orangtuanya yang membelikan untuk anaknya. Mungkin ingin bernostalgia juga orangtuanya,” ucapnya.

Selama mengikuti bazar dan pameran, pada umumnya pengunjung antusias. Pengunjung seakan bernostalgia kembali dengan era 80-an. Untuk mainan, banyak juga yang bermain sebentar dengan alat-alat mainan tersebut sedangkan makanannya tidak sedikit membelinya langsung karena rindu dengan rasa makanan itu.

Seperti sekarang ini, dia sedang mengikuti bazar di lantai dasar Palladium. Di sini, stan miliknya tidak hanya didatangi oleh pengunjung mal tetapi juga tamu hotel yang terletak bersebelahan dengan pusat perbelanjaan tersebut.

“Ada pengunjung dari Malaysia yang sedang berbelanja ke mal dan melihat seluruh permainan dan makanan. Mereka antusias dan terkesan dengan seluruh permainan dan makanan asli Indonesia itu dan akhirnya membeli sebagai oleh-oleh,” katanya.

Seluruh permainan dan makanan tersebut dijual dengan harga yang sangat terjangkau mulai dari Rp3.000 hingga Rp65.000. Jadi jika dibandingkan dengan memori atau nostalgia yang bisa diperoleh atau dikenang kembali, tentu harga segitu tidak sebanding.

“Kami akan terus mengikuti berbagai bazar, pameran atau lainnya untuk mengenalkan kembali berbagai permainan dan makanan zaman dulu ini,” pungkasnya.(adl)

Permainan era tahun 80-an seperti yoyo, gasing, etek-etek palu, etek-etek gerdang, bekel siput, kapal toek-toek, balon tiup, ludo, monopoli, congklak, serta makanan seperti telur cicak, kue gum, permen ting-ting jahe, permen rokok, permen texas, permen pedas atau duplex, kue dollar, cokelat ayam dan harum manis, sudah jarang dijumpai.

Tapi, Diah (55), warga Jalan Suluk Pancing bersama temannya, Yuni mencoba kembali mengembangkan usaha itu dengan nama Cemal Cemil di Jalan Darussalam Medan.

“Permainan-permainan seperti ini sudah tidak ada lagi sekarang ini. Bagi saya kondisi seperti itu memprihatinkan karena anak-anak sekarang hanya tahu gadget yang memberikan dampak negatif bagi cara bersosialisasi dengan teman-temannya,” kata Diah kepada Sumut Pos saat disambangi di bazarnya, kemarin Keduanya berharap masih ada mainan tradisional asal negara ini yang dikenal dan dimainkan oleh anak-anak Indonesia khususnya di kota besar.

“Untuk memperoleh seluruh alat mainan dan makanan tersebut, kami mendatangkan dari daerah Jawa karena tidak ada pengrajin asal daerah ini yang memproduksi mainan dan makanan seperti itu,” ucapnya.
Dia mengenang masa kecilnya lebih banyak dihabiskan dengan bermain di luar rumah bersama teman-teman atau kalau berada di rumah, dia bermain bersama anggota keluarganya yang lain seperti permainan congklak atau monopoli.

Jadi seluruh permainan yang dimainkan itu secara bersama-sama sehingga tercipta kebersamaan dan dia lebih terbuka dengan lingkungan dan teman-teman sekitarnya.
“Selain itu juga mengajarkan strategi baik secara kelompok atau individu. Hal itu yang membuatnya kembali ingin mengenalkan permainan zaman dulu kepada anak-anak sekarang,” ujarnya.

Ketidaktahuan anak-anak khususnya era tahun 90-an dan 2000-an terhadap seluruh permainan dan makanan tersebut, menurut dia, terlihat saat dia menggelar bazar pada salah satu sekolah dasar (SD) di Kota Medan. Umumnya, siswa SD di sekolah itu tidak mengetahui nama-nama permainan dan makanan tersebut.

Hanya orangtua siswa yang mengetahui dan akhirnya membelikan untuk si anak sebagai upaya mengenalkan kembali permainan dan makanan pada eranya. “Akhirnya orangtuanya yang membelikan untuk anaknya. Mungkin ingin bernostalgia juga orangtuanya,” ucapnya.

Selama mengikuti bazar dan pameran, pada umumnya pengunjung antusias. Pengunjung seakan bernostalgia kembali dengan era 80-an. Untuk mainan, banyak juga yang bermain sebentar dengan alat-alat mainan tersebut sedangkan makanannya tidak sedikit membelinya langsung karena rindu dengan rasa makanan itu.

Seperti sekarang ini, dia sedang mengikuti bazar di lantai dasar Palladium. Di sini, stan miliknya tidak hanya didatangi oleh pengunjung mal tetapi juga tamu hotel yang terletak bersebelahan dengan pusat perbelanjaan tersebut.

“Ada pengunjung dari Malaysia yang sedang berbelanja ke mal dan melihat seluruh permainan dan makanan. Mereka antusias dan terkesan dengan seluruh permainan dan makanan asli Indonesia itu dan akhirnya membeli sebagai oleh-oleh,” katanya.

Seluruh permainan dan makanan tersebut dijual dengan harga yang sangat terjangkau mulai dari Rp3.000 hingga Rp65.000. Jadi jika dibandingkan dengan memori atau nostalgia yang bisa diperoleh atau dikenang kembali, tentu harga segitu tidak sebanding.

“Kami akan terus mengikuti berbagai bazar, pameran atau lainnya untuk mengenalkan kembali berbagai permainan dan makanan zaman dulu ini,” pungkasnya.(adl)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/