32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Dihadang Harimau, Dapat Sepeda dari Panglima GAM

Ismail, Pengeliling Indonesia Tiba di Sumut Pos

Mengelilingi Indonesia dengan mengendarai sepeda adalah sebuah usaha yang tidak ringan. Ismail (42) asal Indramayu berhasil melakukannya. Banyak kisah yang dialaminya, mulai dari hadangan harimau Sumatera hingga diberikan sepeda oleh Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Indra Juli-Medan

Begitulah, tiga kali bertemu kawanan harimau Sumatera mewarnai perjalanan Ismail dalam mewujudkan impiannya yakni menjadi pengumpul tanda tangan terbanyak dari bersepeda keliling Indonesia.    “Sempat dihadang kawanan harimau di Tele waktu mau ke Dairi. Waktunya sore gini lah, ada kabut tipis. Ada lima ekor harimau dan saya sendiri. Kalau ada orang masih bisa nangis minta tolong kan,” tutur Ismail saat menyambangi Redaksi Sumut Pos di Gedung Graha Pena Jalan Sisingamangaraja Medan, Rabu (12/10). Kemeja biru dilapis rompi dan topi berwarna krem, celana keper hitam, dan sepatu sport memperlihatkan semangat besar tersimpan dalam tubuh 150 centimeter.

Sebelumnya, Ismail sudah diperingatkan oleh warga yang ditemui di Dolok Sanggul. Bahwa saat itu adalah musim kawin bagi harimau. Hal itu dibuktikan dimana sekelompok harimau berjumlah lima ekor turun melintas dan langsung mengerumuni dirinya. Seekor harimau bahkan menggesek-gesekkan tubuhnya ke sepeda gunung yang ditunggangin
Pria kelahiran Indramayu, 5 Mei 1969, ini pun hanya bisa terdiam. Terlebih saat pandangannya beradu dengan harimau lainnya. Mengantarkan sebuah kesadaran akan hubungan alam dengan kehidupan. “Tanpa sadar, celana saya sudah basah. Saya hanya berpikir positif waktu itu. Dia juga makhluk hidup seperti saya, yang tidak mau mengganggu kalau tidak diganggu. Mungkin karena saya belum mandi sehingga aroma tubuh manusia yang tercium harimau. Sampai setengah hari saya baru bisa ngomong,” kenangnya.

Pertemuan Ismail dengan kawanan harimau sebenarnya bukan yang pertama. Selama melintasi Pulau Sumatera, tercatat tiga kali dirinya dihadang harimau. Pertama terjadi di Nanggroe Aceh Darusallam (NAD) dan saat melintasi perbatasan Sumatera Barat (Sumbar) dengan  Sumatera Utara (Sumut).

Kenangan menyeramkan itu langsung pudar saat menginjakkan kaki di Kota Medan. Suasana penuh keakraban yang dirasakan dari tawaran tempat tinggal di Jalan Utama Medan dari seorang warga yang baru saja dikenalnya. “Saya sempat kaget. Di kota yang majemuk seperti ini justru bisa menerima saya dengan tulus. Saya benar-benar kagum,” aku Ismail.

Keinginan menjadi penjelajah sudah dirasakan saat duduk di kelas IV Sekolah Dasar. Bahkan hal itu menjadi cita-cita putra ketiga dari lima bersaudara ini. Karena tidak mendapat restu, perjalanan yang sempat dimulai harus terhenti di Surabaya. Hingga 20 Juli 1989 saat berusia 20 tahun Ismail mendapatkan izin dan memulai perjalanan resminya. Mengambil start dari Indramayu menuju bagian timur Indonesia.

Di awal perjalanannya, Ismail sempat mengalami pengalaman mendebarkan. Ya, dia sempat hidup bersama salah satu suku asli di Pulau Papua, Madani yang akrab disebut suku Dani. Dimana dirinya menjadi saksi kehidupan suku kanibal. “Saya tahunya waktu pemimpin suku yang disebut ‘Bahorok’ mengundang pada jamuan perayaan ‘menang perang’. Dimana jasad dari pihak lawan dibakar dan dimakan bersama,” bebernya.

Di tengah keberingasan kanibalisme suku Dani berikut keteguhan menjunjung hukum adat, Ismail belajar bahwa komunikasi belum kehilangan peran dalam penyelesaian masalah. Dengan komunikasi tadi dirinya hanya membayar 10 ekor babi dan tiga hari direndam dari yang seharusnya tiga bulan. Kemampuan berbaur membuat dirinya mendapat simpati dari anggota suku. Bahkan, dirinya dihadiahi empat wanita suku Dani untuk dibuahi. Hal itu untuk kenang-kenangan bagi anggota suku saat harus melanjutkan perjalanan. Dari empat wanita tadi, Ismail pun memiliki dua anak.
Kehidupan asmara Ismail ternyata masih berlanjut. Biduk cintanya kembali berlabuh di Kalimantan dengan dara bernama Haun. Panggilan jiwa petualang membuat mahligai rumah tangganya hanya bertahan lima bulan saja. Begitu pun kehadirannya di NAD kembali mengurai kisah bersama seorang dara yang namanya masih tersimpan rapat.
Sumatera Utara sendiri merupakan provinsi ke-29 yang dilalui. Selama itu tandatangan yang terkumpul mencapai empat juta tanda tangan dari berbagai instansi pemerintah, BUMN dan Swasta, juga berbagai lembaga yang ada di daerah yang dilaluinya. “Mungkin saya akan tinggal selama dua minggu di sini. Karena mau bertemu dengan Muspida provinsi dan kota. Sekalipun masih kurang fit, harus dipaksakan untuk mencapai target lima juta tandatangan,” pungkasnya.

Untuk transportasi, Ismail sudah 32 kali ganti sepeda. Sepeda yang ke-33 pun sangat istimewa baginya. Pasalnya sepeda yang penuh dengan stiker komunitas bikers ini merupakan pemberian dari Sofyan Daud, mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Itu pemberian yang sangat saya banggakan,” pungkasnya. (*)

Ismail, Pengeliling Indonesia Tiba di Sumut Pos

Mengelilingi Indonesia dengan mengendarai sepeda adalah sebuah usaha yang tidak ringan. Ismail (42) asal Indramayu berhasil melakukannya. Banyak kisah yang dialaminya, mulai dari hadangan harimau Sumatera hingga diberikan sepeda oleh Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Indra Juli-Medan

Begitulah, tiga kali bertemu kawanan harimau Sumatera mewarnai perjalanan Ismail dalam mewujudkan impiannya yakni menjadi pengumpul tanda tangan terbanyak dari bersepeda keliling Indonesia.    “Sempat dihadang kawanan harimau di Tele waktu mau ke Dairi. Waktunya sore gini lah, ada kabut tipis. Ada lima ekor harimau dan saya sendiri. Kalau ada orang masih bisa nangis minta tolong kan,” tutur Ismail saat menyambangi Redaksi Sumut Pos di Gedung Graha Pena Jalan Sisingamangaraja Medan, Rabu (12/10). Kemeja biru dilapis rompi dan topi berwarna krem, celana keper hitam, dan sepatu sport memperlihatkan semangat besar tersimpan dalam tubuh 150 centimeter.

Sebelumnya, Ismail sudah diperingatkan oleh warga yang ditemui di Dolok Sanggul. Bahwa saat itu adalah musim kawin bagi harimau. Hal itu dibuktikan dimana sekelompok harimau berjumlah lima ekor turun melintas dan langsung mengerumuni dirinya. Seekor harimau bahkan menggesek-gesekkan tubuhnya ke sepeda gunung yang ditunggangin
Pria kelahiran Indramayu, 5 Mei 1969, ini pun hanya bisa terdiam. Terlebih saat pandangannya beradu dengan harimau lainnya. Mengantarkan sebuah kesadaran akan hubungan alam dengan kehidupan. “Tanpa sadar, celana saya sudah basah. Saya hanya berpikir positif waktu itu. Dia juga makhluk hidup seperti saya, yang tidak mau mengganggu kalau tidak diganggu. Mungkin karena saya belum mandi sehingga aroma tubuh manusia yang tercium harimau. Sampai setengah hari saya baru bisa ngomong,” kenangnya.

Pertemuan Ismail dengan kawanan harimau sebenarnya bukan yang pertama. Selama melintasi Pulau Sumatera, tercatat tiga kali dirinya dihadang harimau. Pertama terjadi di Nanggroe Aceh Darusallam (NAD) dan saat melintasi perbatasan Sumatera Barat (Sumbar) dengan  Sumatera Utara (Sumut).

Kenangan menyeramkan itu langsung pudar saat menginjakkan kaki di Kota Medan. Suasana penuh keakraban yang dirasakan dari tawaran tempat tinggal di Jalan Utama Medan dari seorang warga yang baru saja dikenalnya. “Saya sempat kaget. Di kota yang majemuk seperti ini justru bisa menerima saya dengan tulus. Saya benar-benar kagum,” aku Ismail.

Keinginan menjadi penjelajah sudah dirasakan saat duduk di kelas IV Sekolah Dasar. Bahkan hal itu menjadi cita-cita putra ketiga dari lima bersaudara ini. Karena tidak mendapat restu, perjalanan yang sempat dimulai harus terhenti di Surabaya. Hingga 20 Juli 1989 saat berusia 20 tahun Ismail mendapatkan izin dan memulai perjalanan resminya. Mengambil start dari Indramayu menuju bagian timur Indonesia.

Di awal perjalanannya, Ismail sempat mengalami pengalaman mendebarkan. Ya, dia sempat hidup bersama salah satu suku asli di Pulau Papua, Madani yang akrab disebut suku Dani. Dimana dirinya menjadi saksi kehidupan suku kanibal. “Saya tahunya waktu pemimpin suku yang disebut ‘Bahorok’ mengundang pada jamuan perayaan ‘menang perang’. Dimana jasad dari pihak lawan dibakar dan dimakan bersama,” bebernya.

Di tengah keberingasan kanibalisme suku Dani berikut keteguhan menjunjung hukum adat, Ismail belajar bahwa komunikasi belum kehilangan peran dalam penyelesaian masalah. Dengan komunikasi tadi dirinya hanya membayar 10 ekor babi dan tiga hari direndam dari yang seharusnya tiga bulan. Kemampuan berbaur membuat dirinya mendapat simpati dari anggota suku. Bahkan, dirinya dihadiahi empat wanita suku Dani untuk dibuahi. Hal itu untuk kenang-kenangan bagi anggota suku saat harus melanjutkan perjalanan. Dari empat wanita tadi, Ismail pun memiliki dua anak.
Kehidupan asmara Ismail ternyata masih berlanjut. Biduk cintanya kembali berlabuh di Kalimantan dengan dara bernama Haun. Panggilan jiwa petualang membuat mahligai rumah tangganya hanya bertahan lima bulan saja. Begitu pun kehadirannya di NAD kembali mengurai kisah bersama seorang dara yang namanya masih tersimpan rapat.
Sumatera Utara sendiri merupakan provinsi ke-29 yang dilalui. Selama itu tandatangan yang terkumpul mencapai empat juta tanda tangan dari berbagai instansi pemerintah, BUMN dan Swasta, juga berbagai lembaga yang ada di daerah yang dilaluinya. “Mungkin saya akan tinggal selama dua minggu di sini. Karena mau bertemu dengan Muspida provinsi dan kota. Sekalipun masih kurang fit, harus dipaksakan untuk mencapai target lima juta tandatangan,” pungkasnya.

Untuk transportasi, Ismail sudah 32 kali ganti sepeda. Sepeda yang ke-33 pun sangat istimewa baginya. Pasalnya sepeda yang penuh dengan stiker komunitas bikers ini merupakan pemberian dari Sofyan Daud, mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Itu pemberian yang sangat saya banggakan,” pungkasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/