29 C
Medan
Tuesday, July 2, 2024

Ini Bukan Solusi, tapi Menambah Masalah, Forum Honorer Sumut Tolak PP 49/2018 Tentang Manajemen PPPK

TOLAK: Ketua Forum Honorer Sumut Andi Subakti bersama pengurus honorer se-Sumut usai diskusi menelaah PP 49/2018 di Jalan Pelita 1, Medan Perjuangan, Minggu (9/12). Mereka sepakat menolak terbitnya PP tersebut.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Forum Honorer Sumatera Utara menolak keras Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pasalnya, berdasarkan telaah yang mereka lakukan, PP tersebut sama sekali tidak menjadi solusi bagi honorer K2, tapi malah sebaliknya, menambah masalah bagi honorer K2.

“Harapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar PP 49 Tahun 2018 ini bisa menuntaskan masalah honorer di Indonesia, jauh api dari panggang,” kata Andi Subakti, Ketua Forum Honorer Sumatera Utara kepada wartawan, Minggu (9/12).

Menurut Andi, pemerintah tampaknya tidak benar-benar ingin menuntaskan masalah honorer. Ini terbukti dengan terbitnya PP 49/2018 ini. Di dalam PP tersebut, kata Andi, PPPK ini hanya menampung dua jenis posisi pekerjaan yakni, pekerjaan bagi pejabat tinggi dan pejabat fungsional. Pejabat fungsional ini seperti guru, pengawas penyuluh dan lainnya.

“Dengan begitu, secara otomatis mereka tidak bisa diangkat menjadi PPPK. Sementara honorer yang ada di Indonesia inikan ada yang tenaga tekhnis juga. Jadi dengan PPPK ini, pegawai-pegawai honor tenaga teknis di OPD, kantor-kantor camat, statusnya ilegal, karena tidak diatur dalam PP 49/2018,” ungkap Andi yang saat itu di damping pengurus Forum Honorer se-Sumatera Utara diantaranya Bisri Syamsuri (Koordinator Honorer Tabagsel), Awaluddin SPdi (Batubara dan Pembina Honorer Sergai dan Asahan), Sumadi Yusuf (Deliserdang), Fahrul Lubis (Medan dan Pembina honorer Binjai dan Langkat) serta lainnya.

“Padahal janji Pak Presiden, ini adalah akhir cerita dari honorer. Karena setelah keluar PP ini tidak ada lagi istilah honorer. Awalnya kita berharap, ini benar-benar menjadi solusi, tapi ternyata malah menambah masalah. Makanya, secara bulat kami menolak PP 49/2018 dan menuntut janji Pak Presiden untuk menyelesaikan masalah honorer secara berkeadilan dan berkesejahteraan,” tegasnya.

Andi juga membeberkan beberapa alasan, mengapa mereka menolak PP 49/2018 itu. Menurutnya, PP ini sama sekali tidak menghargai kompetensi para honorer yang sudah belasan hingga puluhan tahun mengabdikan diri kepada pemerintah, baik di sekolah-sekolah maupun di kantor-kantor pemerintahan lainnya, seperti camat, SKPD/OPD dan lainnya. “Ini dibuktikan dengan tidak ada satu pasalpun dalam PP 49/2018 ini yang mengapresiasi terhadap kompetensi tenaga honorer ini. Sehingga semua kompetensi honorer dianggap nol. Honorer dianggap tidak ada kompetensi, karena harus diuji kembali sama seperti yang lain,” bebernya.

Selain itu, pemerintah juga tidak konsekwen dengan janjinya. Karena awalnya, PP 49 ini katanya sebagai solusi untuk masalah honorer, ternyata di dalam ketentuan umum PP tersebut dinyatakan, PP ini disiapkan bagi seluruh warga Negara Indonesia. “Jadi bukan hanya untuk honorer. Padahal katanya, ini adalah untuk honorer,” ketusnya.

Selain itu, mereka menolak PP 49/2018 ini juga karena PPPK tidak memiliki jaminan masa kerja. Bisa saja dalam satu atau dua tahun diputus masa kerjanya. “Karena setiap satu hingga lima tahun dievaluasi. Jadi, dalam masa kerja itu evaluasi bisa dilakukan dalam satu atau lima tahun. Jika tak memenuhi kompetensi, maka bisa diberhentikan,” sebutnya.

Forum Honorer menilai, jika yang melakukan penilaian masih kepala sekolah, kepala UPT, Kepala Dinas, maka dikhawatirkan penilaiannya tidak objektif. “Akan ada nilai subjektif di dalamnya. Ini yang terjadi di lapangan. Penilaian tergantung kepala sekolahnya, maka terjadilah intimidasi, akan terjadilah ketidaknyamanan kerja, karena dianggap “dewanya” itu kepala sekolah. Berbeda jika penilaiannya itu dilakukan oleh tim independen. Apalagi berdasarkan pengalaman dari kawan-kawan di daerah, jika dilakukan evaluasi oleh kepala sekolah, bukan berkasnya yang dilihat, tapi “lampirannya,” sebut Andi.

Andi juga mengaku kecewa dengan Forum Honorer Nasional yang terkesan membiarkan PP tentang PPPK ini terbit. “Harusnya mereka memberikan sanggahan atas PP ini, tapi kenyataann ya tidak,” katanya.

Dengan begitu, ditegaskan Andi lagi, Forum Honorer se-Sumatera Utara menolak PP 49/2018. Untuk itu, dalam waktu dekat mereka akan menyampaikan penolakan ini ke DPRD Sumut dan DPR RI. “Kita harap suara honorer Sumatera Utara ini dapat diperjuangkan para legislator kita baik di tingkat provinsi maupun di Pusat,” sebut Andi.

Selain itu, mereka juga akan menggelar pertemuan akbar dengan mengundang para anggota DPR RI dari Aceh hingga Lampung untuk mendukung penolakan ini. “Kita ingin, akan muncul kesepakatan kalau honorer se-Pulau Sumatera menolak PP 49/2018 ini,” tandasnya.(adz)

TOLAK: Ketua Forum Honorer Sumut Andi Subakti bersama pengurus honorer se-Sumut usai diskusi menelaah PP 49/2018 di Jalan Pelita 1, Medan Perjuangan, Minggu (9/12). Mereka sepakat menolak terbitnya PP tersebut.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Forum Honorer Sumatera Utara menolak keras Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pasalnya, berdasarkan telaah yang mereka lakukan, PP tersebut sama sekali tidak menjadi solusi bagi honorer K2, tapi malah sebaliknya, menambah masalah bagi honorer K2.

“Harapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar PP 49 Tahun 2018 ini bisa menuntaskan masalah honorer di Indonesia, jauh api dari panggang,” kata Andi Subakti, Ketua Forum Honorer Sumatera Utara kepada wartawan, Minggu (9/12).

Menurut Andi, pemerintah tampaknya tidak benar-benar ingin menuntaskan masalah honorer. Ini terbukti dengan terbitnya PP 49/2018 ini. Di dalam PP tersebut, kata Andi, PPPK ini hanya menampung dua jenis posisi pekerjaan yakni, pekerjaan bagi pejabat tinggi dan pejabat fungsional. Pejabat fungsional ini seperti guru, pengawas penyuluh dan lainnya.

“Dengan begitu, secara otomatis mereka tidak bisa diangkat menjadi PPPK. Sementara honorer yang ada di Indonesia inikan ada yang tenaga tekhnis juga. Jadi dengan PPPK ini, pegawai-pegawai honor tenaga teknis di OPD, kantor-kantor camat, statusnya ilegal, karena tidak diatur dalam PP 49/2018,” ungkap Andi yang saat itu di damping pengurus Forum Honorer se-Sumatera Utara diantaranya Bisri Syamsuri (Koordinator Honorer Tabagsel), Awaluddin SPdi (Batubara dan Pembina Honorer Sergai dan Asahan), Sumadi Yusuf (Deliserdang), Fahrul Lubis (Medan dan Pembina honorer Binjai dan Langkat) serta lainnya.

“Padahal janji Pak Presiden, ini adalah akhir cerita dari honorer. Karena setelah keluar PP ini tidak ada lagi istilah honorer. Awalnya kita berharap, ini benar-benar menjadi solusi, tapi ternyata malah menambah masalah. Makanya, secara bulat kami menolak PP 49/2018 dan menuntut janji Pak Presiden untuk menyelesaikan masalah honorer secara berkeadilan dan berkesejahteraan,” tegasnya.

Andi juga membeberkan beberapa alasan, mengapa mereka menolak PP 49/2018 itu. Menurutnya, PP ini sama sekali tidak menghargai kompetensi para honorer yang sudah belasan hingga puluhan tahun mengabdikan diri kepada pemerintah, baik di sekolah-sekolah maupun di kantor-kantor pemerintahan lainnya, seperti camat, SKPD/OPD dan lainnya. “Ini dibuktikan dengan tidak ada satu pasalpun dalam PP 49/2018 ini yang mengapresiasi terhadap kompetensi tenaga honorer ini. Sehingga semua kompetensi honorer dianggap nol. Honorer dianggap tidak ada kompetensi, karena harus diuji kembali sama seperti yang lain,” bebernya.

Selain itu, pemerintah juga tidak konsekwen dengan janjinya. Karena awalnya, PP 49 ini katanya sebagai solusi untuk masalah honorer, ternyata di dalam ketentuan umum PP tersebut dinyatakan, PP ini disiapkan bagi seluruh warga Negara Indonesia. “Jadi bukan hanya untuk honorer. Padahal katanya, ini adalah untuk honorer,” ketusnya.

Selain itu, mereka menolak PP 49/2018 ini juga karena PPPK tidak memiliki jaminan masa kerja. Bisa saja dalam satu atau dua tahun diputus masa kerjanya. “Karena setiap satu hingga lima tahun dievaluasi. Jadi, dalam masa kerja itu evaluasi bisa dilakukan dalam satu atau lima tahun. Jika tak memenuhi kompetensi, maka bisa diberhentikan,” sebutnya.

Forum Honorer menilai, jika yang melakukan penilaian masih kepala sekolah, kepala UPT, Kepala Dinas, maka dikhawatirkan penilaiannya tidak objektif. “Akan ada nilai subjektif di dalamnya. Ini yang terjadi di lapangan. Penilaian tergantung kepala sekolahnya, maka terjadilah intimidasi, akan terjadilah ketidaknyamanan kerja, karena dianggap “dewanya” itu kepala sekolah. Berbeda jika penilaiannya itu dilakukan oleh tim independen. Apalagi berdasarkan pengalaman dari kawan-kawan di daerah, jika dilakukan evaluasi oleh kepala sekolah, bukan berkasnya yang dilihat, tapi “lampirannya,” sebut Andi.

Andi juga mengaku kecewa dengan Forum Honorer Nasional yang terkesan membiarkan PP tentang PPPK ini terbit. “Harusnya mereka memberikan sanggahan atas PP ini, tapi kenyataann ya tidak,” katanya.

Dengan begitu, ditegaskan Andi lagi, Forum Honorer se-Sumatera Utara menolak PP 49/2018. Untuk itu, dalam waktu dekat mereka akan menyampaikan penolakan ini ke DPRD Sumut dan DPR RI. “Kita harap suara honorer Sumatera Utara ini dapat diperjuangkan para legislator kita baik di tingkat provinsi maupun di Pusat,” sebut Andi.

Selain itu, mereka juga akan menggelar pertemuan akbar dengan mengundang para anggota DPR RI dari Aceh hingga Lampung untuk mendukung penolakan ini. “Kita ingin, akan muncul kesepakatan kalau honorer se-Pulau Sumatera menolak PP 49/2018 ini,” tandasnya.(adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/