Site icon SumutPos

Sidang Lanjutan RE Siahaan Jawaban JPU Asal-asalan

MEDAN-Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi APBD Kota Pematangsiantar tahun 2007 sebesar Rp10.518.003.152,87 dengan terdakwa Mantan Wali Kota Pematangsiantar RE Siahaan kembali digelar Pengadilan Tipikor PN Medan, Selasa (8/11). Sidang mengagendakan pembacaan tanggapan JPU atas eksepsi penasehat hukum terdakwa.

Dalam sidang kemarin, JPU dari KPK Irene Putrie meminta majelis hakim menolak eksepsi penasehat hukum, sebab dakwaan yang dibuat KPK sudah memenuhi syarat untuk disidangkan. Namun Sarbudin Panjaitan selaku penasehat hukum RE Siahaan mengatakan, jawaban itu asal-asalan. “JPU tak mampu menjawab eksepsi kita. Jawabannya asal-asalan dan tidak berdasarkan Hukum Acara Pidana,” katanya.

Mengenai waktu kejadian perkara (tempus delicti), misalnya, JPU mengatakan ada salah ketik pada penulisan waktu perkara tanggal 13 November 2011, tapi itu harus dibaca tahun 2007. “Mereka mengutip beberapa yurisprudensi sebagai pertimbangan bahwa kesalahan pengetikan dalam surat dakwaan tidak men jadikan dakwaan batal, JPU mengutip beberapa yurisprudensi. Tapi itu tak tepat diterapkan untuk perkara ini,” ujar Sarbudin.

Masih terkait waktu kejadian perkara,  kapan dan dimana uang dari dana rehabilitasi/pemeliharaan Dinas PU dan dana bantuan sosial diserahkan kepada terdakwa, tak diuraikan dalam surat dakwaan. Hal ini tak mampu dijawab JPU, sebab dalam jawabannya Irene Putrie kembali mengatakan telah diuraikan dengan jelas dan gamblang. “Di mana diuraikan, tak ada,” ujar Sarbudin.

Terkait perbedaan penghitungan kerugian negara dimana dalam surat dakwaan disebutkan kerugian negara Rp10.518. 003.152,87 sedangkan pada jumlah kerugian negara hasil audit BPKP adalah Rp 10. 578.003,152,08, yang berarti ada selisih kerugian negara sebesar Rp60 Juta, JPU berpendapat itu sah-sah saja dalam surat dakwaan, sebab pastinya kerugian negara akan dibuktikan dalam pemeriksaan pokok perkara. Menurut Sarbudin, jumlah kerugian negara harus ril, yang nantinya dibuktikan pada pemeriksaan pokok perkara. “Jika nilai kerugian berbeda, angka mana yang harus dibuktikan?” ujar Sarbudin.

Lebih lanjut Sarbudin mengatakan, eksepsi mereka mengatakan hasil audit BPKP tidak sah karena dibuat tanpa mengingat sumpah jabatan. Padahal petugas BPKP melakukan audit berkapasitas sebagai ahli sesuai permintaan KPK. Maka sebagaimana ketentuan Pasal 187 huruf C KUHAP, dinyatakan bahwa surat dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah jabatan adalah surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya.

Tapi menurut JPU, sah atau tidaknya hasil audit BPKP, tergantung pada format perhitungan kerugian keuangan negara. “Mereka tak bisa jawab. Anehnya JPU mengatakan, laporan kerugian negara yang dibuat oleh BPKP merupakan pendapat ahli, maka sesuaipasal 187, itu harus dengan sumpah,” kata Sarbudin.

Lebih tak masuk akal, kata Sarbudin, JPU berkeras menyatakan perbuatan terdakwa bukan perbuatan berlanjut, tapi berdiri sendiri sebagaimana telah didakwakan melanggar pasal 65 (1) KUHP. “Perbuatan itu tidak dilakukan dalam waktu bersamaan. Apa mungkin dakwaan korupsi di Dinas PU dan Bansos dilakukan pada waktu yang bersamaan? Dalam dakwaan diuraikan perbuatan terdakwa berlanjut antara tanggal 31 Januari hingga 31 Desember 2007. Jadi pasalnya saja salah, harusnya dicantumkan ketentuan pasal 64 ayat (1) KUHPidana yang mengatur perbuatan berlanjut,” ujar Sarbudin.

“Masih banyak jawaban yang asal-asalan dan tidak berdasarkan hukum acara pidana. Saya ingin mengatakan, mungkin sebatas itulah kemampuan JPU KPK. Kami berharap hakim menghentikan perkara ini,” ujar Sarbudin. (pms)

Exit mobile version