Keputusan MA dan Peraturan Pemerintah pun tak Dihargai
MEDAN-Sengketa tanah Sari Rejo di Kecamatan Medan Polonia Medan, melibatkan banyak pihak. Baik itu TNI AU, Pemerintah Kota (Pemko) Medan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Medan dan Sumut. Selain pihak tersebut, tentunya melibatkan masyarakat Sari Rejo dan pihak pengembang Central Business District (CBD) Polonia.
Sayangnya, nasib warga Sari Rejo tak seindah peruntungan Benny Basri, pengusaha properti yang membidani CBD Polonia. Ya, ini terkait dengan mudahnya pihak pengembang CBD mendapatkan sertifikat, sementara masyarakat Sari Rejo yang telah puluhan tahun sejak 1948 hingga saat ini tidak kunjung mendapat sertifikat diinginkan.
Tak pelak sinyalemen adanya permainan mafia tanah merebak. “Keterlibatan mafia tanah, saya tidak berandai-andai dengan kepentingan seseorang untuk memiliki tanah tersebut. Hal itu tidak bisa dipungkiri, pasti ketahuan dengan bukti prosedurnya atas hak akan diketahui keterlibatan mafia tanah yang menghilangkan nurani,” kata Sekretaris Komisi A DPRD Medan, Burhanuddin Sitepu di gedung Dewan, Selasa (8/11).
Dikatakannya, lahan Kelurahan Sari Rejo seluas 591,30 Ha dan yang sudah bersertifikat dengan luas 302,78 Ha dikelola oleh pihak pengembang yang memperoleh peralihan hak dari TNI AU. “Tanah warga yang luasnya 260 Ha harus diberikan kepastian haknya. Karena peralihan hak memperoleh tanah Sari Rejo tidak terlepas dari BPN, jadi untuk perjelas status tanah Sari Rejo hanya BPN yang lebih tahu. Tolong, tuntutan masyarakat diberikan agar masyarakat bisa hidup damai dan sejahtera,” ujarnya.
Selain itu, DPRD Medan ini juga berharap banyak kepada TNI AU yang sampai saat ini belum menunjukkan sikap. “Sangat berharap kepada TNI AU untuk menyikapi permasalahan tanah sari Rejo yang sampai saat ini belum bersertifikat,” cetusnya.
Untuk itu, lanjut Burhanuddin, status tanah yang terus menjadi sengketa sejatinya sudah ada landasan hukumnya. Namun, kenapa itu tidak menjadi dasar? “Sudah ada keputusan MA dan PP, mau keputusan apa lagi yang harus dihargai,” ungkap Burhanuddin.
Ungkapan lebih pedas dicetuskan pihak Lumbung Informasi Rakyat (Lira) Kota Medan. Melalui Asisten III Lira Kota Medan Hasler Marbun, lembaga swadaya masyarakat ini mengatakan pasti ada mafia tanah dibelakang kasus tanah Sari Rejo. “Saya menilai adanya mafia tanah yang ingin mencoba merebut lahan tersebut. Kenapa pemerintah sepertinya enggan untuk menyelesaikan sengketa lahan itu? Padahal, masyarakat menginginkan lahan itu bukan untuk dijadikan lahan komersil, tetapi lahan tempat berdirinya rumah-rumah yang dijadikan tempat tinggal mereka,” ujar Hasler Marbun di Gedung Graha Lira Jalan Bakti Medan, Selasa (8/11).
“Kita patut mencurigai adanya kongkalikong antara aparat yang terlibat dalam perkara tersebut dengan CBD,” sambungnya.
Pihak Pemko Medan yang sejatinya memiliki peran penting kini ditunggu kerjanya. Melalui Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Medan, Syaiful Bahri, Pemko meminta warga untuk bersabar. “Pak Wali sudah mencari solusi untuk memperjuangkan hak warga Sari Rejo. Dikarenakan tanah Sari Rejo merupakan aset negara dan akan diberikan untuk kepentingan masyarakat, harus melalui tahapan dengan melakukan rapat untuk mengambil kebijakan,” jelas Syaiful.
Lalu, bagaimana dengan perbedaan nasib antara warga dan CBD Polonia soal sertifikat tanah? “Tanah warga itu ruislag (tukar guling), sedangkan CBD Polonia pengalihan hak,” jawab Syaiful Bahri.
Menyikapi perbedaan nasib itu, anggota DPRD Sumut Hasbullah Hadiyang dikonfirmasi Sumut Pos di sela-sela Paripurna Pengesahan Perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (P-APBD) 2011 serta pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Pencemaran Udara, Selasa (8/11) menyatakan, semestinya Pemerintah dalam hal ini Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) dan Pemko Medan, lebih mengedepankan kepentingan masyarakat. “Pemerintah dalam hal ini Pemprovsu, Pemko Medan, BPN, dan termasuk juga angkatan udara harusnya lebih mengedepankan kepentingan masyarakat,” tegasnya.
Sambung anggota DPRD Sumut dari Fraksi Demokrat ini, dalam sengketa tanah ini pada prinsipnya Komisi A DPRD Sumut telah mempertanyakannya ke kementerian keuangan. Termasuk terkait mudahnya pengembang memperoleh sertifikat sementara masyarakat terkesan tidak dipedulikan.
Hasbullah juga menyatakan, keputusan Mahkamah Agung (MA) merupakan keputusan yang telah berkekuatan hukum, yang sepatutnya menjadi rujukan bagi pemerintah untuk merealisasikan keinginan masyarakat Sari Rejo. “Kita kembali kepada keputusan hukum lah. Jadi, BPN jangan seenaknya mengeluarkan sertifikat kepada pengembang. Itu saja,” tukasnya.
Sedangkan itu, Ketua Komisi A DPRD Sumut Isma Fadly Ardhya Pulungan kepada Sumut Pos juga menyatakan hal yang sama. Dan dalam kasus ini, Isma menyatakan, tinggal menunggu keputusan dari pihak Kemenkeu atas pertanyaan-pertanyaan Komisi A yang melakukan kunjungan ke Kemenkeu beberapa waktu lalu.
“Kita mempertanyakan semua hal yang berkaitan dengan masalah Sari Rejo, termasuk mudahnya pengembang mendapatkan sertifikat dibandingkan masyarakat. Kita tunggu itu,” tegasnya. (adl/rud/ari)