Site icon SumutPos

Kompolnas: Kepala BPN Jadi Tersangka, Itu Janggal!

FOTO: AMINOER RASYID/SUMUT POS Gedung Centre Poin di Jalan Jawa mengalami permasalahan yang belum juga selesai, karena berada di lahan PTKAI.
FOTO: AMINOER RASYID/SUMUT POS
Gedung Centre Poin di Jalan Jawa mengalami permasalahan yang belum juga selesai, karena berada di lahan PTKAI.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), mengakui cukup merasakan adanya dugaan kejanggalan atas langkah Polda Sumut menetapkan Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Medan, Dwi Purnama dan Kepala seksi Pemberian Hak-hak BPN Medan, Hafizunsyah, sebagai tersangka. Setelah diduga keduanya tidak mau menerbitkan Hak Guna Bangunan (HGB) bagi PT Agra Citra Karisma (ACK) dalam urusan proyek Medan Center Point.

Kejanggalan, kata Komisioner Kompolnas, Edi Saputra Hasibuan, dirasakan karena tanah merupakan lahan PT Kereta Api Indonesia (KAI). ”Itu janggal,” katanya.

Selain itu atas pengelolaannya juga saat ini masih berperkara di Kejaksaan Agung. Bahkan penyidik Kejagung sebelumnya telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Masing-masing mantan Wali Kota Medan, serta bos PT ACK, Handoko Lie.

“Kasus ini saya kira perlu mendapat perhatian serius dari Polda Sumut. Agar tidak menjadi preseden buruk. Jangan sampai polisi dijadikan alat oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan sesaat. Apalagi itu kan tanah negara,” katanya di Jakarta, Senin (13/10).

Meski begitu, Kompolnas kata Edi, perlu mengetahui terlebih dahulu duduk persoalan sebenarnya terkait permasalahan dimaksud. Sehingga tidak salah dalam memberi tanggapan. Apalagi kasusnya disebut-sebut telah berlangsung sedemikian lama.

“Sepanjang polisi melakukan langkah profesional dalam menangani sebuah perkara, kita tentu mendukung. Namun jika tidak, maka terhadap oknum terkait perlu diambil tindakan sebagaimana yang berlaku. Karena itu kita harus klarifikasi terlebih dahulu, apakah dalam menetapkan Kepala Kantor BPN Medan sebagai tersangka, telah dilakukan sesuai prosedur yang benar,” katanya.

Selain itu agar tidak terjadi permasalahan yang tak diinginkan, dalam perkara ini Edi menyarankan Polda Sumut berkoordinasi Kejaksaan Agung. Sehingga permasalahan menjadi jelas.

“Kita minta kepada Polda Sumut berkoordinasi dengan Mabes Polri, untuk kemudian dapat berkoordinasi dengan Kejagung. Saya kira langkah ini lebih baik, agar permasalahan menjadi jelas,” katanya.

Sebagaimana diketahui, Januari lalu penyidik Kejagung telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus pengalihan lahan PT KAI menjadi Hak Pengelolaan Tanah oleh Pemda Tingkat II Medan Tahun 1982, Penerbitan Hak Guna Bangunan Tahun 1994, Pengalihan Hak Guna Bangunan Tahun 2004 serta perpanjangan Hak Guna Bangunan Tahun 2011.

Boss PT ACK ikut ditetapkan sebagai tersangka karena diduga ikut bertangungjawab sehingga di atas lahan PT KAI yang terletak di Stasiun Kereta Api Kota Medan, berdiri sejumlah bangunan perkantoran milik PT ACK.

Terkaitnya munculnya anggapan jika Poldasu mendapat intervensi dalam penetapan tersangka terhadap Kepala BPN dan Kepala Seksi Pemberian Hak-Hak BPN Medan, Kabid Humas Poldasu, AKBP Helfi Assegaf menepis.

“Penyidik tetap bekerja dan dia sudah tersangka, jadi kan tidak ada intervensi. Nantilah, apa hasil dari mabes, sekarang kita masih mengatur jadwalnya kesana,” tuturnya.

Helfi Assegaf mengatakan bahwa pihaknya juga akan berkordinasi dengan Bareskrim Mabes Polri untuk mendalami kasus yang menyeret Kepala BPN Medan, Dwi Purnama dan Kasi Pemberian Hak-hak BPN Medan, sebagai tersangka atas tindak pidana kejahatan dalam jabatan.

“Secepatnya kita akan kordinasi dengan Bareskrim soal kasusnya, apa hasilnya, akan kita tindaklanjutin untuk kelanjutan kasus ini,” ucapnya.

Mengenai sikap tersangka yang tidak kooperatif, Helfi menandaskan bahwa pihaknya tetap akan meneruskan perkembangan kasusnya, dan itu adalah pemanggilan pertamanya. “Untuk itu, setelah kita kordinasi dengan Mabes Polri, kan nampak langkah selanjutnya. Kalau masalah dia tidak datang, kan ada panggilan kedua dan ketiga. Intinya, dia sudah tersangka dan kasusnya masih jalan,” tandasnya.

Ditanya mengenai rencana Dwi Purnomo akan pindah tugas terkait kasusnya, Helfi menambahkan itu urusannya. “Kalau dia mau pindah, itukan urusannya, namun kasusnya kan tetap jalan. Nanti lah, kita lihat dulu hasil kordinasi kita dengan Mabes Polri,” pungkas perwira dua melati emas di pundaknya.

Disinggung apakah ada tersangka lainnya, Helfi mengatakan dilihat dari perkembangan penyidikan. “Penyidik masih mengembangkan, jadi kalau memang ada yang terlibat dalam kasus ini, pasti akan dipanggil, baik sebagai saksi dan tersangka,” tutupnya.

Seperti diberitakan, Dwi Purnama SH M Kn, dan Hafizunsyah, dinyatakan sebagai tersangka karena telah melakukan tindak pidana kejahatan yang dilakukan dalam jabatan, sesuai dengan pas 417 Subs 416 Subs Pasal 421 KUHPidana.

Penetapan status tersangka terhadap kedua orang tersebut adalah atas laporan Zainal Abidin Zain, Direktur PT ACK, dalam laporan polisi SPK/1883/VII/2014/SPKT I, tanggal 22 juli 2014.

Dimana, Zainal Abidin Zain memohonan pembuatan Sertifikat HGB atas tanah di Jalan Jawa Kel. Gang Buntu, Medan Timur di areal pertama seluas 13.578 meter dan areal kedua seluas 22.377 M, ke BPN Kota Medan. Seluruh persyaratan sebagai pemohon sudah dipenuhi pelapor, yakni dengan melampirkan surat permohonan, surat Putusan PN Medan, Putusan dari MA, Berita Acara Eksekusi dan penyerahan hasil eksekusi. Namun, permohonan ini ditolak oleh BPN Medan.

Menurut AKBP Helfi Assegaf, penolakan itu sesuai dengan surat No 1749.1271/600 X 2013 tanggal 25 Oktober 2013, yang ditandatangani oleh Dwi Purnama.

Alasan penolakan BPN Medan saat itu adalah permohonan pelapor itu tak dapat diproses karena tanah yang dimohon itu diklaim sebagai aktiva tetap (aset) oleh PT. Kereta Api indonesia (KAI) dan BUMN yang hingga kini masih dalam proses perkara perdata.

“Penolakan yang dilakukan oleh Kepala BPN Kota Medan itu adalah tindak pidana atau perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud pasal 21 KUHP, yang unsurnya adalah PNS yang sewenang-wenang memakai kekuasaanya, dan telah mengintruksikan kepada bawahanya meski permohonan itu sudah dilengkapi surat dan putusan-putusan,” ucapnya Helfi.

Dijelaskanya, waktu dan kejadianya kasus tersebut adalah tanggal 21 April 2013 di Komplek Centre Point Jalan Timur No.1 Medan. Dan terhadap kasus ini, penyidik sudah periksa 4 orang saksi, yakni Drs Zainal Abidin, Handoko Lie, Budi Dharmansyah SH, dan Fahmiluddin SH.

Hasil pemeriksaan saksi tersebut juga dikuatkan keterangan dari saksi ahli.

“Kedua tersangka tidak ditahan karena hukumanya dibawah 5 tahun, tepatnya 2,8 tahun. Dan barang bukti yang disita adalah, surat penolakan dari Dwi Purnama, yaitu surat No 1749.1271/600 X 2013 tanggal 25 Oktober 2013, yang ditanda tanganinya, sehingga korban mengalami kerugian Rp 50 miliar,” bebernya. (gir/gib/bd)

Exit mobile version