Kemacetan di Medan masih menjadi persoalan yang belum teratasi. Solusi yang dilakukan Dishub baru sebatas rekayasa lalulintas, mengubah tujuh arus jalan. Bagaimana dengan wacana rekayasa lalu lintas tahap dua, apakah bisa dilakukan atau ditunda? Berikut analisis pengamat Tata Kota Medan, Abdul Rahim Siregar yang diwawancarai wartawan Sumut Pos Ari Sisworo.
Bagaimana anda memandang persoalan kemacetan di Kota Medan selama ini?
Tidak bisa dipungkiri, selama ini memang kemacetan masih menjadi persoalan yang masih belum teratasi. Banyak titik kemacetan yang tiap hari terlihat, dan seolah menjadi fenomena. Kita ketahui memang, Pemerintah Kota Medan memang telah melakukan sebuah solusi dengan cara merekayasa lalu lintas, yakni dengan merubah tujuh ruas jalan di Medan. Namun perubahan itu hingga saat ini belum mampu mengatasi kemacetan yang ada. Buktinya, kemacetan masih saja terjadi seperti di Jalan Pulau Penang menuju Jalan Ahmad Yani VII-Jalan Perdana dan Jalan Hindu. Penumpukan jumlah kendaraan juga kerap terjadi di sepanjang Jalan Raden Saleh, tepatnya di dekat Hotel Grand Aston Medan. Begitu pula yang terjadi di sepanjang Jalan S Parman Medan, tepatnya mulai Jalan S Parman-simpang Jalan Kejaksaan hingga dekat Patung Guru Patimpus terus ke arah Jalan Kapten Maulana Lubis.
Siapa yang harus menjadi garda terdepan dalam penanganan persoalan ini?
Pastinya adalah Pemerintah Kota (Pemko) Medan dalam hal ini Dinas Perhubungan Kota Medan. Saya pikir, Kepala Dinas Perhubungan yang baru, mesti melakukan kajian ulang atau evaluasi terhadap kebijakan perubahan arus tahap I tersebut. Karena kita ketahui pula, jangan sampai nantinya perubahan arus lalu lintas tahap II pada kenyataan juga tidak memberi dampak yang signifikan. Seharusnya Dinas Perhubungan memasukkan rencana rekayasa lalulintas yang telah melalui kajian ilmiah dan akademis ke Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang wilayah. Agar, semua yang direncanakan bisa dipetakan. Ini adalah rencana jangka panjang. Jadi, tidak berpikiran untuk sementara waktu saja. Rencana perubahan arus yang kedua diharapkan dilakukan setelah ada kajian yang matang. Karena perubahan arus yang pertama, terkesan dilaksanakan sembarangan, tanpa kajian yang matang. Kebijakan itu dilakukan tanpa melihat perkembangan angkutan kota (angkot), tidak mempertimbangkan kondisi infrastrukstur jalan dan lainnya. Jadi, Kepala Dinas yang baru harus benar-benar mampu merancang itu.
Jadi apa yang harus diprioritaskan, apakah perubahan arus tahap dua atau wacana pengadaan bus massal atau kembali mengevaluasi perubahan arus tahap satu?
Dalam hemat saya, seperti yang saya utarakan tadi adalah prioritas utama yang semestinya dilakukan adalah pengevaluasian perubahan arus lalu lintas tahap satu. Kalau dipikir, untuk apa melangkah satu langkah ke depan, kalau yang ditinggalkan belum beres.
Bagaimana dengan kinerja Kepala Dinas Perhubungan Medan yang baru?
Sejauh ini belum ada realisasi nyata yang terlihat. Program atau wacana-wacana yang selama ini telah dikumandangkan juga seolah atau terkesan belum berjalan.
Langkah apa yang bisa diambil Wali Kota Medan terhadap Kepala Dinas Perhubungan Medan yang baru ini?
Sesuai dengan pernyataan Wali Kota Medan yang memberi tenggat waktu tiga bulan akan melakukan evaluasi. Mungkin pernyataan itu patut dicermati. Waktu tiga bulan itu cukup realistis memberi penilaian. Namun, dalam hal ini mungkin evaluasi yang dilakukan mungkin difokuskan pada evaluasi kinerja dari Kepala Dinas tersebut. Kalau mendapat rapor merah setelah pasca tiga bulan itu, maka bukan tidak mungkin dilakukan evaluasi jabatan. (*)