Pemadaman listrik yang sering terjadi di Medan membuat masyarakat resah. Bagaimana tidak, selain kerugian finansial yang diderita pelaku usaha, pemadaman listrik juga berdampak terganggunya aktivitas masyarakat. Namun bagi pedagang di persimpangan jalanan di inti Kota Medan menjadi berkah tersendiri bagi mereka.
“Kipang Pak, kipang..” kata seorang anak menawarkan kepada seorang sopir mobil mini bus yang terjebak macet di persimpangan lampu merah Jalan Sudirman Medan, persisnya di depan Rumah Dinas Gubernur Sumatera Utara (Gubsu).
Sambil menjinjitkan kaki, anak itu terus menawarkan kipang yang berada dalam genggam annya kepada si sopir dari balik kaca mobil yang masih tertutup
Anak itu sepertinya tidak menyerah, namun si sopir cuek mengingat kondisi lalu-lintas karut marut akibat trafficlight tidak berfungsi. Anak itu tidak sendiri. Ternyata masih ada lima anak-anak lainnya yang menjajakan jipang di persimpangan Jalan Sudirman-Jalan Wali Kota.
Usut punya usut, penyebab tidak berfungsinya traffic light akibat arus listrik di wilayah tersebut padam. Otomatis traffic light yang mengandalkan tenaga listrik itu tidak berfungsi. Kebetulan, Senin (11/11) siang itu, tidak seorang pun petugas pengatur lalu-lintas berada di tempat, sehingga kemacetan di persimpangan Jalan Sudirman terjadi. Kendaraan menumpuk, mencoba saling mendahului.
Anak-anak penjaja jipang tadi sepertinya mengerti situasi. Mengharap pembeli di saat jalan macet tentunya kurang tepat. Mereka kemudian memasukan dagangannya ke dalam tas lalu turun ke jalan mengatur kendaraan yang terjebak macet.
Keenam anak berusia berkisar belasan tahun itu saling bekerja sama mengatur satu persatu mobil yang dianggap penghalang kendaraan lain untuk melaju. Kendati tampak kaku, inisiatif anak-anak itu mengatur lalu-lintas mendapat respon para pengendara yang terjebak macet. Mereka dapat mencairkan arus lalu-lintas yang sempat macet. Bahkan pengendara yang terjebak macet tanpa sungkan merogok koceknya untuk memberikan sejumlah uang kepada mereka. Mendapat upah tersebut anak-anak itu pun senang. Terlihat dari wajah mereka.
Salah seorang bocah yang bertugas mengatur lalu lintas yang datang dari arah Jalan Wali Kota, Syahrul Gunawan (14) mengatakan kegiatan ini dilakukannya karena tidak dapat berjualan jipang. Dia mengaku masih bersekolah di Madrasah di Kecamatan Medan Area.
“Saya masih sekolah bang, kelas 1 SMP di Jalan Bromo, kalau pagi sampai siang kami sekolah bang, jam 1 baru pulang sekolah dan ke sini untuk jualan jipang,” katanya.
Mereka mengakui cara berdagang yang mereka lakukan selama ini membahayakan. Pasalnya, kadang kendaraan yang melintas kerap memacu mobil dan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi, mengingat jalur ini tidak boleh dilalui angkutan umum. Namun Syahrul menyampaikan dirinya bersama teman-teman lainnya tidak tahu mau berjualan di mana lagi. “Kami tidak tahu mau jualan di mana lagi bang, biasanya kami di sini. Jadi, dari pada kami nganggur, lebih baik mengatur lalu lintas. Kita nggak minta kok, tapi kalu ada yang kasih uang kita terima, itu namanya rezeki,” tuturnya.
Ditanya pendapatan dari hasil mengatur lalu lintas dirinya hanya mengatakan lumayan dan yang terpenting menurutnya bisa menambah uang sekolah, “Ya, gak tahu lah bang, kadang dapat Rp20 ribu, tergantung berapa lama mati lampunya. Kalau sebentar ya gak mau juga kami,” ujarnya.
Dia juga mengeluhkan tindakan petugas Polisi Pamong Praja yang kerap merazia mereka saat berjualan di persimpangan itu padahal menurut mereka yang dikerjakan bukanlah mengemis.
“Kami kan jualan bang bukan ngemis, tapi kok kami sering ditangkap sama Satpol PP ya bang?” katanya dengan nada bertanya. (*)