Aksi buruh menuntut revisi Upah Minimum Provinsi (UMP) Sumut 2013 yang telah ditetapkan dari Rp 1.375.000 menjadi Rp2.2 juta, belakangan ini tidak bisa dipungkiri menimbulkan keresahan bagi masyarakat Sumatera Utara (Sumut). Tanpa terkecuali warga Kota Medan.
Terlebih aksi-aksi yang digelar para buruh itu, sampai menimbulkan kericuhan serta dibarengi aksi pemblokiran jalan-jalan protokol di Medan dan daerah lainnya.
“Ya tidak mungkin juga aksi buruh itu dilarang, karena memang diperbolehkan menyampaikan aspirasi dan tuntutan. Tapi sebenarnya juga, demo-demo itu menghambat kegiatan masyarakat lain yang tidak ikut berdemo,” kata Yusuf (38), sopir bus pariwisata saat dimintai tanggapannya oleh Sumut Pos, Selasa (11/12).
Dikemukakan pria lajang yang tinggal di Jalan Bajak III, Kelurahan Harjosari II, Kecamatan Medan Amplas ini lagi, diharapkan aksi para buruh itu jangan egois dan malah menghambat masyarakat lainnya untuk beraktifitas.
“Masyarakat lainnya ’kan juga mau kerja, mau mencari rezeki. Mencari nafkah bagi keluarganya. Kalau demonya rusuh, terus jalan-jalan diblokir, masyarakat jadi takut. Jadi tidak bisa kerja. Mau tidak mau jadi tidak kerja, ’kan kasihan juga. Ya janganlah pada akhirnya, karena demo masyarakat jadi tidak dapat mencari nafkah. Kita berharap demonya bisa lebih santun, kan aman. Kita sebagai masyarakat selalu ingin aman. Kalau sudah aman, mau kerja, mau ini, mau itu jadi enak. Tidak merugikan masyarakat lainnya,” tuturnya.
Kekecewaan yang sama juga dirasakan, Sahudin (50), sopir Taksi Delta, yang kesehariannya mengitari Kota Medan untuk mencari penumpang.
Pria yang akrab disapa Udin, warga Patumbak ini mengaku, sejak Senin (3/12) pekan lalu, dirinya tidak bekerja. Sama artinya, Udin harus beralih profesi untuk sementara waktu mencari pekerjaan sampingan.
“Dari awal minggu lalu sudah mulai tidak kerja, karena di mana-mana demo. Rusuh, jalan ini diblokir, jalan itu diblokir. Bagaimana mau lewat? Kalau demo ya demolah, tapi janganlah masyarakat lainnya jadi korban. Sekarang mocok-mocoklah. Kalau bisa, cepatlah selesai. Biar bisa narik taksi lagi,” kata Udin yang mengaku sudah delapan tahun jadi Ujian Berat Buat Gatot taksi sejak 1994 tersebut.
Khaidir Ginting (26), sopir angkutan kota (angkot) Dirgantara, trayek Batangkuis-Olimpia, Medan Mall, juga mengeluhkan aksi-aksi para buruh yang berlangsung belakangan ini.
Lajang warga Batangkuis ini berpendapat, aksi para buruh yang berlangsung, apalagi sampai ricuh dan melakukan pemblokiran jalan, tidak hanya merugikan sopir angkot tapi juga merugikan para pengusaha angkot.
“Menurut saya, demo kalau satu hari masih wajar dan dimaklumi. Masih hak manusiawi. Tapi kalau sudah tiga hari itu, sudah tidak wajar lagi. Karena sudah banyak yang dirugikan. Terutama sopir angkot dan pengusaha angkot. Pasalnya, tidak sesuai dengan pendapatan. Karena jalan macet dan kalah ditrip (trayek, red) dan bahan bakar. Lalu kalau begini, banyak armada yang tak beroperasi,” tukas anak kedua dari dua bersaudara itu.
Pekerja bangunan juga merasakan dampak yang sama. Seperti yang diungkapkan, Sucipto (36), warga Pasar 13 Kampung Kolam. “Kami ini buruh kecil, kadang kerja, kadang tidak. Kalau sudah demo begini, tidak beranilah kami kerja. Nanti pas pergi kerja, terus rusuh, bisa kami yang tidak tahu apa-apa ini kena imbasnya,” ucap pria yang akrab disapa Cipto ini. (*)