25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

GATOT KACA pun KO

DANIL SIREGAR/SUMUT POS - Warga menggunakan kostum tokoh perwayangan ketika menggelar aksi "Gerakan Sejuta Masker Untuk Indonesia" di Bundaran Majestik Medan, Selasa (6/10). Aksi tersebut sebagai bentuk keprihatinan terhadap bencana kabut asap yang melanda kawasan Pulau Sumatera dan Kalimantan akibat kebakaran lahan dan hutan.
DANIL SIREGAR/SUMUT POS – Warga menggunakan kostum tokoh perwayangan ketika menggelar aksi “Gerakan Sejuta Masker Untuk Indonesia” di Bundaran Majestik Medan, Selasa (6/10). Aksi tersebut sebagai bentuk keprihatinan terhadap bencana kabut asap yang melanda kawasan Pulau Sumatera dan Kalimantan akibat kebakaran lahan dan hutan.

Terpisah, Kepala Balai Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara  Hidayati mengatakan, berdasarkan hasil pengujian dan analisa pihaknya selama dua pekan terakhir, ternyata hasil partikel debu jauh diambang batas. Artinya, asap kiriman tersebut mengandung partikel debu.

“Standar baku mutu adalah 230 mikro gram per nano meter kubik. Namun, dari hasil pengujian dan analisa ternyata melebihi dari itu,” ucapnya kepada Sumut Pos, kemarin.

Sebelumnya BLH Sumut sudah melakukan pengukuran udara di tiga tempat yakni Bandara Kualanamu, eks Bandara Polonia Medan dan Kantor Gubernur Sumut. Dari hasil pengujian dan analisa terhadap parameter SO2, NO2 dan TSP (Total Suspended Particulates atau debu) ini, diketahui bahwa tingkat TSP lebih tinggi. Menurut Hidayati, untuk Bandara Kuala Namu tingkat TSP mencapai 11.263 mikro gram per nano meter kubik, eks Bandara Polinia 9.169 mikro gram per nano meter kubik dan kantor Gubernur Sumut 4.000 mikro gram per nano meter kubik.

“Dari hasil ini, setiap satu meter kubik itu mengandung 11 gram per meter kubik. Artinya, udara di Medan sudah sangat membahayakan dengan kondisi asap yang seperti ini. Dengan kata lain, jauh diambang batas normal yang ada, 230 mikro gram per meter kubik,” terang dia.

Ia menyebutkan, untuk ketebalan asap (opasitas) mencapai 2 persen di Kuala Namu, 1,14 persen di eks Bandara Polonia Medan dan 1,0 % di Kantor Gubernur Sumut. “Saat ini kita akan mengukur lagi setelah pasca kabut asap ini, sudah seberapa jauh penurunannya. Walaupun sekarang ini asap kiriman masih ada,” katanya.

Meski begitu, BLH Sumut mengakui bahwa belum punya alat ukur untuk peningkatan atau penurunan asap. Sebab, pengukuran asap ini masih manual dan harus melakukannya di laboratorium. “Beberapa alat pengukuran udara yang ada di Medan tidak lagi berfungsi. Perlu diketahui, alat pengukuran itu sebenarnya hanya peraga saja. Untuk monitoring-nya ada di tempat lain,” beber dia.

Pihaknya akan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan mengenai sejauh mana tingkat pengidap ISPA (Inspeksi Saluran Pernafasan Akut) di Medan. “Nanti kita berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan soal bagaimana penurunan kesehatan masyarakat yang diakibatkan oleh kabut asap kiriman
ini, apakah memang meningkat penyakit sesak nafas atau ISPA,” imbuhnya.

Dengan demikian, dihimbau kepada masyarakat Kota Medan agar menjadikan masker sebagai alat kebutuhan primer untuk menghindari dampak kesehatan dari kabut asap ini. “Setiap guru di sekolah yang ada agar menyediakan masker tetap kepada siswa-siswinya. Jadi, masker merupakan suatu hal yang menjadi kebutuhan,” demikian dia.

Sementara itu pakar pencemaran udara Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Dr Arie Dipareza menjelaskan, apabila suatu daerah mencapai ISPU (indeks standar pencemaran udara) bertanda hitam, atau di atas angka 300, maka daerah itu dikatakan sudah sangat parah.”Ada hitungannya. Kalau hitam berarti sudah di atas ukuran baku mutu udara ambient,” katanya.

Saat itu, kualitas udara sudah sangat buruk bagi kesehatan manusia. Udara tersebut sudah mengandung hidro karbon yang menyebabkan bau tidak enak, partikulat serta asap (erosol) yang menyebabkan pandangan tidak jelas sekaligus sesak napas. “Kalau banyak kandungannya, maka semakin buruk kualitas udara itu,” kata dosen Teknik Lingkungan ITS tersebut.

DANIL SIREGAR/SUMUT POS - Warga menggunakan kostum tokoh perwayangan ketika menggelar aksi "Gerakan Sejuta Masker Untuk Indonesia" di Bundaran Majestik Medan, Selasa (6/10). Aksi tersebut sebagai bentuk keprihatinan terhadap bencana kabut asap yang melanda kawasan Pulau Sumatera dan Kalimantan akibat kebakaran lahan dan hutan.
DANIL SIREGAR/SUMUT POS – Warga menggunakan kostum tokoh perwayangan ketika menggelar aksi “Gerakan Sejuta Masker Untuk Indonesia” di Bundaran Majestik Medan, Selasa (6/10). Aksi tersebut sebagai bentuk keprihatinan terhadap bencana kabut asap yang melanda kawasan Pulau Sumatera dan Kalimantan akibat kebakaran lahan dan hutan.

Terpisah, Kepala Balai Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara  Hidayati mengatakan, berdasarkan hasil pengujian dan analisa pihaknya selama dua pekan terakhir, ternyata hasil partikel debu jauh diambang batas. Artinya, asap kiriman tersebut mengandung partikel debu.

“Standar baku mutu adalah 230 mikro gram per nano meter kubik. Namun, dari hasil pengujian dan analisa ternyata melebihi dari itu,” ucapnya kepada Sumut Pos, kemarin.

Sebelumnya BLH Sumut sudah melakukan pengukuran udara di tiga tempat yakni Bandara Kualanamu, eks Bandara Polonia Medan dan Kantor Gubernur Sumut. Dari hasil pengujian dan analisa terhadap parameter SO2, NO2 dan TSP (Total Suspended Particulates atau debu) ini, diketahui bahwa tingkat TSP lebih tinggi. Menurut Hidayati, untuk Bandara Kuala Namu tingkat TSP mencapai 11.263 mikro gram per nano meter kubik, eks Bandara Polinia 9.169 mikro gram per nano meter kubik dan kantor Gubernur Sumut 4.000 mikro gram per nano meter kubik.

“Dari hasil ini, setiap satu meter kubik itu mengandung 11 gram per meter kubik. Artinya, udara di Medan sudah sangat membahayakan dengan kondisi asap yang seperti ini. Dengan kata lain, jauh diambang batas normal yang ada, 230 mikro gram per meter kubik,” terang dia.

Ia menyebutkan, untuk ketebalan asap (opasitas) mencapai 2 persen di Kuala Namu, 1,14 persen di eks Bandara Polonia Medan dan 1,0 % di Kantor Gubernur Sumut. “Saat ini kita akan mengukur lagi setelah pasca kabut asap ini, sudah seberapa jauh penurunannya. Walaupun sekarang ini asap kiriman masih ada,” katanya.

Meski begitu, BLH Sumut mengakui bahwa belum punya alat ukur untuk peningkatan atau penurunan asap. Sebab, pengukuran asap ini masih manual dan harus melakukannya di laboratorium. “Beberapa alat pengukuran udara yang ada di Medan tidak lagi berfungsi. Perlu diketahui, alat pengukuran itu sebenarnya hanya peraga saja. Untuk monitoring-nya ada di tempat lain,” beber dia.

Pihaknya akan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan mengenai sejauh mana tingkat pengidap ISPA (Inspeksi Saluran Pernafasan Akut) di Medan. “Nanti kita berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan soal bagaimana penurunan kesehatan masyarakat yang diakibatkan oleh kabut asap kiriman
ini, apakah memang meningkat penyakit sesak nafas atau ISPA,” imbuhnya.

Dengan demikian, dihimbau kepada masyarakat Kota Medan agar menjadikan masker sebagai alat kebutuhan primer untuk menghindari dampak kesehatan dari kabut asap ini. “Setiap guru di sekolah yang ada agar menyediakan masker tetap kepada siswa-siswinya. Jadi, masker merupakan suatu hal yang menjadi kebutuhan,” demikian dia.

Sementara itu pakar pencemaran udara Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Dr Arie Dipareza menjelaskan, apabila suatu daerah mencapai ISPU (indeks standar pencemaran udara) bertanda hitam, atau di atas angka 300, maka daerah itu dikatakan sudah sangat parah.”Ada hitungannya. Kalau hitam berarti sudah di atas ukuran baku mutu udara ambient,” katanya.

Saat itu, kualitas udara sudah sangat buruk bagi kesehatan manusia. Udara tersebut sudah mengandung hidro karbon yang menyebabkan bau tidak enak, partikulat serta asap (erosol) yang menyebabkan pandangan tidak jelas sekaligus sesak napas. “Kalau banyak kandungannya, maka semakin buruk kualitas udara itu,” kata dosen Teknik Lingkungan ITS tersebut.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/