MEDAN, SUMUTPOS.CO- Pelayanan publik di Sumut selama tahun 2014 masih sangat memprihatinkan. Bahkan, masih banyak pejabat penyelenggara pelayanan publik yang belum memahami pelayanan publik.
“Bagaimana penyelenggaraan pelayanan publik terlaksana dengan baik dan prima kalau para penyelenggaranya saja, terutama birokrat, tak tahu apa itu pelayanan publik?” tegas Kepala Perwakilan Ombudsman RI Sumut Abyadi Siregar, Minggu (11/1) siang.
Padahal, lanjut Abyadi, sangat banyak perangkat hukum dan peraturan yang menjelaskan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik merupakan kewajiban bagi para penyelenggara pelayan publik, terutama birokrat. Seperti halnya ditegaskan dalam UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Bahkan, dalam UU Pemerintahan Daerah (Pemda) No 23 tahun 2014, juga ditegaskan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik merupakan kewajiban bagi penyelenggara pelayanan publik.
Abyadi didampingi asisten Dedy Irsan, Ricky Nelson Hutahaean, Tetty Silaen dan Edward Silaban mengatakan, untuk memberi gambaran buruknya pelayanan publik di Sumut, Abyadi kemudian memaparkan hasil survei dan monitoring yang dilakukan Ombudsman.
“Waktu kita survey akhir 2013, di Pemprov Sumut, baru 1 SKPD yang masuk zona hijau atau masih buruk. Lalu di 2014 ada perbaikan, karena sudah ada 7 yang masuk zona hijau. Tapi tentu ini tak sebanding dengan jumlah SKPD di Pemprovsu. Di Pemko Medan memang lebih baik. Pada survey 2013 ada 3 SKPD zona hijau. Sekarang ada 14 SKPD. Ini menjadi potret bahwa secara umum pelayanan publik di Sumut itu masih buruk,” ungkap Abyadi.
Lebih lanjut Abyadi mengatakan, bila dilihat secara keseluruhan, baru dua pemerintahan di Sumut yang memiliki komitmen melakukan perbaikan pelayanan publik, yaitu Pemprov Sumut dan Pemko Medan. Padahal memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat mutlak dilakukan oleh setiap Pemda.
Abyadi mencontohkan Kabupaten Sergai yang disebut-sebut memiliki pelayanan publik yang baik dengan sistem pelayanan terpadu. Tapi menurutnya, secara umum pelayanan publik di kabupaten tersebut juga masih memprihatinkan.
”Kita memang belum pernah melakukan survey ke Sergai. Tetapi kita pernah melakukan supervisi, yaitu melihat secara umum pelayanan publik di sana. Dan dari kondisi yang kita lihat, itu masih memprihatikan. Hanya di instansi pelayanan terpadu yang sudah cukup baik,” ujarnya.
Dikatakan Abyadi, kondisi ini sangat disayangkan karena sebagai penyelenggara negara, para pejabat pemerintah justru tidak memahami arti pelayanan publik.”Ini yang membuat kita kecewa pada pemerintah. Karena UU Pelayanan Publik itu sudah ada sejak tahun 2009. Sedangkan lembaga yang mengawasinya (Ombudsman) sudah ada dari tahun 2008,” sebut Abyadi.
Abyadi mengatakan, ketidaktahuan ini kemungkinan disebabkan karena para birokrat tidak pernah membuka undang-undang dan peraturan yang mengatur tentang pelayanan publik itu sendiri. Sementara, pemerintah pusat kurang melakukan sosialisasi sehingga pemerintah daerah tidak memahaminya.
Oleh karena itu, 2015 ini, Ombudsman akan terus meningkatkan sosialisasi, terutama kepada instansi-instansi pemerintah, sehingga mereka dapat melakukan percepatan perbaikan pelayanan publik. Ombudsman menyarankan penyelenggara pelayanan publik, khususya di daerah, agar ke depan lebih memprioritaskan perbaikan pelayanan publik. Karena selain merupakan amanah UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dalam UU Pemerintahan Daerah No 23 tahun 2014, juga ada secara khusus mengatur pelayanan publik, khususnya BAB-XIII.
“Dalam pasal 351 ditegaskan, penyelenggaraan pelayanan publik merupakan kewajiban pemerintah daerah. Pada ayat 1 juga disebutkan bahwa masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik kepada Ombudsman,” tegasnya.
Dan dalam ayat 5 dijelaskan, bahwa kepala daerah yang tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman diberi sanksi berupa pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan. Selama menjalani sanksi pembinaan, tugas dan kewenangan kepala daerah dilaksanakan oleh wakil kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk. “Jadi, dari situ saja bisa kita lihat bahwa persoalan pelayanan publik ini bukan hal sepele. Khususnya oleh pemerintah daerah yang selama ini banyak diadukan oleh masyrakat,” ujar Abyadi.
Pemda Terbanyak Dilaporkan
Secara rinci Abyadi menjelaskan, dari 175 laporan pengaduan yang diterima Ombudsman Sumut pada tahun 2014, instansi yang paling banyak dilaporkan masyarakat adalah pemerintah daerah dengan 83 aduan atau 49,4 persen, disusul kepolisian dengan 35 kasus atau 20,83 persen dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebanyak 16 kasus (9,52 persen).
Karena itu, tahun 2015 ini Ombudsman menargetkan untuk meningkatkan sosialisasi dan bimbingan kepada Pemda di Sumut, agar mengetahui tentang itu pelayanan publik dan melakukan perbaikan. Ombudsman juga meminta agar seluruh Pemda di Sumut mengalokasikan anggaran pelayanan publik dalam APBD masing-masing.”Dengan demikian, perhatian Pemda terhadap pelayanan publik akan semakin baik. Itu ditandai dengan upaya percepatan pelayanan publik di daerahnya masing-masing,” ucap Abyadi.
Masih Abyadi, pihaknya juga meminta agar tahun ini, kepala daerah, mulai dari gubernur sampai bupati walikota memimpin langsung proses perbaikan pelayanan publik di daerah yang dipimpinnya. Karena dalam UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, kepala daerah adalah pembina pelayanan publik. Sehingga perannya sangat penting dalam proses perbaikan pelayanan publik di daerahnya.
Selain itu, Pemda juga diminta untuk segera merealisasikan Permendagri No 24 tahun 2006 dan surat edaran Mendagri No 061/3023/SJ-R.2012 dan instruksi Mendagri No 570/3203/SJ yang isinya tentang percepatan pelimpahan kewenangan perizinan dari pemerintahan provinsi, kabupaten/kota kepada Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP).(gus/ila)