27 C
Medan
Sunday, January 19, 2025

Satu Sel dengan Pembunuh, Menangis Semalam Suntuk

Raja Anita, Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Dana Bansos

“Saya sakit hati. Saya ini hanya staf sontoloyo saja. Kenapa bisa terkena imbasnya? Sementara mereka yang benar-benar korupsi tidak ditahan. Saya dijadikan kambing hitam. Karena mereka tidak berani menahan orang yang harusnya bertanggungjawab penuh di sini.”

Farida Noris Ritonga, Medan

DITAHAN: Raja Anita (tengah) saat digiring sebelum ditahan, beberapa hari lalu.//triadi wibowo/sumut pos
DITAHAN: Raja Anita (tengah) saat digiring sebelum ditahan, beberapa hari lalu.//triadi wibowo/sumut pos

Pernyataan itu mengalir dari mulut Raja Anita tersangka dugaan korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) Tahun Anggaran (TA) 2010 saat ditemui Sumut Pos di Lapas Wanita Tanjung Gusta Medan, Sabtu (7/10). Dengan memakai baju tahanan berwarna merah, Raja Anita seakan tak mampu menyembunyikan kekecewaannya. Sesaat dirinya terdiam, lalu pandangannya menerawang ke arah pintu luar ruang tunggu lapas.

“Saya benar-benar sakit hati,” ucapnya kembali.

Setelah resmi ditahan pada Kamis (4/10) lalu oleh Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu), Raja Anita yang merupakan mantan Staf Biro Keuangan Sekda Pemprovsu TA 2010 ini ditempatkan di Blok Penali bersama 30 tahanan wanita lainnya. Sejak itu, hari-hari wanita berambut ikal inipun berubah drastis. Sel tahanan menjadi rumah barunya.

“Satu sel itu ada sebanyak 30 orang. Dengan masuknya saya berarti ada 31 orang di dalam. Kata mereka ini untuk sementara saja setelah saya dipindah ke blok masing-masing. Di dalam sel itu, bermacam-macam tahanan yang ada, mulai dari kasus pembunuhan dan narkotika,” ujarnya lagi.

Pada hari perdana penahananya, Anita mengaku shock berat. Malam itu pun dijalaninya dengan rasa frustrasi dan hanya bisa menangis sembari duduk disamping jeruji besi. “Sejak dijebloskan ke dalam bui, saya terus menangis. Saya tak bisa tidur dan terus berpikir. Tahanan lain hanya melototin saya. Sampai pukul 05.00 WIB saya duduk di samping jeruji besi sambil menangis,” urainya lagi.

Anita yang didampingi penasehat hukumnya, Makmur Hasugian, menambahkan sejak ditahan, keluarga dan beberapa temannya juga telah menjenguknya. “Sebenarnya saya malu. Apalagi saat teman-teman kantor yang datang. Biasanya saya pakai baju dinas ini sekarang pakai baju tahanan. Malu sekali aku Dek,” ungkapnya lagi.

Sesaat Anita terdiam. Dirinya berusaha mengingat kembali saat pertama kali menginjakkan kaki ke Kejatisu setelah ditetapkan sebagai Dafta Pencarian Orang (DPO). Perasaan campur aduk, seketika berubah menjadi paranoid. “Saat datang ke Kejatisu didampingi pengacara, saya ketakutan. Campur aduklah. Entah kenapa feeling saya pasti ditahan. Siapa yang tidak takut ke Kejati. Saya wanita, takut sekali saya ditahan,” ujarnya.

Dari penuturan Anita pula diketahui, pada saat pemeriksaan di Kejatisu, dirinya menolak untuk menandatangani surat penahanan yang diajukan oleh jaksa penyidik. Bahkan hal yang sama juga dilakukan penasihat hukumnya, Makmur Hasugian, dengan tidak menandatangani surat penahanan itu. Anita pun mengaku dibawa paksa ke mobil tahanan saat pengacaranya sedang mengajukan berada di ruang Kajatisu Noor Rochmad untuk mengajukan surat penangguhan penahanan. “Saya tidak ada meneken surat penahanan itu. Mereka bilang, apapun ceritanya saya harus tanda tangan. Mereka juga mengatakan bahwa mau bagaimana pun hari itu saya harus ditahan dan akan dibantu menyembunyikan diri dari serbuan wartawan,” ucap Anita.
Bahkan, saat itu di dalam ruang penyidik hampir seluruh staf Kejatisu membujuknya untuk menandatangani surat penahanan tersebut. Namun lagi-lagi ia menolak. “Saya terus dibujuk untuk menandatangani surat penahanan itu. Saat saya dibawa keluar ruangan menuju mobil tahanan, rasanya seperti teroris atau Agelina Sondakh saja,” jelasnya.

Disinggung lebih jauh terkait dugaan korupsi yang dilakukannya, dengan cara pemotongan 30-60 persen dari 17 yayasan, Anita langsung diam sejenak. Beberapa saat kemudian sembari tertawa kecil, wanita beranak empat ini mengaku tidak melakukan hal tersebut. “Kalau istilah pemotongan dipakai maka jelas itu tidak benar. Sebab sebagai staf biasa, pencairan dana bukan saya yang melakukan. Sekali lagi saya jelaskan, saya ini hanya staf biasa. Mana ada saya melakukan pemotongan dana. Saya juga heran, kenapa yang benar-benar melakukan korupsi seperti Sakhira Zandi dan Bangun Oloan tidak ditahan. Sementara satu tersangka lainnya itu Ummi Kalsum yang kata penyidik tidak ditahan karena hamil, di penjara ini banyak yang hamil,” ujar Anita kembali.
Bahkan dana sebesar Rp255 juta dari hasil pemotongan 17 yayasan yang dituduhkan penyidik juga disangkalnya. “Tidak ada itu. Tidak ada istilah uang terima kasih. Uang perkawanan saya pikir itu biasa. Kenapa saya dituduh yang macam-macam. Tolonglah informasi diberitakan secara jelas. Bahkan rumah yang saya tempati sekarang ini katanya hasil korupsi. Padahal, rumah itu peninggalan suami pertama saya yang bekerja sebagai pemborong atau rekanan,” lanjut Anita.

Namun, Anita tidak ingin membeberkan lebih jauh siapa sebenarnya yang berperan dalam kasus korupsi Bansos Pemprovsu itu. Dengan mengalihkan pembicaraan, Anita kembali menyinggung dua tersangka Bansos yakni Sakhira Zandi dan Bangun Oloan yang tidak kunjung ditahan. “Bos-bos itu yang memang korupsi sampai sekarang tidak ditahan,” katanya singkat.

Terkait pelariannya selama dua bulan, Raja Anita berkali-kali menyangkalnya. “Selama itu saya hanya di rumah orangtua saya. Nggak ada itu dibilang saya ke luar negeri. Paspor saja saya tak punya. Saya terus pantau perkembangan kasus bansos. Bahkan nama saya sering disebut-sebut di berbagai media. Kejam kali kalian wartawan ya. Kalian tulis entah apa-apa saja aku ini. Manalah mungkin aku ke luar negeri sementara uangku tak banyak. Aku tetap di Medan kok. Janganlah seperti itu,” beber Anita mengakhiri pembicaraan. (*)

Raja Anita, Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Dana Bansos

“Saya sakit hati. Saya ini hanya staf sontoloyo saja. Kenapa bisa terkena imbasnya? Sementara mereka yang benar-benar korupsi tidak ditahan. Saya dijadikan kambing hitam. Karena mereka tidak berani menahan orang yang harusnya bertanggungjawab penuh di sini.”

Farida Noris Ritonga, Medan

DITAHAN: Raja Anita (tengah) saat digiring sebelum ditahan, beberapa hari lalu.//triadi wibowo/sumut pos
DITAHAN: Raja Anita (tengah) saat digiring sebelum ditahan, beberapa hari lalu.//triadi wibowo/sumut pos

Pernyataan itu mengalir dari mulut Raja Anita tersangka dugaan korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) Tahun Anggaran (TA) 2010 saat ditemui Sumut Pos di Lapas Wanita Tanjung Gusta Medan, Sabtu (7/10). Dengan memakai baju tahanan berwarna merah, Raja Anita seakan tak mampu menyembunyikan kekecewaannya. Sesaat dirinya terdiam, lalu pandangannya menerawang ke arah pintu luar ruang tunggu lapas.

“Saya benar-benar sakit hati,” ucapnya kembali.

Setelah resmi ditahan pada Kamis (4/10) lalu oleh Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu), Raja Anita yang merupakan mantan Staf Biro Keuangan Sekda Pemprovsu TA 2010 ini ditempatkan di Blok Penali bersama 30 tahanan wanita lainnya. Sejak itu, hari-hari wanita berambut ikal inipun berubah drastis. Sel tahanan menjadi rumah barunya.

“Satu sel itu ada sebanyak 30 orang. Dengan masuknya saya berarti ada 31 orang di dalam. Kata mereka ini untuk sementara saja setelah saya dipindah ke blok masing-masing. Di dalam sel itu, bermacam-macam tahanan yang ada, mulai dari kasus pembunuhan dan narkotika,” ujarnya lagi.

Pada hari perdana penahananya, Anita mengaku shock berat. Malam itu pun dijalaninya dengan rasa frustrasi dan hanya bisa menangis sembari duduk disamping jeruji besi. “Sejak dijebloskan ke dalam bui, saya terus menangis. Saya tak bisa tidur dan terus berpikir. Tahanan lain hanya melototin saya. Sampai pukul 05.00 WIB saya duduk di samping jeruji besi sambil menangis,” urainya lagi.

Anita yang didampingi penasehat hukumnya, Makmur Hasugian, menambahkan sejak ditahan, keluarga dan beberapa temannya juga telah menjenguknya. “Sebenarnya saya malu. Apalagi saat teman-teman kantor yang datang. Biasanya saya pakai baju dinas ini sekarang pakai baju tahanan. Malu sekali aku Dek,” ungkapnya lagi.

Sesaat Anita terdiam. Dirinya berusaha mengingat kembali saat pertama kali menginjakkan kaki ke Kejatisu setelah ditetapkan sebagai Dafta Pencarian Orang (DPO). Perasaan campur aduk, seketika berubah menjadi paranoid. “Saat datang ke Kejatisu didampingi pengacara, saya ketakutan. Campur aduklah. Entah kenapa feeling saya pasti ditahan. Siapa yang tidak takut ke Kejati. Saya wanita, takut sekali saya ditahan,” ujarnya.

Dari penuturan Anita pula diketahui, pada saat pemeriksaan di Kejatisu, dirinya menolak untuk menandatangani surat penahanan yang diajukan oleh jaksa penyidik. Bahkan hal yang sama juga dilakukan penasihat hukumnya, Makmur Hasugian, dengan tidak menandatangani surat penahanan itu. Anita pun mengaku dibawa paksa ke mobil tahanan saat pengacaranya sedang mengajukan berada di ruang Kajatisu Noor Rochmad untuk mengajukan surat penangguhan penahanan. “Saya tidak ada meneken surat penahanan itu. Mereka bilang, apapun ceritanya saya harus tanda tangan. Mereka juga mengatakan bahwa mau bagaimana pun hari itu saya harus ditahan dan akan dibantu menyembunyikan diri dari serbuan wartawan,” ucap Anita.
Bahkan, saat itu di dalam ruang penyidik hampir seluruh staf Kejatisu membujuknya untuk menandatangani surat penahanan tersebut. Namun lagi-lagi ia menolak. “Saya terus dibujuk untuk menandatangani surat penahanan itu. Saat saya dibawa keluar ruangan menuju mobil tahanan, rasanya seperti teroris atau Agelina Sondakh saja,” jelasnya.

Disinggung lebih jauh terkait dugaan korupsi yang dilakukannya, dengan cara pemotongan 30-60 persen dari 17 yayasan, Anita langsung diam sejenak. Beberapa saat kemudian sembari tertawa kecil, wanita beranak empat ini mengaku tidak melakukan hal tersebut. “Kalau istilah pemotongan dipakai maka jelas itu tidak benar. Sebab sebagai staf biasa, pencairan dana bukan saya yang melakukan. Sekali lagi saya jelaskan, saya ini hanya staf biasa. Mana ada saya melakukan pemotongan dana. Saya juga heran, kenapa yang benar-benar melakukan korupsi seperti Sakhira Zandi dan Bangun Oloan tidak ditahan. Sementara satu tersangka lainnya itu Ummi Kalsum yang kata penyidik tidak ditahan karena hamil, di penjara ini banyak yang hamil,” ujar Anita kembali.
Bahkan dana sebesar Rp255 juta dari hasil pemotongan 17 yayasan yang dituduhkan penyidik juga disangkalnya. “Tidak ada itu. Tidak ada istilah uang terima kasih. Uang perkawanan saya pikir itu biasa. Kenapa saya dituduh yang macam-macam. Tolonglah informasi diberitakan secara jelas. Bahkan rumah yang saya tempati sekarang ini katanya hasil korupsi. Padahal, rumah itu peninggalan suami pertama saya yang bekerja sebagai pemborong atau rekanan,” lanjut Anita.

Namun, Anita tidak ingin membeberkan lebih jauh siapa sebenarnya yang berperan dalam kasus korupsi Bansos Pemprovsu itu. Dengan mengalihkan pembicaraan, Anita kembali menyinggung dua tersangka Bansos yakni Sakhira Zandi dan Bangun Oloan yang tidak kunjung ditahan. “Bos-bos itu yang memang korupsi sampai sekarang tidak ditahan,” katanya singkat.

Terkait pelariannya selama dua bulan, Raja Anita berkali-kali menyangkalnya. “Selama itu saya hanya di rumah orangtua saya. Nggak ada itu dibilang saya ke luar negeri. Paspor saja saya tak punya. Saya terus pantau perkembangan kasus bansos. Bahkan nama saya sering disebut-sebut di berbagai media. Kejam kali kalian wartawan ya. Kalian tulis entah apa-apa saja aku ini. Manalah mungkin aku ke luar negeri sementara uangku tak banyak. Aku tetap di Medan kok. Janganlah seperti itu,” beber Anita mengakhiri pembicaraan. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/