MEDAN- Kritikan demi kritikan terus dialamatkan pada perhelatan Pesta Danau Toba (PDT) 2011, yang akan digelar 27-30 Desember 2011 mendatang. Bahkan, kritikan terhadap PDT juga diwarnai desakan agar penyelenggaraan PDT 2011 dibatalkan. Ada beberapa hal yang menjadi sorotan, kenapa PDT 2011 lebih baik tidak diselenggarakan tahun ini. Pertama, terkait sarana dan prasaran pendukung seperti infrastruktur jalan dari dan ke arah Danau Toba. Isu selanjutnya adalah isu kekurangan anggaran, dimana saat ini PDT 2011 mengalami defisit anggaran lebih dari 50 persen sekitar Rp2,2 miliar dari Rp4,2 miliar yang dibutuhkan.
Nah, yang cukup mengusik pendengaran adalah mencuat isu penyelenggaran PDT 2011 tidak lebih merupakan sarana pencitraan, sarana menarik simpati yang ujungujungnya bermuatan politis bagi sejumlah elit politik, terlebih menyongsong gelaran Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) 2013 mendatang. Hal itu dikemukakan, sosiolog asal Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Shohibul Anshor kepada Sumut Pos, Jumat (9/12).
“Saya terkejut ketika saya tiba di Polonia beberapa waktu lalu dari luar kota. Saya melihat banyak spanduk, baliho yang memajang foto panitia dan Plt Gubsu besar-besar. Apa ini? Promosi besar-besaran, foto besar-besar tapi tak ada kerjanya. Kalau memang hanya promosi untuk menarik simpati atau pencitraan lebih baik dibatalkan saja,” tegasnya. Dijelaskannya, bila PDT 2011 tetap dijalankan, pelaksanaan kali ini tidak akan jauh berbeda dengan pelaksanaan sebelumnya yang tidak memberi sumbangsih apa-apa bagi rakyat dan masyarakat Sumut. Buktinya, sambung Shohibul, dari tahun ke tahun penyelenggaraan bukannya memperbaiki ekosistem di area Danau Toba, malah semakin merusak danau itu sendiri.
“Ekosistem semakin rusak, penggundulan hutan terus merajalela. Ini bukti pemerintah, terlebih Pemerintahan Sumut tidak becus mengelola asset, yang bukan hanya milik masyarakat dan rakyat Sumut serta Indonesia, tapi juga asset dunia. Jadi sah bila PDT ini hanya sebatas ajang promosi pencitraan bagi elit politik,” tukasnya. Dalam upaya perbaikan ekosistem Danau Toba, perlu dipikirkan pembentukkan tujuh kabupaten/kota terdekat dengan Danau Toba menggabungkan diri menjadi satu daerah otorita.
“Sudah tersiar wacana, tujuh daerah atau kabupaten/kota terdekat dengan Danau Tiba menjadi satu daerah otorita seperti Batam. Agar pengelolaan dan pemberdayaan Danau Toba bias lebih berjalan, dari pada saat ini. Daerah otorita itu memiliki kewenangan sendiri, untuk memberdayakan potensi daerahnya,” ungkapnya. Namun, wacana ini memang jangka panjang dan masih dalam pembahasan di seminarseminar. “Dan untuk mengarah ke situ, tidak hanya cukup dengan teken SK saja. Perlu ada perencanaan yang matang, dan pembahasan di pusat. Setelah terbentuk, baru berkoordinasi dengan pemerintah daerah lainnya,” ujarnya lagi. Pengamat Psikologi Sosial dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr M Rajab Lubis sekitar Rp2,2 miliar dari Rp4,2 miliar yang dibutuhkan. Nah, yang cukup mengusik pendengaran adalah mencuat isu penyelenggaran PDT 2011 tidak lebih merupakan sarana pencitraan, sarana menarik simpati yang ujungujungnya bermuatan politis bagi sejumlah elit politik, terlebih menyongsong gelaran Pemilihan Gubernur Sumatera Utara (Pilgubsu) 2013 mendatang. Hal itu dikemukakan, sosiolog asal Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Shohibul Anshor kepada Sumut Pos, Jumat (9/12). “Saya terkejut ketika saya tiba di Polonia beberapa waktu lalu dari luar kota. Saya melihat banyak spanduk, baliho yang memajang foto panitia dan Plt Gubsu besar-besar.
Apa ini? Promosi besar-besaran, foto besar-besar tapi tak ada kerjanya. Kalau memang hanya promosi untuk menarik simpati atau pencitraan lebih baik dibatalkan saja,” tegasnya. Dijelaskannya, bila PDT 2011 tetap dijalankan, pelaksanaan kali ini tidak akan jauh berbeda dengan pelaksanaan sebelumnya yang tidak memberi sumbangsih apa-apa bagi rakyat dan masyarakat Sumut. Buktinya, sambung Shohibul, dari tahun ke tahun penyelenggaraan bukannya memperbaiki ekosistem di area Danau Toba, malah semakin merusak danau itu sendiri. “Ekosistem semakin rusak, penggundulan hutan terus merajalela. Ini bukti pemerintah, terlebih Pemerintahan Sumut tidak becus mengelola asset, yang bukan hanya milik masyarakat dan rakyat Sumut serta Indonesia, tapi juga asset dunia. Jadi sah bila PDT ini hanya sebatas ajang promosi pencitraan bagi elit politik,” tukasnya. Dalam upaya perbaikan ekosistem Danau Toba, perlu dipikirkan pembentukkan tujuh kabupaten/kota terdekat dengan Danau Toba menggabungkan diri menjadi satu daerah otorita. “Sudah tersiar wacana, tujuh daerah atau kabupaten/kota terdekat dengan Danau Tiba menjadi satu daerah otorita seperti Batam.
Agar pengelolaan dan pemberdayaan Danau Toba bias lebih berjalan, dari pada saat ini. Daerah otorita itu memiliki kewenangan sendiri, untuk memberdayakan potensi daerahnya,” ungkapnya. Namun, wacana ini memang jangka panjang dan masih dalam pembahasan di seminarseminar. “Dan untuk mengarah ke situ, tidak hanya cukup dengan teken SK saja. Perlu ada perencanaan yang matang, dan pembahasan di pusat. Setelah terbentuk, baru berkoordinasi dengan pemerintah daerah lainnya,” ujarnya lagi. Pengamat Psikologi Sosial dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr M Rajab Lubis MS, tidak setuju bila disebut PDT hanya ajang ‘cari muka’ untuk kepentingan Pilgubsu 2013 mendatang. “Secara akademisi, apa (stigma) yang muncul di masyarakat itu merupakan opini atau prasangka.
Walaupun ada arah ke situ,” jawabnya. Mengenai penyelenggaraan PDT serta pernak- pernik “ketertinggalan” area pelaksanaan PDT 2011, pria yang juga menjabat sebagai Ketua Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Unimed menerangkan, ada empat komponen yang bias dijadikan acuan dalam upaya peningkatan pengelolaan Danau Toba, terlebih dalam sisi kepariwisataan. Ke empat hal tersebut yakni, pertama adalah masyarakat. Titik beratnya adalah menyangkut perilaku. “Yang layak dan bias dijual untuk menarik wisatawan adalah perilaku masyarakat,” katanya. Kedua adalah pemerintah. Pemerintah dalam hal ini, bertanggungjawab dalam melakukan pembinaan terhadap perilaku masyarakat.
“Lewat Dinas Pariwisata, serta para stakeholder harus mampu mengubah perilaku masyarakat. Kita lihat Bali dan daerah lainnya, bukan hanya objek wisata yang dijual tapi perilaku masyarakat di sana juga memiliki daya jual tinggi. Dan itu belum tergambar di sini,” bebernya. Komponen ketiga yang perlu diperbaiki dalam penyelenggaraan PDT selanjutnya, sambung pria yang menjadi pengajar Ilmu Psikologi dan Konflik di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unimed tersebut mengatakan, komponen ketiga adalah masalah pelayanan. “Kalau pelayanan baik, maka pariwisata akan baik. Bali itu yang dijual pantainya. Tapi pada prinsipnya itu tak cukup. Ada unsur budaya di sana, yang dikemas secara apik. Kemudian pelayanan yang maksimal pada sarana akomodasi yang ada seperti hotel dan sebagainya. Di Danau Toba ada Tor-tor, yang merupakan satu bentuk budaya yang memiliki nilai jual. Namun, itu tak termanfaatkan secara baik.
Ada pengalaman saya dengan teman-teman, ketika berkunjung ke Danau Toba. Muncul rasa di hati cukup sekali saja berkunjung ke Danau Toba, karena tidak ada kenyamanan. Saya piker, program sapta pesona itu bias kembali dimaksimalkan,” katanya lagi. Komponen ke empat adalah promosi. Dikatakannya, panitia mungkin sudah melakukan sosialisasi. Namun, apa yang dilakukan itu belum maksimal, sehingga pada akhirnya yang terselenggara itu tidak sepenuhnya berhasil. “PDT itu even singkat. Saya melihat, mesti ada evaluasi dan dijadikan rujukan untuk mengambil kebijakan untuk memperbaiki pagelaran yang ada untuk lebih bermanfaat,” sarannya.(ari)