MEDAN – Kesultanan Deli, salah satu kesultanan yang tertua di Indonesia. Tidak heran, bila kesultanan yang terletak di Medan ini memiliki situs-situs sejarah dari kerajaan Sultan Deli. Karena itu, situs ini perlu dikumpulkan dan diidentifikasi agar dapat diregister. Meskipun dalam prosesnya bisa menggunakan anggaran negara untuk kepentingan penyelematan sejarah tersebut.
Demikian disampaikan Dr Phil Ichwan Azhari saat menjadi pembicara di Seminar Sejarah Keagungan Kesultanan Deli yang merupakan rangkai dari kegiatan Festival Budaya Melayu Agung di Balai Citra, Convention Hall Hotel Tiara, Senin ( 9/7). Dirinya menyatakan, sesuai dengan keberadaan undang-undang cagar budaya Pemko Medan harusnya meregister setiap situs-situs sejarah Kesulatan Deli. Bahkan, bila terdapat situs itu yang kini beralih ke pihak ketiga, Pemko Medan bisa saja mengganti rugi.
Dirinya juga menyinggung keberadaan Istana Maimun yang merupakan bangunan kuno peninggalan sejarah dari Kesultanan Deli.”Sangat bahaya jika bangunannya ditempel dengan semen-semen saja. Harus ada kepedulian dunia terhadap Istana Maimun itu,” ujar Ichwan.
Sementara itu, Dr Suprayitno, MA yang juga pembicara di seminar itu menyarankan agar situs-situs kerajaan Sultan Deli digali. Situs-situs itu perlu ditelusuri dan butuh kajian-kajian. “Sebab menetapkan cagar budaya tidak sembarangan dan perlu ilmu arkeologi,”tegas Suprayitno dari Fakultas Ilmu Budaya USU itu.
Pembicara lainnya, Dr Muhammad Takari, MA dari Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya USU mengatakan deli merupakan ikon melayu di Sumatera. “Deli punya indeks, punya ikon. Istana Maimun itu ikon Melayu. Deli sebagai kesultanan di dalam NKRI,”tandasnya.
Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Kota Medan Busral Manan diwakili Kabid Kebudayaan Disbupar, H Hamsur Usman, saat membuka acara seminar mengatakan seminar Sejarah Keagungan Kesultanan Deli ini bertujuan untuk mengambarkan perjalanan sejarah dan budaya melayu sebagai sebuat entitas budaya yang telah teruji. (ram)