26 C
Medan
Friday, June 28, 2024

PT Medan Jamin Banding Tamin Sukardi Tanpa Intervensi

Tamin Sukardi selama menjalani persidangan di PN Medan, Senin (6/8).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pengadilan Tinggi  (PT) Medan menjamin penanganan perkara banding terdakwa Tamin Sukardi akan dilakukan sesuai fakta tanpa intervensi dari luar.

Humas Pengadilan Tinggi Medan, Adi Sutrisno mengatakan, hakim yang menangani perkara banding Tamin Sukardi sudah terukur kredibilitas serta integritasnya dalam menangani perkara-perkara besar. Ia yakin para hakim Pengadilan Tinggi tidak akan mau diintervensi oleh siapapun dalam menangani sebuah perkara.

“Hakim di sini sudah menyadari betul integritas dia sebagai hakim. Hakim punya kredibiltas, punya integritas untuk memutus sesuai fakta, bukan memutus karena intervensi dari luar. Saya yakin betul, hakim di sini tidak akan berpengaruh dari luar,” kata Adi Sutrisno kepada wartawan di kantornya akhir pekan lalu.

Adi menyatakan, bahwasannya saat ini Pengadilan Tinggi Medan tengah mempelajari putusan banding untuk perkara nomor 20 pidsus-TPK/2018/PT MDN atas nama Tamin Sukardi. Adi menyebut ada tiga orang hakim yang ditunjuk untuk menangani kasus ini yaitu Dasniel, SH MH, DR Albertina Ho dan DR Mangasa Manurung, SH.MKN.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Medan bulan Agustus lalu memvonis Tamin Sukardi dengan hukuman 6 tahun penjara dan ganti rugi Rp 232 miliar karena melakukan tindak pidana korupsi penjualan lahan eks HGU PTPN II di desa Helvetia, Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara.

Atas putusan ini, kuasa hukum Tamin Sukardi mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Medan.

Kuasa hukum Tamin Sukardi, H Fachruddin Rifai, SH MHum menyatakan vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Medan yang memutuskan Tamin Sukardi bersalah melakukan tindak pidana korupsi penjualan lahan eks HGU PTPN II merupakan keliru besar.

Fachruddin menyatakan bagaimana mungkinTamin Sukardi dinyatakan bersalah, sementara fakta-fakta dan saksi-saksi yang terkutip di transkrip pengadilan menyatakan sebaliknya. Fachruddin menilai putusan persidangan Tamin Sukardi di Pengadilan Negeri Medan beberapa waktu lalu sangat dipaksakan dan sarat tekanan.

Diutarakan Fachruddin, lahan eks HGU PTPN II dimaksud sesungguhnya sudah ada putusan perdata yang berkekuatan hukum tetap yang menyebutkan para ahli waris pemegang hak tahun 1954 adalah pemilik sah atas lahan eks HGU dan sudah dilakukan eksekusi tahun 2011. “Pertanyaannya, apakah penetapan eksekusi oleh pengadilan sudah tidak lagi berharga di negeri ini,” ujar Fachruddin.

Ia menjelaskan adalah fakta hukum bahwa lahan eks HGU tersebut sudah tidak lagi menjadi milik PTPN II, dan seharusnya dilakukan hapusbuku sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Fachruddin menambahkan hal ini didukung oleh fatwa Pengadilan Tinggi Medan bahwa proses penghapusbukuan merupakan tindakan administrasi yang berlaku secara internal di lingkungan BUMN dan tidak menghalangi proses permohonan hak baru.

“Kita bertanya kenapa “kealpaan” PTPN II dalam menghapusbuku lahan yang sudah dieksekusi oleh pengadilan menjadi masalah Tamin Sukardi,” kata Fachruddin dengan nada heran.

Fachruddin mengungkap bahwa lahan 106 hektar di Desa Helvetia yang dipersoalkan telah dilakukan hapusbuku oleh PTPN II pada Desember 2017 setelah memperoleh Legal Opini dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pada Maret 2017. “Isi Legal Opini Kejati Sumut menyatakan tidak ada ganti rugi, itu artinya tidak mungkin ada kerugian. Namun, kenapa Kejaksaan Agung justru mentersangkakan Tamin Sukardi dan menahannya sejak 30 Oktober 2017,” ungkapnya.

Menurut Fachruddin, ini sangat ironis dimana pertimbangan hukum legal opini Kejati Sumut  tidak dihiraukan oleh Kejaksaan Agung, padahal dalam pasal 2 ayat 3 UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan,  terdapat  asas  ‘Kejaksaan satu dan tidak terpisahkan’ (openbaar ministerieis een en ondwelbaaren de procurwur generaal aan het hoofd).

Ia juga menyoal Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ditunjuk kejaksaan juga tidak pernah hadir di persidangan untuk membuktikan hasil audit yang hanya diambil dari catatan keuangan PT ACR. “Selama proses persidangan berlangsung terkesan ada personal vendetta terhadap klien kami dan itu nampak dari putusan Pengadilan Negeri yang aneh itu,” tandas Fachruddin.

Menanggapi keanehan ini, Adi menyatakan bahwa mereka tidak boleh mengomentari sebuah perkara yang sudah diputus oleh hakim.

“Kode etik tidak mengizinkan kami sebagai hakim Pengadilan Tinggi untuk mengomentari putusan hakim Pengadilan Negeri Medan,” tandasnya. Adi menerangkan bahwa pihaknya hanya berkewajiban memeriksa dan mengadili sesuai dengan hasil kajian dan hukum dan tentu tidak akan keluar dari koridor hukum.  “Kami hanya bisa mengadili ketika perkara itu sudah dibawa ke sini (PT Medan),” kata Adi.

Ia juga menyatakan yang terpenting bagi hakim adalah hakim tidak boleh keluar dari frame surat dakwaan Jaksa. “Terbukti atau tidak, kalau terbukti dinyatakan salah, dipidana. Kalau tidak terbukti dibebaskan. Kalau terbukti perbuatannya tapi bukan merupakan tindak pidana itu nanti dionslag atau dibebaskan dari segala tuntutan,” ujarnya.

Kepala Laboratorium Fakultas Hukum USU, Dr Edi Yunara mengungkapkan dalam proses hukum yang terjadi terhadap Tamin Sukardi cukup ganjil. Edi menyebur proses hukumnya bila dikaji dalam teori, menerapkan Crime Control Model yang secara sederhana menekankan kepada asas praduga bersalah.

Menurut Edi, dalam perkara ini putusan hukum terhadap terdakwa bersumber dari dakwaan jaksa dinilai keliru. Sebagai contoh, sebut Edi, pelakunya satu orang tetapi diterapkan Pasal 55 KUHP. Hal ini jelas bertolak belakang, karena dalam penerapan pasal tersebut cenderung lebih dari satu orang pelakunya.

“ Kalau seperti ini kondisi hukum kita, tentu masyarakat akan takut menjadi saksi karena bakal terlibat lantaran mengetahui,” (azw)

Tamin Sukardi selama menjalani persidangan di PN Medan, Senin (6/8).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pengadilan Tinggi  (PT) Medan menjamin penanganan perkara banding terdakwa Tamin Sukardi akan dilakukan sesuai fakta tanpa intervensi dari luar.

Humas Pengadilan Tinggi Medan, Adi Sutrisno mengatakan, hakim yang menangani perkara banding Tamin Sukardi sudah terukur kredibilitas serta integritasnya dalam menangani perkara-perkara besar. Ia yakin para hakim Pengadilan Tinggi tidak akan mau diintervensi oleh siapapun dalam menangani sebuah perkara.

“Hakim di sini sudah menyadari betul integritas dia sebagai hakim. Hakim punya kredibiltas, punya integritas untuk memutus sesuai fakta, bukan memutus karena intervensi dari luar. Saya yakin betul, hakim di sini tidak akan berpengaruh dari luar,” kata Adi Sutrisno kepada wartawan di kantornya akhir pekan lalu.

Adi menyatakan, bahwasannya saat ini Pengadilan Tinggi Medan tengah mempelajari putusan banding untuk perkara nomor 20 pidsus-TPK/2018/PT MDN atas nama Tamin Sukardi. Adi menyebut ada tiga orang hakim yang ditunjuk untuk menangani kasus ini yaitu Dasniel, SH MH, DR Albertina Ho dan DR Mangasa Manurung, SH.MKN.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Medan bulan Agustus lalu memvonis Tamin Sukardi dengan hukuman 6 tahun penjara dan ganti rugi Rp 232 miliar karena melakukan tindak pidana korupsi penjualan lahan eks HGU PTPN II di desa Helvetia, Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara.

Atas putusan ini, kuasa hukum Tamin Sukardi mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Medan.

Kuasa hukum Tamin Sukardi, H Fachruddin Rifai, SH MHum menyatakan vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Medan yang memutuskan Tamin Sukardi bersalah melakukan tindak pidana korupsi penjualan lahan eks HGU PTPN II merupakan keliru besar.

Fachruddin menyatakan bagaimana mungkinTamin Sukardi dinyatakan bersalah, sementara fakta-fakta dan saksi-saksi yang terkutip di transkrip pengadilan menyatakan sebaliknya. Fachruddin menilai putusan persidangan Tamin Sukardi di Pengadilan Negeri Medan beberapa waktu lalu sangat dipaksakan dan sarat tekanan.

Diutarakan Fachruddin, lahan eks HGU PTPN II dimaksud sesungguhnya sudah ada putusan perdata yang berkekuatan hukum tetap yang menyebutkan para ahli waris pemegang hak tahun 1954 adalah pemilik sah atas lahan eks HGU dan sudah dilakukan eksekusi tahun 2011. “Pertanyaannya, apakah penetapan eksekusi oleh pengadilan sudah tidak lagi berharga di negeri ini,” ujar Fachruddin.

Ia menjelaskan adalah fakta hukum bahwa lahan eks HGU tersebut sudah tidak lagi menjadi milik PTPN II, dan seharusnya dilakukan hapusbuku sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Fachruddin menambahkan hal ini didukung oleh fatwa Pengadilan Tinggi Medan bahwa proses penghapusbukuan merupakan tindakan administrasi yang berlaku secara internal di lingkungan BUMN dan tidak menghalangi proses permohonan hak baru.

“Kita bertanya kenapa “kealpaan” PTPN II dalam menghapusbuku lahan yang sudah dieksekusi oleh pengadilan menjadi masalah Tamin Sukardi,” kata Fachruddin dengan nada heran.

Fachruddin mengungkap bahwa lahan 106 hektar di Desa Helvetia yang dipersoalkan telah dilakukan hapusbuku oleh PTPN II pada Desember 2017 setelah memperoleh Legal Opini dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pada Maret 2017. “Isi Legal Opini Kejati Sumut menyatakan tidak ada ganti rugi, itu artinya tidak mungkin ada kerugian. Namun, kenapa Kejaksaan Agung justru mentersangkakan Tamin Sukardi dan menahannya sejak 30 Oktober 2017,” ungkapnya.

Menurut Fachruddin, ini sangat ironis dimana pertimbangan hukum legal opini Kejati Sumut  tidak dihiraukan oleh Kejaksaan Agung, padahal dalam pasal 2 ayat 3 UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan,  terdapat  asas  ‘Kejaksaan satu dan tidak terpisahkan’ (openbaar ministerieis een en ondwelbaaren de procurwur generaal aan het hoofd).

Ia juga menyoal Kantor Akuntan Publik (KAP) yang ditunjuk kejaksaan juga tidak pernah hadir di persidangan untuk membuktikan hasil audit yang hanya diambil dari catatan keuangan PT ACR. “Selama proses persidangan berlangsung terkesan ada personal vendetta terhadap klien kami dan itu nampak dari putusan Pengadilan Negeri yang aneh itu,” tandas Fachruddin.

Menanggapi keanehan ini, Adi menyatakan bahwa mereka tidak boleh mengomentari sebuah perkara yang sudah diputus oleh hakim.

“Kode etik tidak mengizinkan kami sebagai hakim Pengadilan Tinggi untuk mengomentari putusan hakim Pengadilan Negeri Medan,” tandasnya. Adi menerangkan bahwa pihaknya hanya berkewajiban memeriksa dan mengadili sesuai dengan hasil kajian dan hukum dan tentu tidak akan keluar dari koridor hukum.  “Kami hanya bisa mengadili ketika perkara itu sudah dibawa ke sini (PT Medan),” kata Adi.

Ia juga menyatakan yang terpenting bagi hakim adalah hakim tidak boleh keluar dari frame surat dakwaan Jaksa. “Terbukti atau tidak, kalau terbukti dinyatakan salah, dipidana. Kalau tidak terbukti dibebaskan. Kalau terbukti perbuatannya tapi bukan merupakan tindak pidana itu nanti dionslag atau dibebaskan dari segala tuntutan,” ujarnya.

Kepala Laboratorium Fakultas Hukum USU, Dr Edi Yunara mengungkapkan dalam proses hukum yang terjadi terhadap Tamin Sukardi cukup ganjil. Edi menyebur proses hukumnya bila dikaji dalam teori, menerapkan Crime Control Model yang secara sederhana menekankan kepada asas praduga bersalah.

Menurut Edi, dalam perkara ini putusan hukum terhadap terdakwa bersumber dari dakwaan jaksa dinilai keliru. Sebagai contoh, sebut Edi, pelakunya satu orang tetapi diterapkan Pasal 55 KUHP. Hal ini jelas bertolak belakang, karena dalam penerapan pasal tersebut cenderung lebih dari satu orang pelakunya.

“ Kalau seperti ini kondisi hukum kita, tentu masyarakat akan takut menjadi saksi karena bakal terlibat lantaran mengetahui,” (azw)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/