Wacana Lokasi Judi dan Seks di Danau Toba
MEDAN- Wacana mengembangkan kawasan perjudi dan wisata seks di sekitar Danau Toba, terus memantik beragam pendapat. Diantaranya dari pelaku industri wisata di sekitar danau vulkanik itu serta pengamat pariwisata.
GM Niagara Hotel, Cahyo Pramono, melihat persoalan infrastruktur pendukung kawasan wisata Danau Toba sebagai faktor penghambat utama untuk menarik minat kunjungan wisatawan.
“Mau yang namanya lokalisasi judi dan seks dibuat di Danau Toba, jika infrastruktur jalan menuju kawasan pariwisata tidak baik, hasilnya tetap biasa-biasa saja, tidak ada kemajuan secara signifikan,” kata Cahyo Pramono kepada Sumut Pos, Sabtu (7/4).
Ditegaskannya, bila infrastruktur jalan sudah baik, wisatawan bisa cepat menjangkau Danau Toba. Otomatis akan ada peningkatan jumlah pengunjung.
“Bisa dilihat kemarin (Kamis, 5 April, Red). Ada batang pohon patah di Jalinsum tepatnya Serdang Bedagai saja, sudah sangat mengganggu. Teman-teman yang baru pulang dari Danau Toba berangkan pukul 20.00 WIB, tapi tiba di Kota Medan keesokan harinya pukul 06.00 WIB. Inilah faktanya,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, jarak Medan-Danau Toba hanya sekitar 174 Km. Sedangkan jarak antara Penang dan Kualalumpur sekitar 400 Km. Tapi dari Penang ke Kualalumpur bisa ditempuh dalam waktu empat jam.
“Bayangkan (pengaruh baiknya) kalau wisatawan ke Danau Toba yang jaraknya tempuhnya dari Medan relatif dekat jika dibandingkan Penang-Kualalumpur, wisatawan bisa sampai dalam waktu 2 jam dengan catatan jalan normal,” ucapnya.
Pengamat Pariwisata, Jhonson Pardosi menegaskan ada tiga konsep yang sangat baik untuk diadopsi dalam pengembangan industri wisata. Pertama, some thing to do (beberapa hal yang dilakukan), some thing to see (beberapa hal yang dilihat) dan some thing to buy (beberapa hal yang dibeli).
Berkaitan dengan some thing to do, tidak semestinya mengarah kepada seks dan judi. Masih banyak hal yang bisa dikembangkan dengan mengeksplorasi prilaku budaya Batak yang sangat kaya.
“Tidak mesti seks dan judi untuk mengangkat (industri wisata) Danau Toba, pariwisata budaya sudah sangat luar biasa. Selama ini suku Batak sangat kental dengan budayanya, itu menjadi satu nilai jual tinggi,” paparnya.
Dia berpendapat, ada pertimbangan lain yang perlu dipertimbangkan pihak yang ingin menyediakan judi dan sek di sekitar danau itu. Pertama, belum ada payung hukumnya di Indonesia. Kemudian, bagi suku Batak, seks bebas itu tabu. Sehingga, judi dan seks bisa membuat ketersinggungan antara pengelola dan masyarakat lokal.
Lebih lanjut, dia menyebutkan, di Bali ada dua konsep pengelolaan pariwisata, high tourism dan mess tourism. Khusus untuk high tourism berada di Nusa Dua, Bali. Di kawasan itu wisatawan yang memiliki finansial besar baru masuk. Sedangkan wisatawan tak bersinggungan dengan masyarakat lokal. Kemudian, di Kute, ada pengelolaan pariwisata mess tourism, artinya masyarakat langsung bersinggungan.
“Bila di Danau Toba dibuat high tourism, akan ada ketersinggungan masyarakat lokal. Pasalnya, masyarakat setempat merasa tak dihargai. Prihal tersebut sulit diterima masyarakat Danau Toba,” katanya.
Dia pun menegaskan, saat ini yang terpenting adalah membangunan infrastruktur fisik seperti jalan, dan non fisik seperti menyiapkan mental dan karakter masyarakat setempat untuk melayani para wisatawan.
Ia mengatakan, dari sudut pandang akademik, ada beberapa hal yang membuat Danau Toba sulit maju. Diantaranya, belum jelasnya visi dan misi tujuh kabupaten yang ada di sekitar Danau Toba.
Selama ini sudah memiliki konsep, hanya saja tidak lahir dari konteks yang sifatnya kedaerahan itu sendiri. Ada kecendrungan dipengaruhi konsultan, yang membuat rencana induk pariwisata berasal dari daerah lain. Pada akhirnya konsep hanya dijadikan payung hukum, dampaknya seperti usaha yang tidak memiliki ruh, artinya tak hidup dalam masyarakat lokal.
Kemudian, paparnya tidak adanya komitmen dari Kepala Daerah (KDH) di sekitar kawasan Danau Toba, khususnya dalam membuat komitmen yang sinergis antar kebijakan tujuh kabupaten di sekitar Danau Toba. Padahal dalam perencanaan tidak ada satu kota berdiri sendiri, setiap daerah harus memiliki kaitan dengan satu daerah tujuan wisata, serta punya hubungan erat dengan lainnya.
“Paling penting adalah prilaku, belum ada pemahaman yang baik dari sisi pelayanan kepariwisataan. Masyarakat masih belajar secara otodidak, belum ada secara melembaga yang mengubah prilaku bagaimana pelayanan kepawisataan yang sesuai prosedural, sehingga pelayanan cenderung mengarah ke satu hal yakni menarik keuntungan besar,” katanya. (ril)