Manajemen RS Estomihi Medan membantah menelantarkan seorang pasien yang masih balita hingga tewas di ruang Unit Gawat Darurat (UGD) pada 5 Maret 2013.
Bantahan itu disampaikan manajemen RS Estomihi melalui Direktur RS Estomihi dr Andri Asituah Sitorus kepada Sumut Pos, tanggal 9 Maret 2013. Dalam bantahannya yang dibuat secara tertulis; pada 5 Maret 2013, sekitar pukul 22.30 WIB, RS Estomihi Medan ada menerima pasien yang bernama Rizky diantar oleh neneknya yang kemudian disusul oleh ibunya Rizky yang mengaku bernama Yuanita Sarah (20) bukan Yesi Isabela dan tidak ada bapaknya mengantar yang disebut Dudi Iskandar.
Pasien warga Jalan Bakti, Gang Pendidikan Medan itu diterima oleh dr Putri dan dibantu oleh petugas medis Samsudin Harahap dan Chandra. “Pasien tidak benar diantar oleh suami istri, Dudi Iskandar dan Jasi Isaballe, sebagaimana diberitakan,” katanya.
Dia menyebutkan, saat pasien datang ke RS Estomihi, berat badannya 7 Kg, temperature 39,5, keadaan lemah, dehidrasi, akral dingin, mata cekung dan menurut keluarga pasien, Rizky sebelum dibawa ke RS Estomohi, terlebih dahulu dibawa berobat ke dokter lain dan telah lebih satu minggu mencret, tidak sembuh-sembuh.
Melihat kondisi pasien, setelah dikonsultasikan kepada dokter spesialis anak yang bekerja di RS Estomihi, keluarga pasien dianjurkan membawa pasien ke RSUP Haji Adam Malik Medan atau RSU Pirngadi, karena kelengkapan peralatan medis diyakini lebih lengkap disana. “Tapi keluarga pasien berpendirian agar pasien dirawat di RS Estomihi,” ujarnya.
Selanjutnya, atas petunjuk dokter anak di RS Estomihi, dilakukan tindakan medis sesuai standart pengobatan yang cukup. Karena dipandang perlu, setelah mendapat persetujuan dari keluarga pasien, maka pasien ditempatkan/dirawat di ruang Intensive Care Unit (ICU). Pada Rabu (11/3) dinihari sekitar pukul 00.30, Rizky meninggal dunia.
“Jadi yang benar dilakukan tindakan medis terlebih dahulu dan pasien telah dirawat di ruang ICU, kemudian pihak RS Estomihi meminta panjar biaya perawatan kepada keluarga pasien dan disanggupi membayar Rp1 juta.
Berdasarkan kenyataan tersebut, ternyata bukan berdasarkan pembayaran uang panjar terlebih dahulu, baru dilakukan tindak medis terhadap pasien atas nama Rizky,” paparnya.
Andri Asituah Sitorus menyatakan, berita yang disebutkan keluarga pasien meninggalkan sepeda motornya sebagai jaminan untuk membawa mayat pulang, merupakan berita bohong. Sebab hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh RS Estomihi. “Keluarga pasien tidak membawa sepeda motor ketika pasien dibawa ke RS Estomihi. Tidak benar RS Estomihi menelantarkan bayi hingga tewas,” tambahnya.
Selain itu, RS Estomihi menyebutkan pasal UU yang disebutkan dalam berita tentang pasal 6 UU No. 44/2009 dan Pasal 55 UU No. 23/1992 adalah merupakan rujukan bersifat pembohongan publik, sebab pasal 6 UU No.
4/2009 adalah mengenai tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah, bukan tanggung jawab rumah sakit swasta (RS Estomihi) dan UU No. 23/1992 telah dicabut dan tidak berlaku lagi.
Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan yang mendampingi keluarga korban masih menunggu itikad baik dari manajemen rumah sakit. Namun, hingga kini, pihak rumah sakit nampaknya tidak menanggapi surat permintaan klarifikasi dan tanggungjawab yang dilayangkan LBH Medan.
“Kita sudah surati pihak rumah sakit. Tapi belum ada tanggapan. Memang benar yang membuat laporan ini ke LBH Medan adalah uwaknya korban. Uwaknya memang tidak tahu pasti bagaimana peristiwa itu. Tapi berdasarkan pengakuan uwaknya yang saat itu mengantar korban ke rumah sakit adalah orangtua korban,” ujar Ketua LBH Medan melalui Staff Anggun Rizal Pribadi, Senin (11/3).
Namun terlepas dari itu, LBH Medan mengaku kecewa dengan penanganan yang diberikan pihak rumah sakit terhadap pasien miskin. “Pihak rumah sakit harusnya langsung mengatar korban ke rumah sakit rujukan dengan fasilitas yang mereka punya misalnya ambulan.
Krna pihak rumah sakit lah yang lebih tau bahwa pasien ini membutuhkan perawatan secepat mungkin. Apalagi bayi ini dalam keadaan sakit parah,” jelasnya.
Dirinya pun mengaku memiliki rincian biaya yang ditagih pihak RS Estomihi Medan kepada keluarga korban. Bahkan yang mengherankan dari rincian tagihan itu, disebutkan pula pihak keluarga korban harus membayar biaya menelpon dokter sebesar Rp300 ribu.
“Untuk masalah biaya, kita juga punya perinciannya total Rp1,8 juta. Bahkan yang tidak masuk akal, dalam perincian biayanya itu ada biaya untuk telpon dokter dan pembayaran pulsa Rp300 ribu. Kita ada buktinya,” tegas Anggun
Anggun menganggap wajar bila pihak RS Estomihi Medan membantah semua yang dituduhkan pada mereka. “Makanya kalau rumah sakit membantah, itu merupakan pembelaan mereka dan kita anggap itu wajar. Yang kita tidak terima kalau pihak RS mngaku sudah ada memberikan perawatan kepada pasien. Krna kenyataannya lain dari sebenarnya. Kok seperti ini pihak RS memberikan pelayanan kepada masyarakat yang tidak mampu,” urainya.
LBH Medan sendiri masih menunggu kedatangan pihak keluarga korban dalam hal ini orangtua korba. “Saya juga sudah berikan ultimatum bahwa LBH tidak main-main menangani perkara ini.
Jadi pihak keluarga harus mempertanggungjawabkan laporannya ke LBH. Jawaban mereka hingga kini pihak RS memang belum ada menghubungi mereka. Keluarga korban mengaku siap dengan laporannya mereka ke LBH,” jelasnya.
Lantas, bagaimana nantinya bila keluarga korban mengambil langkah damai dengan pihak rumah sakit? “Bila nantinya pihak keluarga mngambil langkah damai dengan pihak RS, kita tetap akan minta pertanggugjawaban pihak rumah sakit. Ini adalah perkara yang harus ditindaklanjuti walaupun ada perdamaian. Karna langkah damai tidak menggugurkan tindak pidana,” tegasnya. (far)