25 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Omnibus Law Lebih Untungkan Siapa?, Pengamat: Tentu Saja Investor

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sejak perencanaan hingga pengesahan, Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja terus menuai kontroversi. Bahkan setelah disahkan oleh DPR dan pemerintah, konflik di tengah masyarakat tak dapat dihindarkan.

DIAMANKAN Sejumlah pelajar diamankan aparat kepolisian saat kedapatan berkumpul di sekitar Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (7/10). Puluhan pelajar mendatangi Gedung DPR terkait adanya informasi aksi demonstrasi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di media sosial.
DIAMANKAN Sejumlah pelajar diamankan aparat kepolisian saat kedapatan berkumpul di sekitar Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (7/10). Puluhan pelajar mendatangi Gedung DPR terkait adanya informasi aksi demonstrasi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di media sosial.

Sebenarnya, pihak mana yang lebih diuntungkan dari kehadiran Undang-undang tersebut?

Pengamat pemerintahan asal Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), Faisal Riza coba memberi pandangan sederhanan

Dia melihat, Omnibus Law sebagai produk umum dalam rezim investasi. Ada banyak negara di dunia, apalagi di sekitar Asia Tenggara yang punya model serupa.

“Pemerintah sebagai produsen UU itu menganut prinsip efektifitas dan efisiensi investasi. Dalam hal ini tentu saja menguntungkan pengusaha/investor lebih banyak,” katanya kepada Sumut Pos, Rabu (6/10).

Hanya saja, sambung Riza, problem UU ini terbengkalai pada sosialisasinya, sehingga kritik dari ragam kelompok sipil tidak begitu diindahkan. Situasi juga makin terlihat buruk karena pemerintah sepertinya tahu banyak akan penolakan tentang UU dimaksud. “Sehingga proses pengambilan kebijakannya terburu-buru dan dalam situasi pandemi. Mungkin ini yang dianggap kontroversial,” pungkasnya.

Plt Ketua Partai Demokrat Sumut, Herri Zulkarnain Hutajulu juga memberikan pernyataan menyangkut UU Omnibus Law ini. Sebagai oposisi, pihaknya menyayangkan di tengah pandemi Covid-19 saat ini pemerintah begitu terburu-buru mengarahkan UU itu. Sementara ada pihak yang dirugikan atas kehadiran produk hukum baru tersebut, yakni kaum buruh. “Seharusnya pemerintah lebih fokus menyangkut Covid-19. Dari hal yang negatif di UU Cipta Kerja pastilah elemen buruh turun ke jalan untuk menolak UU banyak ketidakadilannya bagi buruh,” kata dia.

Salah satunya, sebut Herri, hilangnya sanksi pidana bagi perusahaan nakal dalam melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) serta tidak mendapatkan pesangon. Artinya kata dia, ini membuka peluang semena-mena dengan mudah para pengusaha untuk PHK karyawannya. “Sebaiknya pemerintah mengunakan UU yang lama saja, karena semuanya sudah diatur. Jangan lagi diubah-ubah,” katanya.

Partai Demokrat, imbuhnya, tetap memperjuangkan hak-hak buruh dengan segala upaya dan siap melakukan pembelaan buruh dan pekerja. “Dari awal kami sudah menolak UU Cipta Kerja tersebut,” tegasnya.

Ia hanya menyarankan, agar aksi turun ke jalan yang akan dilakukan buruh di Sumut nanti tetap mematuhi protokol kesehatan. “Setiap warga negara berhak untuk menyampaikan aspirasinya. Namun begitu kepada buruh untuk tetap menjalankan protokol kesehatan,” imbaunya.

Terpisah, anggota Komisi II DPRD Kota Medan, Afif Abdillah menilai, unjuk rasa yang dilakukan kaum buruh menolak UU Cipta Kerja merupakan hak yang diatur oleh konstitusi serta merupakan bentuk dari nilai-nilai demokrasi. Namun begitu, dia juga mengingatkan, agar semua pihak yang terlibat dalam aksi, tetap menerapkan protokol kesehatan, tidak anarkis dan mau menaati aturan-aturan yang berlaku. “ Sebab saat ini, menjaga kesehatan diri agar tidak tertular dan menularkan Covid-19 adalah kewajiban dan prioritas semua pihak,” kata Afif yang juga Ketua Fraksi Partai Nasdem DPRD Medan kepada Sumut Pos, Rabu (7/10).

Afif mengakui, Fraksi Nasdem di DPR RI adalah salah satu dari tujuh fraksi yang setuju atas disahkannya RUU tersebut menjadi UU. Namun dengan beberapa catatan, satu di antaranya yakni soal klaster ketenagakerjaan. “Dari fraksi (NasDem) kita kemarin memang setuju dengan catatan agar klaster tenaga kerja ditarik atau dipisah dari pembahasan Omnibuslaw sampai ditemukan kesepakatan yang menguntungkan semua pihak dalam ketenagakerjaan ini,” ujarnya.

Menurut Afif, tidak semua UU Cipta Kerja tersebut merugikan buruh dan menguntungkan pengusaha. Meski demikian, apa yang diresahkan oleh para buruh sebaiknya dapat difasilitasi oleh pemerintah. “Ada beberapa, tapikan tidak semuanya juga menguntungkan pengusaha ataupun merugikan buruh. Di UU Cipta Kerja ada juga yang menguntungkan buruh. Tapi kan di sisi lain kita mau agar bisa difasilitasi apa yang menjadi permintaan para buruh itu,” katanya.

Selanjutnya, UU Cipta Kerja tersebut akan dibuat secara detail oleh Kementerian ketenagakerjaan. “Nantikan dibuat secara detailnya lagi di kementerian ketenagakerjaan untuk beberapa poin yang dapat menguntungkan para buruh,” tuturnya.

Disisi lain, anggota DPRD Medan dari Fraksi Partai Keadilan Sosial (PKS), Rudianto Simangunsong mengatakan, Fraksi PKS DPR RI dengan tegas menolak UU Cipta Kerja, karena hal itu tidak mencerminkan keberpihakan pada buruh dan rakyat kecil. Selain itu, pengesahan UU tersebut juga terkesan terburu-buru. “Sebagai sebuah kesimpulan, apa yang disampaikan fraksi PKS DPR RI untuk menolak UU Omnibus Law adalah wajar. Penolakan itu berdasarkan kepentingan wong cilik maupun kepentingan buruh,” kata Rudiyanto.

Ketua Fraksi PKS DPRD Medan itu mengatakan, terkait demo buruh di Kota Medan yang akan dilakukan, adalah hal yang sah-sah saja. Termasuk, apabila masyarakat menyampaikan aspirasi menolak UU Cipta Kerja itu. “Saya pikir setiap warga negara itu berhak menyampaikan aspirasinya. Cuma saya berharap, jangan sampai ada kerusuhan. Kita minta agar pihak kepolisian juga bisa menjaga keamanan dengan baik,” terangnya.

Dikatakannya, kalau pada akhirnya para buruh melakukan aksi massal atau unjukrasa sebagai bentuk penolakan terhadap UU Cipta Kerja yang baru disahkan, maka pemerintah diminta untuk dapat menghormati hal itu sebagai hak demokrasi. Sebab, hak menyampaikan pendapat itu adalah hak warga negara yang harus dilindungi.

“Sebagaimana disampaikan fraksi PKS di DPR RI, seharusnya ketika buruh demo, semua pihak terutama pemerintah jangan menyalahkan buruh. Saya pikir pemerintah juga harus memperbaiki Undang-undang tersebut, dalam artian kepentingan wong cilik atau buruh itu terakomodir di undang-undang tersebut. Tentu bisa dibuat perubahan-perubahan di UU itu,” ungkapnya. (prn/map)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sejak perencanaan hingga pengesahan, Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja terus menuai kontroversi. Bahkan setelah disahkan oleh DPR dan pemerintah, konflik di tengah masyarakat tak dapat dihindarkan.

DIAMANKAN Sejumlah pelajar diamankan aparat kepolisian saat kedapatan berkumpul di sekitar Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (7/10). Puluhan pelajar mendatangi Gedung DPR terkait adanya informasi aksi demonstrasi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di media sosial.
DIAMANKAN Sejumlah pelajar diamankan aparat kepolisian saat kedapatan berkumpul di sekitar Gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (7/10). Puluhan pelajar mendatangi Gedung DPR terkait adanya informasi aksi demonstrasi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja di media sosial.

Sebenarnya, pihak mana yang lebih diuntungkan dari kehadiran Undang-undang tersebut?

Pengamat pemerintahan asal Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU), Faisal Riza coba memberi pandangan sederhanan

Dia melihat, Omnibus Law sebagai produk umum dalam rezim investasi. Ada banyak negara di dunia, apalagi di sekitar Asia Tenggara yang punya model serupa.

“Pemerintah sebagai produsen UU itu menganut prinsip efektifitas dan efisiensi investasi. Dalam hal ini tentu saja menguntungkan pengusaha/investor lebih banyak,” katanya kepada Sumut Pos, Rabu (6/10).

Hanya saja, sambung Riza, problem UU ini terbengkalai pada sosialisasinya, sehingga kritik dari ragam kelompok sipil tidak begitu diindahkan. Situasi juga makin terlihat buruk karena pemerintah sepertinya tahu banyak akan penolakan tentang UU dimaksud. “Sehingga proses pengambilan kebijakannya terburu-buru dan dalam situasi pandemi. Mungkin ini yang dianggap kontroversial,” pungkasnya.

Plt Ketua Partai Demokrat Sumut, Herri Zulkarnain Hutajulu juga memberikan pernyataan menyangkut UU Omnibus Law ini. Sebagai oposisi, pihaknya menyayangkan di tengah pandemi Covid-19 saat ini pemerintah begitu terburu-buru mengarahkan UU itu. Sementara ada pihak yang dirugikan atas kehadiran produk hukum baru tersebut, yakni kaum buruh. “Seharusnya pemerintah lebih fokus menyangkut Covid-19. Dari hal yang negatif di UU Cipta Kerja pastilah elemen buruh turun ke jalan untuk menolak UU banyak ketidakadilannya bagi buruh,” kata dia.

Salah satunya, sebut Herri, hilangnya sanksi pidana bagi perusahaan nakal dalam melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) serta tidak mendapatkan pesangon. Artinya kata dia, ini membuka peluang semena-mena dengan mudah para pengusaha untuk PHK karyawannya. “Sebaiknya pemerintah mengunakan UU yang lama saja, karena semuanya sudah diatur. Jangan lagi diubah-ubah,” katanya.

Partai Demokrat, imbuhnya, tetap memperjuangkan hak-hak buruh dengan segala upaya dan siap melakukan pembelaan buruh dan pekerja. “Dari awal kami sudah menolak UU Cipta Kerja tersebut,” tegasnya.

Ia hanya menyarankan, agar aksi turun ke jalan yang akan dilakukan buruh di Sumut nanti tetap mematuhi protokol kesehatan. “Setiap warga negara berhak untuk menyampaikan aspirasinya. Namun begitu kepada buruh untuk tetap menjalankan protokol kesehatan,” imbaunya.

Terpisah, anggota Komisi II DPRD Kota Medan, Afif Abdillah menilai, unjuk rasa yang dilakukan kaum buruh menolak UU Cipta Kerja merupakan hak yang diatur oleh konstitusi serta merupakan bentuk dari nilai-nilai demokrasi. Namun begitu, dia juga mengingatkan, agar semua pihak yang terlibat dalam aksi, tetap menerapkan protokol kesehatan, tidak anarkis dan mau menaati aturan-aturan yang berlaku. “ Sebab saat ini, menjaga kesehatan diri agar tidak tertular dan menularkan Covid-19 adalah kewajiban dan prioritas semua pihak,” kata Afif yang juga Ketua Fraksi Partai Nasdem DPRD Medan kepada Sumut Pos, Rabu (7/10).

Afif mengakui, Fraksi Nasdem di DPR RI adalah salah satu dari tujuh fraksi yang setuju atas disahkannya RUU tersebut menjadi UU. Namun dengan beberapa catatan, satu di antaranya yakni soal klaster ketenagakerjaan. “Dari fraksi (NasDem) kita kemarin memang setuju dengan catatan agar klaster tenaga kerja ditarik atau dipisah dari pembahasan Omnibuslaw sampai ditemukan kesepakatan yang menguntungkan semua pihak dalam ketenagakerjaan ini,” ujarnya.

Menurut Afif, tidak semua UU Cipta Kerja tersebut merugikan buruh dan menguntungkan pengusaha. Meski demikian, apa yang diresahkan oleh para buruh sebaiknya dapat difasilitasi oleh pemerintah. “Ada beberapa, tapikan tidak semuanya juga menguntungkan pengusaha ataupun merugikan buruh. Di UU Cipta Kerja ada juga yang menguntungkan buruh. Tapi kan di sisi lain kita mau agar bisa difasilitasi apa yang menjadi permintaan para buruh itu,” katanya.

Selanjutnya, UU Cipta Kerja tersebut akan dibuat secara detail oleh Kementerian ketenagakerjaan. “Nantikan dibuat secara detailnya lagi di kementerian ketenagakerjaan untuk beberapa poin yang dapat menguntungkan para buruh,” tuturnya.

Disisi lain, anggota DPRD Medan dari Fraksi Partai Keadilan Sosial (PKS), Rudianto Simangunsong mengatakan, Fraksi PKS DPR RI dengan tegas menolak UU Cipta Kerja, karena hal itu tidak mencerminkan keberpihakan pada buruh dan rakyat kecil. Selain itu, pengesahan UU tersebut juga terkesan terburu-buru. “Sebagai sebuah kesimpulan, apa yang disampaikan fraksi PKS DPR RI untuk menolak UU Omnibus Law adalah wajar. Penolakan itu berdasarkan kepentingan wong cilik maupun kepentingan buruh,” kata Rudiyanto.

Ketua Fraksi PKS DPRD Medan itu mengatakan, terkait demo buruh di Kota Medan yang akan dilakukan, adalah hal yang sah-sah saja. Termasuk, apabila masyarakat menyampaikan aspirasi menolak UU Cipta Kerja itu. “Saya pikir setiap warga negara itu berhak menyampaikan aspirasinya. Cuma saya berharap, jangan sampai ada kerusuhan. Kita minta agar pihak kepolisian juga bisa menjaga keamanan dengan baik,” terangnya.

Dikatakannya, kalau pada akhirnya para buruh melakukan aksi massal atau unjukrasa sebagai bentuk penolakan terhadap UU Cipta Kerja yang baru disahkan, maka pemerintah diminta untuk dapat menghormati hal itu sebagai hak demokrasi. Sebab, hak menyampaikan pendapat itu adalah hak warga negara yang harus dilindungi.

“Sebagaimana disampaikan fraksi PKS di DPR RI, seharusnya ketika buruh demo, semua pihak terutama pemerintah jangan menyalahkan buruh. Saya pikir pemerintah juga harus memperbaiki Undang-undang tersebut, dalam artian kepentingan wong cilik atau buruh itu terakomodir di undang-undang tersebut. Tentu bisa dibuat perubahan-perubahan di UU itu,” ungkapnya. (prn/map)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/