Jika ada sebutan “otot kawat tulang besi” maka gelar itu hanya disematkan kepada Gatotkaca. Karena kekuatan dan kesaktiannya yang bisa terbang tanpa mempergunakan sayap itu, tokoh pewayangan ini pun menjadi idola. Namun siapa sangka, keperkasaannya itu tak berarti apa-apa ketika langit tempatnya berkelana tercemari kabut asap. Akibatnya Gatotkaca pun KO dan mendarat di bumi.
Ya, lima hari lalu, dengan menggunakan masker di wajah, dua tokoh pewayangan, Gatot Kaca dan Raden Antasena, muncul di Bundaran Gatot Subroto, Medan. Keduanya menggunakan masker sebagai bentuk keprihatinan atas kabut asap yang tak kunjung teratasi oleh pemerintah.
Namun aksi kedua tokoh superhero lokal itu bukanlah sesungguhnya. Melainkan hanya diperankan oleh dua orang seniman muda Kota Medan. Tokoh Gatot Kaca diperankan Asep Sabar Mustaqim. Sementara Raden Antasena dilakonkan Ki Barong Mulyono.
“Saya ditelefon adik saya, Gatot Kaca. Dia bilang udara tidak nyaman, ternyata karena ada asap. Adik saya juga bertanya, kenapa negara yang makmur ini hidup enggak nyaman? Ini bentuk keprihatinan kami,” kata Antasena yang diperankan Ki Barong.
Gatot Kaca dan Raden Antasena juga melakukan aksi pengumpulan dana. Uang yang terkumpul akan digunakan untuk membeli masker yang akan
dikirim ke wilayah yang tercemar asap, seperti di Riau. Aksi ini pun diberi nama “Sejuta Masker untuk Indonesia’.
Penggunaan masker bagi warga Kota Medan saat ini memang dirasa penting. Terlebih setelah Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) mengungkapkan jika kondisi udara di Kota Medan masuk kategori tidak sehat. Kategori tersebut ditetapkan berdasarkan data Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) yang menunjukkan Kota Medan pada angka 166 ugr/m3.
“Bencana asap yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan masih belum dapat diatasi secara tuntas,” ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho kepada Sumut Pos, Jumat (9/10).
Dia menyebutkan, kualitas udara di Pekanbaru saat ini masih pada level Berbahaya (380 ugr/m3), Jambi 504 ugr/m3 (Berbahaya), Palembang 391 ugr/m3 (Berbahaya), Palangkaraya 983 ugr/m3 (Berbahaya), dan Pontianak 275 ugr/m3 (Sangat Tidak Sehat).
Menurutnya, berdasarkan pantauan Satelit Terra Aqua dari NASA, kemarin, tercatat ada 1.820 titik api (hot spot) yakni di Sumatera 1.563 titik (Sumsel 1.340, Riau 9, Jambi 131, Babel 22, Lampung 57, Kepri 1) dan di Kalimantan 257 titik (Kalbar 51, Kalteng 108, Kalsel 71, Kaltim 27).
“Lebih dari satu bulan hotspot di Sumsel belum juga dapat dipadamkan. Konsentrasi hotspot di Sumsel ini terdapat di perkebunan dan hutan tanaman industri di Kabupaten Ogan Komering Ilir,” sebutnya.
Di sisi lain, berdasar pantauan satelit dari NASA terlihat dengan jelas asap tebal diproduksi dari Kabupaten OKI dan Musi Banyuasin yang terbawa angin ke arah Barat Laut-Utara sehingga menambah kepekatan asap di Jambi dan Riau.
Untuk mengatasi hal ini, BNPB mengerahkan 7 helikopter dan pesawat water bombing, serta 1 pesawat Casa untuk membuat hujan buatan di Sumsel.
“Langkahnya awan potensial di Sumsel menyebabkan hujan buatan belum optimal. Beberapa helikopter water bombing akan dipindahkan homebase-nya ke OKI dan Muba untuk memudahkan pemadaman,” katanya.
Terkait pemadaman ini, sejumlah Negara tetangga telah mengulurkan tangan member bantuan. Kemarin (9/1) pemerintah mengirim bantuan satu pesawat CL415 Bombardier, satu pesawat Hercules C-130, 41 personel, dan logistik untuk water bombing. Sementara bantuan dari pemerintah Singapura ditunda hingga besok pagi.
“Setelah menurunkan barang, pesawat Hercules dan 19 personil kru pesawat serta wartawan kembali ke Malaysia malam ini juga,” kata Sutopo
Purwo Nugroho dalam keterangannya, Jumat (9/10).
Soal bantuan Singapura yang ditunda, Sutopo menjelaskan, menurut Atase Udara Singapore di Jakarta mundurnya jadwal pengiriman karena terkendala jarak pandang. Diketahui, jarak pandang di Palembang hanya berkisar 800 meter (m).
“Jarak pandang ini sangat berpengaruh terhadap aktivitas bandara setempat yang mengsyaratkan 1.000 meter sebagai jarak pandang minimum,” kata Sutopo.