30 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Ketangguhan Fisiknya Jadi Role Model Paspampres

Umur boleh lanjut, tapi ketangguhannya sebagai atlet layak jadi teladan. Itulah Maria Albertina Matulessy, atlet atletik master tertua di Indonesia. Di usia 84 tahun, si nenek masih bisa meraih medali emas kejuaraan dunia atletik.

NARENDRA PRASETYA, Jakarta

RAMBUTNYA sudah putih semua. Kulit wajahnya juga berhiaskan keriput di sana-sini. Jalannya pun sudah tidak setegap atlet pada umumnya.

NENEK HEBAT: Maria Albertina Matulessy dengan beberapa medali yang diraihnya di berbagai kejuaraan atletik.
NENEK HEBAT: Maria Albertina Matulessy dengan beberapa medali yang diraihnya di berbagai kejuaraan atletik.

Namun, begitu berada di arena atletik, keraguan semua orang akan kekuatan Maria Albertina Matulessy akan langsung sirna.Seperti yang dilakukannya pagi itu Sabtu (24/5) lalu di lintasan atletik Stadion Madya, Senayan, Jakarta.

Untuk sprint 100 meter, Tineke – panggilan Maria Albertina Matulessy – bisa berlari dengan catatan waktu di bawah 20 detik, waktu yang hebat bagi seorang lansia seperti dirinya.

“Dan ini saya lakukan rutin, minimal sekali sepekan,” ujarnya kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos) yang pagi itu melihat latihan Tineke dari pinggir lintasan.

Tineke saat ini tercatat sebagai atlet atletik master berprestasi tertua dalam sejarah Persatuan Atletik Master Indonesia (PAMI). Dia menjadi satu di antara delapan atlet Indonesia yang dikirim mengikuti event World Master Athletic Championship XX di Porto Alegre, Brasil, Oktober tahun lalu.

WMAC adalah kejuaraan atletik dunia yang diikuti atlet-atlet berusia minimal 35 tahun dari berbagai negara dan terbagi dalam sejumlah kategori usia. Kejuaraan ini berlangsung setiap dua tahun sekali sejak 1975. Sebelum di Brasil, kejuaraan yang sama digelar di Sacramento, California, AS. Tahun depan WMAC akan dilangsungkan di Lyon, Prancis.

Dalam kejuaraan di Brasil itu, Tineke mampu meraih medali emas untuk nomor lompat jauh putri kelompok usia 80 tahun dengan lompatan sejauh 1,66 meter. Di usia 83 kala itu Tineke juga mencatatkan diri sebagai satu-satunya atlet master atau atlet lansia dari Indonesia yang meraih medali emas di kejuaraan dunia.

Tahun ini, nenek 10 cucu dan 8 cicit ini siap menorehkan kembali tinta emasnya di arena atletik master. Paling tidak ada dua even besar yang siap menyambutnya. Yakni Jakarta Open Master Athletics Championships (JOMAC) 2014 yang digelar 14-15 Juni dan Asia Master Athletics Championships di Kitakami, Jepang, September mendatang.

Saat masih muda, Tineke termasuk atlet andalan DKI Jakarta. Dia pernah tampil di lima ajang Pekan Olahraga Nasional (PON). Hebatnya lagi, dia mampu menguasai nomor-nomor lintasan, sekaligus nomor-nomor lapangan. Di lintasan, Tineke biasanya turun di nomor sprint 100 meter dan 200 meter. Sedangkan  di lapangan dia tampil untuk nomor lompat jauh dan lompat jangkit.

Bagaimana dia masih bisa ‘sangar’ di lapangan di usianya yang begitu lanjut? Tineke menyebut, kuncinya ada tiga. Yaitu menjaga gaya hidup, pola makan, dan terus mengasah kekuatan ototo-otot badan dengan berolahraga. Dan, kunci ketiga itulah yang paling menonjol.

Berkat ketahanan dan kekuatannya sebagai atlet master di usia senja, sebulan yang lalu Tineke mendapat kehormatan diundang ke markas besar Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) di Tanah Abang II, Jakarta. Dia diminta untuk memberikan pencerahan kepada para anggota paspampres bagaimana caranya bisa tetap kuat di usia sepuh itu.

“Sebenarnya sederhana saja. Saya bisa seperti ini karena mungkin dulu sejak kecil biasa hidup keras. Dan itu semakin terlatih begitu masuk Akademi Pendidikan Djasmani (APD), lalu ditambah lagi setelah menjadi atlet,” bebernya.

Jadwal full olahraga selama sepekan menjadi rutinitasnya. Apalagi setelah dirinya mengakhiri masa pengabdiannya sebagai guru honorer selama setengah abad di SMA Santa Ursula Jakarta, pada 2004. Selain rutin berlatih atletik dan senam, perempuan yang kali terakhir mendaki gunung di usia 70 tahun itu juga menekuni renang.

Selain di lapangan atletik, waktunya banyak dihabiskan di kolam renang. “Saya sekarang menjadi guru les renang. Itu saya lakukan karena saya tidak mau tergantung pada anak-anak. Yang penting, dalam melakukan semua itu saya selalu menyesuaikan dengan kemampuan sendiri, tidak berlebihan. Sehingga, tubuh saya tetap sehat dan terjaga,” ucapnya.

Mempertahankan niat untuk terus berlatih ketika usianya yang sudah tua memang tidak mudah. Berkali-kali dia diingatkan oleh sesama mantan atlet atau rekan-rekan sebayanya agar tidak berolahraga layaknya seorang atlet. Tapi, Tineke seolah tidak peduli. Dia terus menjalani rutinitasnya itu.

Sepanjang berkiprah di arena atletik, tidak sekali pun Tineke mengalami cedera. “Paling hanya sakit biasa, misalnya flu atau diare,” ungkapnya.

Menurut Sekretaris Umum PAMI Merari Nainggolan, prestasi Tineke sebenarnya adalah kemampuan dirinya  dalam me-maintenance kekuatan ototnya. “Tidak sedikit mantan atlet kondisi kesehatannya menurun di usia senja. Itu karena dia berhenti menggerakkan badannya. Apa yang dilakukan ibu layak ditularkan kepada orang lain,” klaimnya.

Merari yang juga menantu sekaligus pelatih Tineke lalu memberikan gambaran bagaimana ketahanan tubuh mertuanya itu bisa terjaga hingga usia senja. “Yang diperlukan di sini hanya keberlanjutan saja. Olahraga itu tidak berhenti dengan sebatas medali, tapi bagaimana dia bisa mempertahankan kondisi terbaiknya. Itu yang paling berat,” imbuhnya.

Sekadar diketahui, Tineke termasuk atlet master golongan usia atas di PAMI. Dia juga menjadi atlet terbaik PAMI dalam satu dekade terakhir. Potret Tineke itu menginspirasi PB PASI selaku organisasi yang menaungi pembinaan atletik nasional untuk meneladaninya.

Selama karirnya sebagai atlet, ratusan medali diraih Tineke. Bahkan saat Jawa Pos datang ke kediamannya di kawasan Polatangan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dia sampai bi

gung mau mencari di mana saja medalinya disimpan. “Totalnya bisa sampai 300-an medali, bisa juga lebih,” tutur Tineke.

Sampai kapan Tineke akan memeras keringatnya di arena atletik dan menikmati sisa hari tua bersama cucu dan cicitnya sebagaimana lansia pada umumnya? “Selama saya masih kuat berlari dan melompat, selama itu jugalah saya akan ada di arena atletik,” pungkasnya. (ari/jpnn/rbb)

Umur boleh lanjut, tapi ketangguhannya sebagai atlet layak jadi teladan. Itulah Maria Albertina Matulessy, atlet atletik master tertua di Indonesia. Di usia 84 tahun, si nenek masih bisa meraih medali emas kejuaraan dunia atletik.

NARENDRA PRASETYA, Jakarta

RAMBUTNYA sudah putih semua. Kulit wajahnya juga berhiaskan keriput di sana-sini. Jalannya pun sudah tidak setegap atlet pada umumnya.

NENEK HEBAT: Maria Albertina Matulessy dengan beberapa medali yang diraihnya di berbagai kejuaraan atletik.
NENEK HEBAT: Maria Albertina Matulessy dengan beberapa medali yang diraihnya di berbagai kejuaraan atletik.

Namun, begitu berada di arena atletik, keraguan semua orang akan kekuatan Maria Albertina Matulessy akan langsung sirna.Seperti yang dilakukannya pagi itu Sabtu (24/5) lalu di lintasan atletik Stadion Madya, Senayan, Jakarta.

Untuk sprint 100 meter, Tineke – panggilan Maria Albertina Matulessy – bisa berlari dengan catatan waktu di bawah 20 detik, waktu yang hebat bagi seorang lansia seperti dirinya.

“Dan ini saya lakukan rutin, minimal sekali sepekan,” ujarnya kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos) yang pagi itu melihat latihan Tineke dari pinggir lintasan.

Tineke saat ini tercatat sebagai atlet atletik master berprestasi tertua dalam sejarah Persatuan Atletik Master Indonesia (PAMI). Dia menjadi satu di antara delapan atlet Indonesia yang dikirim mengikuti event World Master Athletic Championship XX di Porto Alegre, Brasil, Oktober tahun lalu.

WMAC adalah kejuaraan atletik dunia yang diikuti atlet-atlet berusia minimal 35 tahun dari berbagai negara dan terbagi dalam sejumlah kategori usia. Kejuaraan ini berlangsung setiap dua tahun sekali sejak 1975. Sebelum di Brasil, kejuaraan yang sama digelar di Sacramento, California, AS. Tahun depan WMAC akan dilangsungkan di Lyon, Prancis.

Dalam kejuaraan di Brasil itu, Tineke mampu meraih medali emas untuk nomor lompat jauh putri kelompok usia 80 tahun dengan lompatan sejauh 1,66 meter. Di usia 83 kala itu Tineke juga mencatatkan diri sebagai satu-satunya atlet master atau atlet lansia dari Indonesia yang meraih medali emas di kejuaraan dunia.

Tahun ini, nenek 10 cucu dan 8 cicit ini siap menorehkan kembali tinta emasnya di arena atletik master. Paling tidak ada dua even besar yang siap menyambutnya. Yakni Jakarta Open Master Athletics Championships (JOMAC) 2014 yang digelar 14-15 Juni dan Asia Master Athletics Championships di Kitakami, Jepang, September mendatang.

Saat masih muda, Tineke termasuk atlet andalan DKI Jakarta. Dia pernah tampil di lima ajang Pekan Olahraga Nasional (PON). Hebatnya lagi, dia mampu menguasai nomor-nomor lintasan, sekaligus nomor-nomor lapangan. Di lintasan, Tineke biasanya turun di nomor sprint 100 meter dan 200 meter. Sedangkan  di lapangan dia tampil untuk nomor lompat jauh dan lompat jangkit.

Bagaimana dia masih bisa ‘sangar’ di lapangan di usianya yang begitu lanjut? Tineke menyebut, kuncinya ada tiga. Yaitu menjaga gaya hidup, pola makan, dan terus mengasah kekuatan ototo-otot badan dengan berolahraga. Dan, kunci ketiga itulah yang paling menonjol.

Berkat ketahanan dan kekuatannya sebagai atlet master di usia senja, sebulan yang lalu Tineke mendapat kehormatan diundang ke markas besar Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) di Tanah Abang II, Jakarta. Dia diminta untuk memberikan pencerahan kepada para anggota paspampres bagaimana caranya bisa tetap kuat di usia sepuh itu.

“Sebenarnya sederhana saja. Saya bisa seperti ini karena mungkin dulu sejak kecil biasa hidup keras. Dan itu semakin terlatih begitu masuk Akademi Pendidikan Djasmani (APD), lalu ditambah lagi setelah menjadi atlet,” bebernya.

Jadwal full olahraga selama sepekan menjadi rutinitasnya. Apalagi setelah dirinya mengakhiri masa pengabdiannya sebagai guru honorer selama setengah abad di SMA Santa Ursula Jakarta, pada 2004. Selain rutin berlatih atletik dan senam, perempuan yang kali terakhir mendaki gunung di usia 70 tahun itu juga menekuni renang.

Selain di lapangan atletik, waktunya banyak dihabiskan di kolam renang. “Saya sekarang menjadi guru les renang. Itu saya lakukan karena saya tidak mau tergantung pada anak-anak. Yang penting, dalam melakukan semua itu saya selalu menyesuaikan dengan kemampuan sendiri, tidak berlebihan. Sehingga, tubuh saya tetap sehat dan terjaga,” ucapnya.

Mempertahankan niat untuk terus berlatih ketika usianya yang sudah tua memang tidak mudah. Berkali-kali dia diingatkan oleh sesama mantan atlet atau rekan-rekan sebayanya agar tidak berolahraga layaknya seorang atlet. Tapi, Tineke seolah tidak peduli. Dia terus menjalani rutinitasnya itu.

Sepanjang berkiprah di arena atletik, tidak sekali pun Tineke mengalami cedera. “Paling hanya sakit biasa, misalnya flu atau diare,” ungkapnya.

Menurut Sekretaris Umum PAMI Merari Nainggolan, prestasi Tineke sebenarnya adalah kemampuan dirinya  dalam me-maintenance kekuatan ototnya. “Tidak sedikit mantan atlet kondisi kesehatannya menurun di usia senja. Itu karena dia berhenti menggerakkan badannya. Apa yang dilakukan ibu layak ditularkan kepada orang lain,” klaimnya.

Merari yang juga menantu sekaligus pelatih Tineke lalu memberikan gambaran bagaimana ketahanan tubuh mertuanya itu bisa terjaga hingga usia senja. “Yang diperlukan di sini hanya keberlanjutan saja. Olahraga itu tidak berhenti dengan sebatas medali, tapi bagaimana dia bisa mempertahankan kondisi terbaiknya. Itu yang paling berat,” imbuhnya.

Sekadar diketahui, Tineke termasuk atlet master golongan usia atas di PAMI. Dia juga menjadi atlet terbaik PAMI dalam satu dekade terakhir. Potret Tineke itu menginspirasi PB PASI selaku organisasi yang menaungi pembinaan atletik nasional untuk meneladaninya.

Selama karirnya sebagai atlet, ratusan medali diraih Tineke. Bahkan saat Jawa Pos datang ke kediamannya di kawasan Polatangan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dia sampai bi

gung mau mencari di mana saja medalinya disimpan. “Totalnya bisa sampai 300-an medali, bisa juga lebih,” tutur Tineke.

Sampai kapan Tineke akan memeras keringatnya di arena atletik dan menikmati sisa hari tua bersama cucu dan cicitnya sebagaimana lansia pada umumnya? “Selama saya masih kuat berlari dan melompat, selama itu jugalah saya akan ada di arena atletik,” pungkasnya. (ari/jpnn/rbb)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/