32 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Tak Terdata meski Punya Rekening Listrik

Sambungan dari: Berharap Bisa Mencoblos di Lahan Garapan

Oleh: Muhammad Iqbal Harahap, Medan

Keinginan mencoblos di tanah garapan juga dirasakan beberapa warga lain. Selain masalah dana yang membuat mereka berat untuk pulang kampung, harapan terdata di tanah garapan juga mengemuka.

TANAH GARAPAN: Suasana tanah garapan di Desa Manunggal Kec. Labuhan Deli Kabupaten Deliserdang.//Muhammad Iqbal Harahap/sumut pos
TANAH GARAPAN: Suasana tanah garapan di Desa Manunggal Kec. Labuhan Deli Kabupaten Deliserdang.//Muhammad Iqbal Harahap/sumut pos

Seperti Juriah (58) yang sehari-hari berjualan sembako di kios kecil depan rumahnya. Bersama suami dan anak lelakinya yang menjadi sopir angkutan umum di Kota Medan, juga masih terdaftar sebagai warga kelurahan Pekan Labuhan, Kecamatan Medan Labuhan, Kota Medan. Sejak sang suami pensiun dari pegawai negeri sebagai penjaga sekolah (SD), mereka sudah tidak punya hak lagi menempati rumah dinas milik negara. Hingga akhirnya memilih membeli sebidang tanah di lahan garapan tersebut seharga Rp5 Juta per kapling (ukuran 20 m X 30 m) pada 2008 lalu dan membangun rumah tinggal di lahan tersebut.

Ia mengatakan suaminya sudah pernah menyampaikan permohonan kepada pemerintah setempat (desa) untuk didaftar sebagai penduduk di desa itu. Tetapi kerena alasan sengketa lahan, permohonnya ditolak pemerintah. Maka sampai sekarang, mereka terpaksa memakai identitas penduduk dari Medan, meskipun sudah tidak punya rumah lagi di tempat asalnya.

“Belum pernah ada petugas datang kemari,” jawab Juriah ketika ditanya apakah ada petugas pendaftar pemilih, mendata warga yang tinggal di lahan tersebut agar bisa ikut mencoblos di Pemilu 2014. Begitupun dirinya tidak terlalu memusingkan hal tersebut, sebab yang terpenting, lagi-lagi pengakuan negara atas tanah yang mereka duduki sekarang.

Setidaknya tiga orang dari total 200 KK yang tinggal di lahan tersebut, menunjukkan bahwa mereka ingin sekali dianggap sebagai penduduk desa. Karena selain sudah banyaknya rumah di lahan itu, aliran listrik juga sudah masuk hampir ke seluruh rumah warga. Dan, itu selalu diminta tagihan rekeningnya. Barangkali ini yang memperkuat masyarakat untuk menetap di lahan itu.

Sedikit berbeda dengan pengakuan warga, Sekretaris Desa Manunggal, Zulkarnain Siregar ketika ditanya wartawan soal data, status dan kondisi penduduk di lahan itu, nadanya sedikit kesal. Dikatakannya kalau masyarakat tidak datang untuk melaporkan keberadaannya di tanah sengketa. Entah benar atau tidak, mungkin waktu dan proses akan menjawabnya.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Deli Serdang Muhammad Yusri (saat masih menjabat) menyebutkan ada 60 ribu data di daftar pemilih tetap (DPT) yang masih bermasalah, termasuk di wilayah tanah garapan itu. Persoalannya adalah warga yang tinggal di Deliserdang, tetapi identitas kependudukannya masih terdaftar resmi sebagai penduduk kabupaten/kota lain seperti Kota Medan misalnya.

Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Labuhan Deli, Muhammad Yusuf, pun mengaku belum pernah memberikan sosialisasi ke lahan tersebut. Karena memang tidak terdaftar sebagai penduduk di Desa Manunggal. Namun, ia mengatakan pihaknya tetap berupaya untuk bisa memberikan hak pilih kepada masyarakat, melalui kerja sama dengan pemerintah.

Disebutkan dalam Pasal 19 Undang-undang RI Nomor 8/2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, yang tertulis: (1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.

(2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar 1 (satu) kali oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar Pemilih.

Komisioner KPU Sumut, Benget Silitonga kemudian menjelaskan bagaimana agar warga bisa memilih di TPS tujuannya. Jika pemilih tidak terdaftar sama sekali, maka yang bersangkutan akan dimasukkan dalam DPK. Namun bagi pemilih yang telah terdaftar dalam DPT di suatu TPS yang karena keadaan tertentu Pemilih tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS tempat yang bersangkutan terdaftar, akan dimasukkan ke dalam DPTb yang disusun maksimal tiga hari sebelum pemungutan suara. Tetapi kategorinya adalah karena menjalankan tugas, sakit, menjadi tahanan dan bencana alam.

Untuk warga di tanah garapan sebenarnya masih punya peluang memilih di daerah tersebut. “Syaratnya dengan meminta keterangan dari petugas TPS daerah asal bahwa yang bersangkutan pindah memilih (menggunakan formulir A5),” terang Komisioner Divisi Teknis Penyelenggaraan ini.

Dengan kata lain, warga harus meminta konfirmasi ke daerah asal. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kalau mereka tidak tahu adanya aturan itu. Sementara tak satu pun petugas pendata pemilih mendatangi pemukiman tersebut.

Setidaknya, jika mereka bisa memilih di desa itu, mereka bisa memberikan suaranya kepada para calon wakil rakyat yang mungkin bisa memperjuangkan nasibnya untuk diakui sebagai bagian dari Desa Manunggal sekaligus mendapatkan hak kepemilikan tanah tentunya.

Warga hanya tinggal menunggu pembuktian dari penyelenggara, apakah akan memberikan hak mereka atau tidak. Jika memang semangat dari Pemilu 2014 kali ini, adalah membuka sebesar-besarnya peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan hak memilih. Agar tidak ada lagi diskriminasi bagi penduduk, sekalipun ia bermukim di ‘tanah tak bertuan’. (rbb)

Sambungan dari: Berharap Bisa Mencoblos di Lahan Garapan

Oleh: Muhammad Iqbal Harahap, Medan

Keinginan mencoblos di tanah garapan juga dirasakan beberapa warga lain. Selain masalah dana yang membuat mereka berat untuk pulang kampung, harapan terdata di tanah garapan juga mengemuka.

TANAH GARAPAN: Suasana tanah garapan di Desa Manunggal Kec. Labuhan Deli Kabupaten Deliserdang.//Muhammad Iqbal Harahap/sumut pos
TANAH GARAPAN: Suasana tanah garapan di Desa Manunggal Kec. Labuhan Deli Kabupaten Deliserdang.//Muhammad Iqbal Harahap/sumut pos

Seperti Juriah (58) yang sehari-hari berjualan sembako di kios kecil depan rumahnya. Bersama suami dan anak lelakinya yang menjadi sopir angkutan umum di Kota Medan, juga masih terdaftar sebagai warga kelurahan Pekan Labuhan, Kecamatan Medan Labuhan, Kota Medan. Sejak sang suami pensiun dari pegawai negeri sebagai penjaga sekolah (SD), mereka sudah tidak punya hak lagi menempati rumah dinas milik negara. Hingga akhirnya memilih membeli sebidang tanah di lahan garapan tersebut seharga Rp5 Juta per kapling (ukuran 20 m X 30 m) pada 2008 lalu dan membangun rumah tinggal di lahan tersebut.

Ia mengatakan suaminya sudah pernah menyampaikan permohonan kepada pemerintah setempat (desa) untuk didaftar sebagai penduduk di desa itu. Tetapi kerena alasan sengketa lahan, permohonnya ditolak pemerintah. Maka sampai sekarang, mereka terpaksa memakai identitas penduduk dari Medan, meskipun sudah tidak punya rumah lagi di tempat asalnya.

“Belum pernah ada petugas datang kemari,” jawab Juriah ketika ditanya apakah ada petugas pendaftar pemilih, mendata warga yang tinggal di lahan tersebut agar bisa ikut mencoblos di Pemilu 2014. Begitupun dirinya tidak terlalu memusingkan hal tersebut, sebab yang terpenting, lagi-lagi pengakuan negara atas tanah yang mereka duduki sekarang.

Setidaknya tiga orang dari total 200 KK yang tinggal di lahan tersebut, menunjukkan bahwa mereka ingin sekali dianggap sebagai penduduk desa. Karena selain sudah banyaknya rumah di lahan itu, aliran listrik juga sudah masuk hampir ke seluruh rumah warga. Dan, itu selalu diminta tagihan rekeningnya. Barangkali ini yang memperkuat masyarakat untuk menetap di lahan itu.

Sedikit berbeda dengan pengakuan warga, Sekretaris Desa Manunggal, Zulkarnain Siregar ketika ditanya wartawan soal data, status dan kondisi penduduk di lahan itu, nadanya sedikit kesal. Dikatakannya kalau masyarakat tidak datang untuk melaporkan keberadaannya di tanah sengketa. Entah benar atau tidak, mungkin waktu dan proses akan menjawabnya.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Deli Serdang Muhammad Yusri (saat masih menjabat) menyebutkan ada 60 ribu data di daftar pemilih tetap (DPT) yang masih bermasalah, termasuk di wilayah tanah garapan itu. Persoalannya adalah warga yang tinggal di Deliserdang, tetapi identitas kependudukannya masih terdaftar resmi sebagai penduduk kabupaten/kota lain seperti Kota Medan misalnya.

Ketua Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Labuhan Deli, Muhammad Yusuf, pun mengaku belum pernah memberikan sosialisasi ke lahan tersebut. Karena memang tidak terdaftar sebagai penduduk di Desa Manunggal. Namun, ia mengatakan pihaknya tetap berupaya untuk bisa memberikan hak pilih kepada masyarakat, melalui kerja sama dengan pemerintah.

Disebutkan dalam Pasal 19 Undang-undang RI Nomor 8/2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, yang tertulis: (1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.

(2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar 1 (satu) kali oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar Pemilih.

Komisioner KPU Sumut, Benget Silitonga kemudian menjelaskan bagaimana agar warga bisa memilih di TPS tujuannya. Jika pemilih tidak terdaftar sama sekali, maka yang bersangkutan akan dimasukkan dalam DPK. Namun bagi pemilih yang telah terdaftar dalam DPT di suatu TPS yang karena keadaan tertentu Pemilih tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS tempat yang bersangkutan terdaftar, akan dimasukkan ke dalam DPTb yang disusun maksimal tiga hari sebelum pemungutan suara. Tetapi kategorinya adalah karena menjalankan tugas, sakit, menjadi tahanan dan bencana alam.

Untuk warga di tanah garapan sebenarnya masih punya peluang memilih di daerah tersebut. “Syaratnya dengan meminta keterangan dari petugas TPS daerah asal bahwa yang bersangkutan pindah memilih (menggunakan formulir A5),” terang Komisioner Divisi Teknis Penyelenggaraan ini.

Dengan kata lain, warga harus meminta konfirmasi ke daerah asal. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kalau mereka tidak tahu adanya aturan itu. Sementara tak satu pun petugas pendata pemilih mendatangi pemukiman tersebut.

Setidaknya, jika mereka bisa memilih di desa itu, mereka bisa memberikan suaranya kepada para calon wakil rakyat yang mungkin bisa memperjuangkan nasibnya untuk diakui sebagai bagian dari Desa Manunggal sekaligus mendapatkan hak kepemilikan tanah tentunya.

Warga hanya tinggal menunggu pembuktian dari penyelenggara, apakah akan memberikan hak mereka atau tidak. Jika memang semangat dari Pemilu 2014 kali ini, adalah membuka sebesar-besarnya peluang bagi masyarakat untuk mendapatkan hak memilih. Agar tidak ada lagi diskriminasi bagi penduduk, sekalipun ia bermukim di ‘tanah tak bertuan’. (rbb)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/