25.2 C
Medan
Saturday, June 22, 2024

Tarif Angkot Perlu Dihitung Ulang

AMINOER RASYID/SUMUT POS BAYAR ONGKOS: Seorang penumpang angkot membayar ongkos kepada sopir  saat turun di Jalan H.Zainul Arifin Medan.
AMINOER RASYID/SUMUT POS
BAYAR ONGKOS: Seorang penumpang angkot membayar ongkos kepada sopir saat turun di Jalan H.Zainul Arifin Medan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Awal 2015, pemerintah menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Untuk premium turun Rp900 dan solar turun Rp250. Namun turunnya harga BBM tersebut tak serta merta menurunkan harga sparepart kendaraan. Hal ini yang menjadi dalih Organda maupun pengusaha angkutan untuk tidak menurunkan ratif atau ongkos.

Pantauan Sumut Pos di beberapa bengkel mobil di Medan, harga sparepart sudah naik rata-rata 10 hingga 20 persen, bahkan sebelum naiknya harga BBM. “Kalau harga sparepat sudah lama naiknya, sekitar 10 sampai 20 persen saja dan masih bertahan hingga sekarang,” ujar Johan, pekerja di Castrol Auto service, Jalan Sisingamangaraja kepada Sumut Pos, Rabu (7/1).

Menurut Johan, naiknya tarif angkutan tidak ada hubungannya dengan kenaikan harga sparepart, namun kenaikan harga BBM lah yang menjadi pengaruh utama.

“Kalau sparepart sih nggak jadi alasan tarif angkutan naik, tapi karena bensin dan solar. Solar yang paling utama karena bus-bus itu pakai mesin diesel berbahan solar,” katanya sembari mengatakan kenaikan harga sparepart hanya sekitar 10 ribu sampai 20 ribu di beberapa item yang ada.

Hal sama juga disampaikan Jibua, pekerja di Bengkel Muara Nauli.

“Saat wacana kenaikan BBM, harga sparepart sudah naik sekitar dua ribuan sampai sepuluh ribuan, misalnya lahar dari Rp80 ribu jadi Rp90 ribu. Untuk naiknya tarif angkutan, kami rasa bukan karena hal itu,” kata Jibua.

Menanggapi hal ini, Ekonom Sumut, Gunawan Benjamin mengatakan, soal tarif angkutan umum memang perlu dikaji kembali agar bisa disesuaikan mengacu kepada penurunan harga BBM yang diambil pemerintah di awal tahun. Tapi hal ini juga tidak bisa instan begitu saja.

“Kita perlu melihat dampak kenaikan harga barang, khususnya sparepart yang terjadi sejak BBM dinaikan sebelumnya. Kita hitung dulu rata-rata kenaikannya berapa, selanjutnya baru kita hitung penurunannya berapa setelah harga BBM diturunkan baru baru ini,” katanya.

Kembali lagi, lanjut Gunawan, hal tersebut tidak bisa instan. Pembentukan harga perlu konfirmasi dari tren harga lainnya sehingga mampu membentuk titik keseimbangan yang baru. “Kalau untuk tarif angkutan darat yang banyak menggunakan solar saya pikir penyesuaian harga tidak terlalu besar atau bahkan mungkin tidak perlu disesuaikan. Kecuali armada yang besar yang bisa membuat komponen biayanya signifikan. Karena penurunan harga solar kecil sekali. Akan membuat nominal biaya tarif masuk dalam angka recehan. Bisa menyulitkan nantinya,” katanya.

Sementara itu, untuk tarif angkutan umum seperti angkot, jika pemerintah ingin agar tarifnya turun, sebaiknya tidak hanya melakukan penyesuaian mengacu kepada besaran harga BBM. Komponen penurunan harga solar yang umumnya menjadi beban biaya logistik itu kecil.

“Jadi begini, misalkan tarif angkot jarak dekat sebelumnya naik Rp1.500, nah terus harga bensin turun Rp900 dari sebelumnya yang dinaikin sebesar Rp2.000, maka bukan berarti tarif angkot harus turun sekitar Rp700. Perlu kita hitung komponen biaya tarif angkot yang dihasilkan dari armadanya itu. Termasuk komponen sparepart,” ujarnya.

Lanjut Gunawan, dalam hal ini, pemerintahlah yang berwenang untuk menentukan tarif yang baru melalui kebijakannya. “Jangan ditanya supir angkotnya, karena mereka pasti mau naik. Pemerintahlah yang menentukan tarif, tapi kebijakan tersebut harus mewakili semua kepentingan baik pihak angkutan atau konsumen,” katanya. (put/adz)

AMINOER RASYID/SUMUT POS BAYAR ONGKOS: Seorang penumpang angkot membayar ongkos kepada sopir  saat turun di Jalan H.Zainul Arifin Medan.
AMINOER RASYID/SUMUT POS
BAYAR ONGKOS: Seorang penumpang angkot membayar ongkos kepada sopir saat turun di Jalan H.Zainul Arifin Medan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Awal 2015, pemerintah menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Untuk premium turun Rp900 dan solar turun Rp250. Namun turunnya harga BBM tersebut tak serta merta menurunkan harga sparepart kendaraan. Hal ini yang menjadi dalih Organda maupun pengusaha angkutan untuk tidak menurunkan ratif atau ongkos.

Pantauan Sumut Pos di beberapa bengkel mobil di Medan, harga sparepart sudah naik rata-rata 10 hingga 20 persen, bahkan sebelum naiknya harga BBM. “Kalau harga sparepat sudah lama naiknya, sekitar 10 sampai 20 persen saja dan masih bertahan hingga sekarang,” ujar Johan, pekerja di Castrol Auto service, Jalan Sisingamangaraja kepada Sumut Pos, Rabu (7/1).

Menurut Johan, naiknya tarif angkutan tidak ada hubungannya dengan kenaikan harga sparepart, namun kenaikan harga BBM lah yang menjadi pengaruh utama.

“Kalau sparepart sih nggak jadi alasan tarif angkutan naik, tapi karena bensin dan solar. Solar yang paling utama karena bus-bus itu pakai mesin diesel berbahan solar,” katanya sembari mengatakan kenaikan harga sparepart hanya sekitar 10 ribu sampai 20 ribu di beberapa item yang ada.

Hal sama juga disampaikan Jibua, pekerja di Bengkel Muara Nauli.

“Saat wacana kenaikan BBM, harga sparepart sudah naik sekitar dua ribuan sampai sepuluh ribuan, misalnya lahar dari Rp80 ribu jadi Rp90 ribu. Untuk naiknya tarif angkutan, kami rasa bukan karena hal itu,” kata Jibua.

Menanggapi hal ini, Ekonom Sumut, Gunawan Benjamin mengatakan, soal tarif angkutan umum memang perlu dikaji kembali agar bisa disesuaikan mengacu kepada penurunan harga BBM yang diambil pemerintah di awal tahun. Tapi hal ini juga tidak bisa instan begitu saja.

“Kita perlu melihat dampak kenaikan harga barang, khususnya sparepart yang terjadi sejak BBM dinaikan sebelumnya. Kita hitung dulu rata-rata kenaikannya berapa, selanjutnya baru kita hitung penurunannya berapa setelah harga BBM diturunkan baru baru ini,” katanya.

Kembali lagi, lanjut Gunawan, hal tersebut tidak bisa instan. Pembentukan harga perlu konfirmasi dari tren harga lainnya sehingga mampu membentuk titik keseimbangan yang baru. “Kalau untuk tarif angkutan darat yang banyak menggunakan solar saya pikir penyesuaian harga tidak terlalu besar atau bahkan mungkin tidak perlu disesuaikan. Kecuali armada yang besar yang bisa membuat komponen biayanya signifikan. Karena penurunan harga solar kecil sekali. Akan membuat nominal biaya tarif masuk dalam angka recehan. Bisa menyulitkan nantinya,” katanya.

Sementara itu, untuk tarif angkutan umum seperti angkot, jika pemerintah ingin agar tarifnya turun, sebaiknya tidak hanya melakukan penyesuaian mengacu kepada besaran harga BBM. Komponen penurunan harga solar yang umumnya menjadi beban biaya logistik itu kecil.

“Jadi begini, misalkan tarif angkot jarak dekat sebelumnya naik Rp1.500, nah terus harga bensin turun Rp900 dari sebelumnya yang dinaikin sebesar Rp2.000, maka bukan berarti tarif angkot harus turun sekitar Rp700. Perlu kita hitung komponen biaya tarif angkot yang dihasilkan dari armadanya itu. Termasuk komponen sparepart,” ujarnya.

Lanjut Gunawan, dalam hal ini, pemerintahlah yang berwenang untuk menentukan tarif yang baru melalui kebijakannya. “Jangan ditanya supir angkotnya, karena mereka pasti mau naik. Pemerintahlah yang menentukan tarif, tapi kebijakan tersebut harus mewakili semua kepentingan baik pihak angkutan atau konsumen,” katanya. (put/adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/