26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Perikanan Sumut Kurang Dipercaya, Bank Berat Beri Kredit

MEDAN-Sumatera Utara yang memiliki garis pantai panjang ternyata kurang dipercayai dalam bisnis perikanan. Ini terbukti dengan sikap perbankan yang cenderung berat memberikan kredit pada bisnis perikanan.

Agunan dan tidak adanya produksi dari bisnis perikanan masih menjadi alasan minimnya kucuran dana ke sektor ini. Walaupun mengalami pertumbuhan sebesar 6,87 persen periode Januari hingga Mei 2012 dibandingkan tahun lalu., pihak bank tetap saja masih sulit memberikan pinjaman pada sektor ini.
Periode Januari-Mei 2012, berdasarkan data Bank Indonesia Kantor perwakilan Sumut-NAD, total kredit yang dikucurkan perbankan Sumut sebesar Rp168,7 miliar. Dengan porsi terbesar diberikan kepada bisnis budidaya biota laut yakni sebesar 28,07% dan penangkapan ikan sebesar 23,63%.
“Bisnis perikanan yang berkembang di Sumut, yaitu penangkapan ikan tuna, udang, crustasea, dan ikan lainnya,” ujar Deputi Direktur Ekonomi dan Moneter BI Kantor Perwakilan Sumut-NAD, Mikael Budisatrio.

Mikael menjelaskan, hingga saat ini, agunan masih menjadi persoalan yang menghambat sektor perikanan sehingga pertumbuhannya kecil. Agunan sektor tersebut belum mengikat seperti kapal, tambak atau lainnya. Bank kesulitan memperoleh sertifikat dari barang-barang tersebut. Selain itu risikonya lebih tinggi terhadap cuaca atau persoalan lainnya sehingga tidak bisa dianggap sebagai jaminan. “Apalagi barang-barang tersebut belum memiliki asuransi, sehingga menyulitkan bank memproses apabila terjadi sesuatu yang di luar perkiraan,” tambahnya.

Hal lain yang menjadi hambatan karena volume tidak menentu yang terkendala oleh cuaca. “Khusus pada perikanan tangkapan yang produksinya tidak stabil. Bukannya ingin menyebutkan tinggi risiko tapi hanya saja belum ada jaminan pasti yang bisa menjadi pegangan perbankan untuk mengucurkan kredit,” ujarnya.

Di Sumut, Medan mendapatkan kuncuran kredit yang paling besar, sebanyak 55 persen dari jumlah keseluruhan.  Setelah itu disusul Sibolga 19,33 persen, Pematangsiantar 9,9 persen, Asahan 4,48 persen, Tanjungbalai 2,62 persen,  dan Karo 1,95 persen. “Di Medan, bisnis perikanannya banyak di Belawan dan Labuhan. Sedangkan pada daerah dataran tinggi, banyak terdapat budidaya perikanan darat seperti budidaya nila dan ikan tawar lainnya,” jelasnya.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sumut Irfan Mutyara mengakui sektor perikanan memang masih memiliki banyak masalah karena ketidakseimbangan perkembangan. Dari sisi perbankan, diakuinya pasti memikirkan risiko. Risiko ini terkait dengan integrasi berbagai sisi mulai dari hulu hingga hilir. “Mulai dari produksi, distribusi hingga menuju industri harus berkembang agar perbankan bisa leluasa masuk. Kalau semua sisi itu bisa dibuat secara terintegrasi seperti Thailand dan Jepang yang memiliki bisnis perikanan bagus, tentu bank bersedia masuk ke sektor tersebut,” katanya.
Dari sisi nelayan, prilakunya juga perlu diubah dengan bantuan pemerintah daerah (Pemda). Pemda harus menjadi lead mengubah seluruh sisi tersebut. Apabila hal tersebut bisa dilakukan, pengusaha akan sangat mudah mengembangkan industri tersebut. “Kalau sudah begitu, bank akan sangat berkeinginan membantu sektor tersebut. Namun perbaikannya harus terintegrasi dari hulu hingga hilir,” jelasnya.

Hingga saat ini, para nelayan juga masih meributkan sulitnya menerima pinjaman dari bank. Para nelayan tersebut mengakui, bahwa mereka sama sekali tidak memiliki agunan yang diharapkan oleh pihak bank. (ram)

MEDAN-Sumatera Utara yang memiliki garis pantai panjang ternyata kurang dipercayai dalam bisnis perikanan. Ini terbukti dengan sikap perbankan yang cenderung berat memberikan kredit pada bisnis perikanan.

Agunan dan tidak adanya produksi dari bisnis perikanan masih menjadi alasan minimnya kucuran dana ke sektor ini. Walaupun mengalami pertumbuhan sebesar 6,87 persen periode Januari hingga Mei 2012 dibandingkan tahun lalu., pihak bank tetap saja masih sulit memberikan pinjaman pada sektor ini.
Periode Januari-Mei 2012, berdasarkan data Bank Indonesia Kantor perwakilan Sumut-NAD, total kredit yang dikucurkan perbankan Sumut sebesar Rp168,7 miliar. Dengan porsi terbesar diberikan kepada bisnis budidaya biota laut yakni sebesar 28,07% dan penangkapan ikan sebesar 23,63%.
“Bisnis perikanan yang berkembang di Sumut, yaitu penangkapan ikan tuna, udang, crustasea, dan ikan lainnya,” ujar Deputi Direktur Ekonomi dan Moneter BI Kantor Perwakilan Sumut-NAD, Mikael Budisatrio.

Mikael menjelaskan, hingga saat ini, agunan masih menjadi persoalan yang menghambat sektor perikanan sehingga pertumbuhannya kecil. Agunan sektor tersebut belum mengikat seperti kapal, tambak atau lainnya. Bank kesulitan memperoleh sertifikat dari barang-barang tersebut. Selain itu risikonya lebih tinggi terhadap cuaca atau persoalan lainnya sehingga tidak bisa dianggap sebagai jaminan. “Apalagi barang-barang tersebut belum memiliki asuransi, sehingga menyulitkan bank memproses apabila terjadi sesuatu yang di luar perkiraan,” tambahnya.

Hal lain yang menjadi hambatan karena volume tidak menentu yang terkendala oleh cuaca. “Khusus pada perikanan tangkapan yang produksinya tidak stabil. Bukannya ingin menyebutkan tinggi risiko tapi hanya saja belum ada jaminan pasti yang bisa menjadi pegangan perbankan untuk mengucurkan kredit,” ujarnya.

Di Sumut, Medan mendapatkan kuncuran kredit yang paling besar, sebanyak 55 persen dari jumlah keseluruhan.  Setelah itu disusul Sibolga 19,33 persen, Pematangsiantar 9,9 persen, Asahan 4,48 persen, Tanjungbalai 2,62 persen,  dan Karo 1,95 persen. “Di Medan, bisnis perikanannya banyak di Belawan dan Labuhan. Sedangkan pada daerah dataran tinggi, banyak terdapat budidaya perikanan darat seperti budidaya nila dan ikan tawar lainnya,” jelasnya.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sumut Irfan Mutyara mengakui sektor perikanan memang masih memiliki banyak masalah karena ketidakseimbangan perkembangan. Dari sisi perbankan, diakuinya pasti memikirkan risiko. Risiko ini terkait dengan integrasi berbagai sisi mulai dari hulu hingga hilir. “Mulai dari produksi, distribusi hingga menuju industri harus berkembang agar perbankan bisa leluasa masuk. Kalau semua sisi itu bisa dibuat secara terintegrasi seperti Thailand dan Jepang yang memiliki bisnis perikanan bagus, tentu bank bersedia masuk ke sektor tersebut,” katanya.
Dari sisi nelayan, prilakunya juga perlu diubah dengan bantuan pemerintah daerah (Pemda). Pemda harus menjadi lead mengubah seluruh sisi tersebut. Apabila hal tersebut bisa dilakukan, pengusaha akan sangat mudah mengembangkan industri tersebut. “Kalau sudah begitu, bank akan sangat berkeinginan membantu sektor tersebut. Namun perbaikannya harus terintegrasi dari hulu hingga hilir,” jelasnya.

Hingga saat ini, para nelayan juga masih meributkan sulitnya menerima pinjaman dari bank. Para nelayan tersebut mengakui, bahwa mereka sama sekali tidak memiliki agunan yang diharapkan oleh pihak bank. (ram)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/