25 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Buruh Gelar Demo Tolak Omnibus Law, Wagubsu: Investor Enggan, Pakerja Rugi

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Wakil Gubernur Sumatera Utara (Wagubsu) Musa Rajekshah meminta masyarakat tidak terprovokasi hoax terkait pengesahan Omnibus Law (Undang-Undang) Cipta Kerja. Dia berharap, masyarakat lebih dewasa dalam menanggapi hal-hal yang belum tentu kebenarannya. Karena jika situasi tidak kondusif, investor akan enggan masuk dan pekerja akan rugi karena sulit mendapat kerja.

WAWANCARA: Wagubsu Musa Rajekshah memberi keterangan kepada wartawan usai rapat dengan Forkopimda di Rumah Dinas Gubsu, Rabu (7/10).
WAWANCARA: Wagubsu Musa Rajekshah memberi keterangan kepada wartawan usai rapat dengan Forkopimda di Rumah Dinas Gubsu, Rabu (7/10).

Diketahui, pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja oleh DPR RI pada Senin (5/10) lalu, telah memicu berbagai penolakan dengan melakukan demo yang melibatkan banyak massa dan berakhir ricuh. Musa Rajekshah tidak ingin hal tersebut terjadi di Sumut, terutama di masa pandemi Covid-19. Menurutnya, bila terjadi hal-hal yang tidak dinginkan, kerugian ada di masyarakat Sumut sendiri.

“Ada isu-isu berkembang di masyarakat yang belum tentu kebenarannya, terutama isu ketidakberpihakan pemerintah kepada pekerja. Saya harapkan kepada para buruh dan pekerja yang ada di Sumut untuk tenang dulu, melihat perkembangan UU ini seperti apa penerapannya dan tidak termakan isu-isu menyesatkan dan merugikan kita,” kata Wagubsu yang akrab disapa Ijeck ini, usai rapat dengan Forkopimda di Rumah Dinas Gubernur Sumut, Rabu (7/10).

Menurutnya, salah satu dampak buruk akibat kondisi keamanan yang tidak kondusif adalah enggannya investor untuk menanamkan modal di Sumut. Padahal, UU Cipta Kerja salah satu tujuannya adalah untuk menarik investor ke Indonesia, sehingga bisa membuka lapangan kerja seluas-luasnya.

“Pekerja juga akan mendapat kerugian (bila situasi tidak kondusif), kesulitan lapangan kerja karena investor enggan masuk ke Indonesia atau Sumut. Undang-undang ini diciptakan salah satunya adalah agar investor lebih yakin untuk masuk ke Indonesia, termasuk Sumut,” terangnya.

Dia kembali mengimbau seluruh masyarakat Sumut agar waspada dan tidak terprovokasi pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil kesempatan di tengah situasi seperti saat ini. “Saat ini kita di tengah pandemi Covid-19 yang mempengaruhi semua aspek termasuk ekonomi. Janganlah di tengah situasi seperti ini terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan,” ungkapnya.

12 Informasi Hoax

Plt Kepala Dinas Ketenagakerjaan Sumut Harianto Butarbutar menyatakan, sedikitnya ada 12 hoax atau informasi bohong yang sedang berkembang di masyarakat terkait Omnibus Law Cipta Kerja yang baru saja disahkan DPR RI. Yaitu hilangnya pesangon, dihapusnya upah minimum, upah dihitung perjam, hak cuti hilang dan tidak ada kompensasi, outsourching berlaku seumur hidup, tidak ada status karyawan tetap, perusahaan bisa mem-PHK kapan saja secara sepihak, jaminan sosial dan kesejahteraan hilang, semua karyawan berstatus tenaga kerja harian, tenaga kerja asing bebas masuk, buruh dilarang protes (ancaman PHK), libur Hari Raya hanya tanggal merah dan tidak ada penambahan.

“Dibilang pesangon tidak ada, upah diturunkan, inikan sudah tidak benar. Tidak ada satu pun dari 12 poin itu yang benar. Memang setiap ada UU baru tentu ada yang berubah dan nantinya UU ini diturunkan ke peraturan pemerintah yang mengatur secara teknis dan detail. Jadi bersabar saja, jangan pula ikut-ikutkan memanaskan suasana, padahal tidak tahu isi dari Omnibus Law itu sendiri,” katanya.

Dijelaskan dia, sesungguhnya pesangon tetap dibayar maksimal 25 kali gaji dengan skema pembayaran 19 kali oleh perusahaan, enam kali oleh pemerintah. Masalah pesangon ini diatur pada Pasal 156 UU Cipta Kerja. Begitu juga dengan Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/kota (UMSK). Pasal 88C ayat 1 UU Cipta Kerja tertulis gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan pasal dua menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.

Begitu juga dengan isu upah dihitung perjam, padahal di UU Cipta Kerja tetap menggunakan upah minimum. Dan mengenai hilangnya hak cuti, pada pasal 79 ayat (5) menyebutkan perusahaan dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja sama. Sedangkan UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur cuti panjang diberikan satu bulan pada tahun ke-7 dan 1 bulan pada tahun ke-8. “Jadi sekali lagi kami tegaskan, bahwa informasi hoaks tentang Omnibus Law Cipta Kerja yang berkembang di masyarakat itu sama sekali tidak benar,” tegasnya.

Harianto juga menyampaikan, demonstrasi yang diprediksi akan terjadi pada hari ini dikhawatirkan ditumpangi oleh kepentingan lain. Massa yang menumpang ini diprediksi sebagai pemicu terjadinya hal-hal anarkis. Karena itu Harianto berharap para pekerja untuk tidak turun ke jalan menuntut pembatalan UU dimaksud. “Bertambah dewasalah kita menyikapi hal tertentu, jangan ikut-ikutan. Tidak pernah pemerintah ini mengorbankan para pekerjanya, malah menyempurnakan dengan peraturan-peraturan yang baru karena dinamisnya masalah teknologi industri pada saat ini,” pungkasnya.

Rapat diikuti Sekdaprovsu R Sabrina, Kabinda Sumut Brigjen TNI Ruruh Setyawibawa, Karo Ops Polda Sumut Kombes Pol Makmur Ginting, perwakilan dari Kejaksaan Tinggi Sumut, Kodam I/BB, Kosek Hanudnas III Medan dan unsur Forkopimda lainnya.

Aksi di DPRD Sumut

Penolakan UU Cipta Kerja sudah menggema di Medan sejak kemarin, Selasa (6/10). Massa dari Aliansi Akumulasi Kemarahan Buruh dan Rakyat (Akbar) Sumut akan melakukan unjuk rasa besar-besaran, hari ini (8/10). Diprediksi, seribuan massa dari elemen buruh, petani, masyarakat adat, nelayan, mahasiswa dan para pegiat akan turun ‘mengepung’ DPRD Sumut.

Mereka menuntut DPRD Sumut berani bersuara untuk menolak Omnibus Law yang sudah disahkan. Mereka juga terus mengumpulkan massa untuk memaksimalkan unjuk rasa. “Sejak pekan lalu kami sudah lakukan konsolidasi di organisasi sektor rakyat. Dan sampai saat ini kita sudah mengumpulkan 25 organisasi. Kita bersepakat akan turun ke jalan untuk menggagalkan UU Cipta Kerja Omnibus Law,” ujar Martin Luis, Koordinator Akbar Sumut, Rabu (7/10).

Kata Martin, penolakan itu bukan tanpa alasan. Begitu banyak pasal di dalam Omnibus Law yang sama sekali tidak berpihak kepada hak-hak rakyat. Mereka terus menyuarakan penolakan. Bagaimanapun, Omnibus Law harus digagalkan. “Secara prinsip, dari segala aspek, kami sangat menolak semua isi dari Omnibus Law Cipta Kerja ini. Karena yang kami yakini dan sudah kami pelajari, Omnibus Law ini sama sekali tidak bertujuan mengangkat harkat dan martabat rakyat Indonesia. Hanya memberikan karpet merah bagi investasi untuk mengeruk dan menindas rakyat Indonesia,” ungkapnya.

FSPMI Sumut Mogok Kerja 3 Hari

Elemen buruh dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Sumut, melakukan aksi mogok kerja selama tiga hari berturut-turut, yakni 6 hingga 8 Oktober 2020. Aksi ini sebagai bentuk penolakan buruh terhadap Omnibus Law Cipta Kerja.

Ketua FSPMI Sumut Willy Agus Utomo SH menyampaikan, aksi mogok kerja ini dipusatkan di depan pabrik perusahaan yang ada di beberapa kabupaten/ kota, yakni Medan, Deliserdang, Serdangbedagai (Sergai) dan Labuhanbatu. “Cuma 2 organisasi buruh yakni FSPMI dan SPN yang aksi, yang lain sepertinya tidak bergerak bersama, jadi hanya anggota kita yang ada di sekitar 40 perusahaan tadi yang bergerak,” ujar Willy kepada Sumut Pos di Medan, Rabu (7/10).

Willy menilai, UU Omnibus Law Cipta Kerja terkesan dipaksakan, hal ini dirasakan pihaknya yang melakukan aksi dilakukan penekanan dari berbagai pihak yang merasa kepentingannya terganggu, sehingga ada indikasi bagaimana aksi buruh di Sumut dapat digagalkan. “Tapi kami tetap pada pendirian, dengan tetap melakukan Penolakan Omnibus Law karena kami anggap itu merampas hak buruh secara terang-terangan,” tegasnya.

Willy kembali menegaskan, UU Cipta Kerja ini merupakan UU yang sangat tidak memanusiakan kaum buruh, bahkan ini merupakan UU terburuk yang ada di dunia. “Setelah zaman Belanda, hak normatif buruh terus ditingkatkan, justru di era Presiden Jokowi hak buruh dikebiri terang-terangan, bahkan dihapus nama UU Ketenagakerjaan menjadi Cipta Kerja,” ungkapnya.

Menurut Willy, UU Cipta Kerja ini sama dengan UU Pengusaha, jadi selamat tinggal kaum buruh tidak ada lagi perlindungan dan kesejahteraan untuk buruh Indonesia. “Upah akan jadi murah, pesangon dikurangi sangat jauh bahkan bisa dikatakan sulit mendapatkannya lagi, outsourcing kontrak kerja seumur hidup, itu artinya UU tersebut melegalkan perbudakan terang terangan, sanksi pidana Ketenagakerjaan dihilangkan, Tenaga Kerja Asing bebas masuk dan lain-lain,” terangnya.

Untuk itu, lanjut Willy, FSPMI menyatakan akan tetap terus berjuang menolak UU Cipta Kerja sampai kapanpun dan akan terus melakukan upaya hukum dengan menggugat UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Judicial Review dan aksi buruh. Ia mengajak seluruh buruh di Sumut agar sadar dan bangkit dari tidurnya. “Jangan biarkan kami sendiri yang berjuang. Buruh bersatu tak bisa dikalahkan,” pungkasnya.

Khawatir Jadi Klaster Baru Covid-19

Menanggapi hal tersebut, Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Tatan Dirsan Atmaja mengimbau agar buruh melakukan aksi dengan melakukan audiensi ke sejumlah pihak terkait. Sebab, lanjut Tatan, jika ada aksi turun ke jalan, dikhawatirkan menjadi klaster baru penyebaran Covid-19.

“Kita bukan melarang aksi turun ke jalan, kita hanya mengimbau atau menyarankan saja kepada buruh, karena penyebaran Covid-19 semakin ke sini semakin tinggi. Itu saja yang kita khawatirkan,” ujarnya.

Sebelumnya, Tatan menyebutkan, Polda Sumut menyiagakan 7.000 personel, untuk mengamankan aksi menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang puncaknya, direncanakan digelar oleh berbagai elemen hari ini, Kamis (8/10).

Ia mengaku, pihaknya bersama instansi terkait telah berkoordinasi. Kekuatan yang disiagakan dari masing-masing Satuan Kerja (Satker), baik itu Polda maupun satuan wilayah sebanyak 2/3. “Dari Polda Sumut sekitar 7.000 personel,” tukasnya.

Sementara itu, Brimob Polda Sumut menyiagakan satuan pengamanan sebanyak 11 SSK, untuk mengamankan aksi buruh yang akan diselenggarakan serentak di beberapa wilayah di Sumut. Dansat Brimob Kombes Pol Abu Bakar Tertusi, melalui Kabag Ops, Kompol Heriyono mengatakan, bahwa pihaknya akan melakukan pengamanan di masing-masing jajaran. “Tetap menyiagakan personel yang sudah ditunjuk sebagai Kompi/Pleton Siaga di jajarannya. Masing-masing yang dapat digerakkan sewaktu-waktu apabila dibutuhkan perkuatan oleh Satwil,” ujarnya. (prn/mag-1)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Wakil Gubernur Sumatera Utara (Wagubsu) Musa Rajekshah meminta masyarakat tidak terprovokasi hoax terkait pengesahan Omnibus Law (Undang-Undang) Cipta Kerja. Dia berharap, masyarakat lebih dewasa dalam menanggapi hal-hal yang belum tentu kebenarannya. Karena jika situasi tidak kondusif, investor akan enggan masuk dan pekerja akan rugi karena sulit mendapat kerja.

WAWANCARA: Wagubsu Musa Rajekshah memberi keterangan kepada wartawan usai rapat dengan Forkopimda di Rumah Dinas Gubsu, Rabu (7/10).
WAWANCARA: Wagubsu Musa Rajekshah memberi keterangan kepada wartawan usai rapat dengan Forkopimda di Rumah Dinas Gubsu, Rabu (7/10).

Diketahui, pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja oleh DPR RI pada Senin (5/10) lalu, telah memicu berbagai penolakan dengan melakukan demo yang melibatkan banyak massa dan berakhir ricuh. Musa Rajekshah tidak ingin hal tersebut terjadi di Sumut, terutama di masa pandemi Covid-19. Menurutnya, bila terjadi hal-hal yang tidak dinginkan, kerugian ada di masyarakat Sumut sendiri.

“Ada isu-isu berkembang di masyarakat yang belum tentu kebenarannya, terutama isu ketidakberpihakan pemerintah kepada pekerja. Saya harapkan kepada para buruh dan pekerja yang ada di Sumut untuk tenang dulu, melihat perkembangan UU ini seperti apa penerapannya dan tidak termakan isu-isu menyesatkan dan merugikan kita,” kata Wagubsu yang akrab disapa Ijeck ini, usai rapat dengan Forkopimda di Rumah Dinas Gubernur Sumut, Rabu (7/10).

Menurutnya, salah satu dampak buruk akibat kondisi keamanan yang tidak kondusif adalah enggannya investor untuk menanamkan modal di Sumut. Padahal, UU Cipta Kerja salah satu tujuannya adalah untuk menarik investor ke Indonesia, sehingga bisa membuka lapangan kerja seluas-luasnya.

“Pekerja juga akan mendapat kerugian (bila situasi tidak kondusif), kesulitan lapangan kerja karena investor enggan masuk ke Indonesia atau Sumut. Undang-undang ini diciptakan salah satunya adalah agar investor lebih yakin untuk masuk ke Indonesia, termasuk Sumut,” terangnya.

Dia kembali mengimbau seluruh masyarakat Sumut agar waspada dan tidak terprovokasi pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil kesempatan di tengah situasi seperti saat ini. “Saat ini kita di tengah pandemi Covid-19 yang mempengaruhi semua aspek termasuk ekonomi. Janganlah di tengah situasi seperti ini terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan,” ungkapnya.

12 Informasi Hoax

Plt Kepala Dinas Ketenagakerjaan Sumut Harianto Butarbutar menyatakan, sedikitnya ada 12 hoax atau informasi bohong yang sedang berkembang di masyarakat terkait Omnibus Law Cipta Kerja yang baru saja disahkan DPR RI. Yaitu hilangnya pesangon, dihapusnya upah minimum, upah dihitung perjam, hak cuti hilang dan tidak ada kompensasi, outsourching berlaku seumur hidup, tidak ada status karyawan tetap, perusahaan bisa mem-PHK kapan saja secara sepihak, jaminan sosial dan kesejahteraan hilang, semua karyawan berstatus tenaga kerja harian, tenaga kerja asing bebas masuk, buruh dilarang protes (ancaman PHK), libur Hari Raya hanya tanggal merah dan tidak ada penambahan.

“Dibilang pesangon tidak ada, upah diturunkan, inikan sudah tidak benar. Tidak ada satu pun dari 12 poin itu yang benar. Memang setiap ada UU baru tentu ada yang berubah dan nantinya UU ini diturunkan ke peraturan pemerintah yang mengatur secara teknis dan detail. Jadi bersabar saja, jangan pula ikut-ikutkan memanaskan suasana, padahal tidak tahu isi dari Omnibus Law itu sendiri,” katanya.

Dijelaskan dia, sesungguhnya pesangon tetap dibayar maksimal 25 kali gaji dengan skema pembayaran 19 kali oleh perusahaan, enam kali oleh pemerintah. Masalah pesangon ini diatur pada Pasal 156 UU Cipta Kerja. Begitu juga dengan Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/kota (UMSK). Pasal 88C ayat 1 UU Cipta Kerja tertulis gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan pasal dua menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.

Begitu juga dengan isu upah dihitung perjam, padahal di UU Cipta Kerja tetap menggunakan upah minimum. Dan mengenai hilangnya hak cuti, pada pasal 79 ayat (5) menyebutkan perusahaan dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja sama. Sedangkan UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur cuti panjang diberikan satu bulan pada tahun ke-7 dan 1 bulan pada tahun ke-8. “Jadi sekali lagi kami tegaskan, bahwa informasi hoaks tentang Omnibus Law Cipta Kerja yang berkembang di masyarakat itu sama sekali tidak benar,” tegasnya.

Harianto juga menyampaikan, demonstrasi yang diprediksi akan terjadi pada hari ini dikhawatirkan ditumpangi oleh kepentingan lain. Massa yang menumpang ini diprediksi sebagai pemicu terjadinya hal-hal anarkis. Karena itu Harianto berharap para pekerja untuk tidak turun ke jalan menuntut pembatalan UU dimaksud. “Bertambah dewasalah kita menyikapi hal tertentu, jangan ikut-ikutan. Tidak pernah pemerintah ini mengorbankan para pekerjanya, malah menyempurnakan dengan peraturan-peraturan yang baru karena dinamisnya masalah teknologi industri pada saat ini,” pungkasnya.

Rapat diikuti Sekdaprovsu R Sabrina, Kabinda Sumut Brigjen TNI Ruruh Setyawibawa, Karo Ops Polda Sumut Kombes Pol Makmur Ginting, perwakilan dari Kejaksaan Tinggi Sumut, Kodam I/BB, Kosek Hanudnas III Medan dan unsur Forkopimda lainnya.

Aksi di DPRD Sumut

Penolakan UU Cipta Kerja sudah menggema di Medan sejak kemarin, Selasa (6/10). Massa dari Aliansi Akumulasi Kemarahan Buruh dan Rakyat (Akbar) Sumut akan melakukan unjuk rasa besar-besaran, hari ini (8/10). Diprediksi, seribuan massa dari elemen buruh, petani, masyarakat adat, nelayan, mahasiswa dan para pegiat akan turun ‘mengepung’ DPRD Sumut.

Mereka menuntut DPRD Sumut berani bersuara untuk menolak Omnibus Law yang sudah disahkan. Mereka juga terus mengumpulkan massa untuk memaksimalkan unjuk rasa. “Sejak pekan lalu kami sudah lakukan konsolidasi di organisasi sektor rakyat. Dan sampai saat ini kita sudah mengumpulkan 25 organisasi. Kita bersepakat akan turun ke jalan untuk menggagalkan UU Cipta Kerja Omnibus Law,” ujar Martin Luis, Koordinator Akbar Sumut, Rabu (7/10).

Kata Martin, penolakan itu bukan tanpa alasan. Begitu banyak pasal di dalam Omnibus Law yang sama sekali tidak berpihak kepada hak-hak rakyat. Mereka terus menyuarakan penolakan. Bagaimanapun, Omnibus Law harus digagalkan. “Secara prinsip, dari segala aspek, kami sangat menolak semua isi dari Omnibus Law Cipta Kerja ini. Karena yang kami yakini dan sudah kami pelajari, Omnibus Law ini sama sekali tidak bertujuan mengangkat harkat dan martabat rakyat Indonesia. Hanya memberikan karpet merah bagi investasi untuk mengeruk dan menindas rakyat Indonesia,” ungkapnya.

FSPMI Sumut Mogok Kerja 3 Hari

Elemen buruh dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Sumut, melakukan aksi mogok kerja selama tiga hari berturut-turut, yakni 6 hingga 8 Oktober 2020. Aksi ini sebagai bentuk penolakan buruh terhadap Omnibus Law Cipta Kerja.

Ketua FSPMI Sumut Willy Agus Utomo SH menyampaikan, aksi mogok kerja ini dipusatkan di depan pabrik perusahaan yang ada di beberapa kabupaten/ kota, yakni Medan, Deliserdang, Serdangbedagai (Sergai) dan Labuhanbatu. “Cuma 2 organisasi buruh yakni FSPMI dan SPN yang aksi, yang lain sepertinya tidak bergerak bersama, jadi hanya anggota kita yang ada di sekitar 40 perusahaan tadi yang bergerak,” ujar Willy kepada Sumut Pos di Medan, Rabu (7/10).

Willy menilai, UU Omnibus Law Cipta Kerja terkesan dipaksakan, hal ini dirasakan pihaknya yang melakukan aksi dilakukan penekanan dari berbagai pihak yang merasa kepentingannya terganggu, sehingga ada indikasi bagaimana aksi buruh di Sumut dapat digagalkan. “Tapi kami tetap pada pendirian, dengan tetap melakukan Penolakan Omnibus Law karena kami anggap itu merampas hak buruh secara terang-terangan,” tegasnya.

Willy kembali menegaskan, UU Cipta Kerja ini merupakan UU yang sangat tidak memanusiakan kaum buruh, bahkan ini merupakan UU terburuk yang ada di dunia. “Setelah zaman Belanda, hak normatif buruh terus ditingkatkan, justru di era Presiden Jokowi hak buruh dikebiri terang-terangan, bahkan dihapus nama UU Ketenagakerjaan menjadi Cipta Kerja,” ungkapnya.

Menurut Willy, UU Cipta Kerja ini sama dengan UU Pengusaha, jadi selamat tinggal kaum buruh tidak ada lagi perlindungan dan kesejahteraan untuk buruh Indonesia. “Upah akan jadi murah, pesangon dikurangi sangat jauh bahkan bisa dikatakan sulit mendapatkannya lagi, outsourcing kontrak kerja seumur hidup, itu artinya UU tersebut melegalkan perbudakan terang terangan, sanksi pidana Ketenagakerjaan dihilangkan, Tenaga Kerja Asing bebas masuk dan lain-lain,” terangnya.

Untuk itu, lanjut Willy, FSPMI menyatakan akan tetap terus berjuang menolak UU Cipta Kerja sampai kapanpun dan akan terus melakukan upaya hukum dengan menggugat UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Judicial Review dan aksi buruh. Ia mengajak seluruh buruh di Sumut agar sadar dan bangkit dari tidurnya. “Jangan biarkan kami sendiri yang berjuang. Buruh bersatu tak bisa dikalahkan,” pungkasnya.

Khawatir Jadi Klaster Baru Covid-19

Menanggapi hal tersebut, Kabid Humas Polda Sumut, Kombes Pol Tatan Dirsan Atmaja mengimbau agar buruh melakukan aksi dengan melakukan audiensi ke sejumlah pihak terkait. Sebab, lanjut Tatan, jika ada aksi turun ke jalan, dikhawatirkan menjadi klaster baru penyebaran Covid-19.

“Kita bukan melarang aksi turun ke jalan, kita hanya mengimbau atau menyarankan saja kepada buruh, karena penyebaran Covid-19 semakin ke sini semakin tinggi. Itu saja yang kita khawatirkan,” ujarnya.

Sebelumnya, Tatan menyebutkan, Polda Sumut menyiagakan 7.000 personel, untuk mengamankan aksi menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang puncaknya, direncanakan digelar oleh berbagai elemen hari ini, Kamis (8/10).

Ia mengaku, pihaknya bersama instansi terkait telah berkoordinasi. Kekuatan yang disiagakan dari masing-masing Satuan Kerja (Satker), baik itu Polda maupun satuan wilayah sebanyak 2/3. “Dari Polda Sumut sekitar 7.000 personel,” tukasnya.

Sementara itu, Brimob Polda Sumut menyiagakan satuan pengamanan sebanyak 11 SSK, untuk mengamankan aksi buruh yang akan diselenggarakan serentak di beberapa wilayah di Sumut. Dansat Brimob Kombes Pol Abu Bakar Tertusi, melalui Kabag Ops, Kompol Heriyono mengatakan, bahwa pihaknya akan melakukan pengamanan di masing-masing jajaran. “Tetap menyiagakan personel yang sudah ditunjuk sebagai Kompi/Pleton Siaga di jajarannya. Masing-masing yang dapat digerakkan sewaktu-waktu apabila dibutuhkan perkuatan oleh Satwil,” ujarnya. (prn/mag-1)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/